"Jangan-jangan mau malam jum'atan sama Mukminah ni."
"Gak pak. Masih PDKT juga kok pak. Hehe."
"PDKT terus?!" Bapaknya Anwar secara kebetulan bertemu Godad dan Mukminah di Kafe. Bapaknya Anwar bertanya apa mereka pacaran. Godad membisikkan masih PDKT. Mukminah, biasa, tersipu malu.
"Pamit dulu, pak."
"Ya. Ya. Hati-hati."
Sesampainya di rumah Godad langsung kena semprot oleh orang tuanya. Nasibnya sial. Wali kelasnya menghubingi Emaknya. Menanyakan kenapa Godad tidak masuk sekolah. Emaknya heran ketika itu. Padahal dari rumah berangkat. Hp Godad yang dari pagi mati langsung disita. Lain lagi satu bulan tanpa uang jajan dan ada pantauan di sekolah sebagai hukuman. Godad mati-matian menawar. Tetap tiada ampun baginya. Setelah ganti baju dan celana, Ia langsung pergi keluar rumah.
Ya, jembatan yang ratusan meter dari rumahnya selalu menjadi tempat pelipur lara saat hatinya dihujam gundah. Lampu-lampu indah dan riak air sungai tak mampu mengusir krasak krusuk dalam kepalanya.
"Ah, bodoh." gumamnya.
Ia mengeluarkan kotak pensil. Membuka. Menghaluskan dengan jarinya. Kemudian menabur barang berwarna hijau kering itu ke kertas papir. Tanpa tembakau. Menggulung. Menjilat. Merekatkan. Menyulut. Bus. Baru tiga kali isapan ia telah dicuduk orang tak ia kenal. Ia tak kuasa melawan karena orang yang menyergap tinggi kekar.
***
"Cari yang memberi barang padanya. Aku akan beri perhitungan pada bangsat itu."