"Berapa tahun katamu?"
Asap yang belum dihembuskan keluar berhamburan dari mulut bapak. Aku merasa lega. Ibu melayangkan protes. Bapak sebagai orang yang dirohmati berkata lain. Kewibawaan tetap harus dijaga. Orang-orang kampung tak ada punya mantu dari jauh. Bagi bapak itu akan menambah tinggi derajat kedudukan. Itu tak apa, pikirku. Aku bertambah lega. Ibu yang ngotot ingin punya cucu segera, akhirnya nurut.
Meski kabarnya anak juragan kampung sebelah belum kawin. Itu tak bisa menggantikanmu. Jelas tidak. Juga bukan semata-mata hanya memenuhi janji pada orang tuaku. Jika hanya sekedar itu, ada beribu kembang yang bisa kupetik.
Mataku semakin perih. Hatiku masih enggan tidur. Seburat cahaya menyebul dari pentilasi jendela. Perasaanku masih tak menentu. Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Suara itu sangat menjijikan yang telinggaku pernah tangkap. Terus saja suara itu membuat kebisingan. Sinar mentari kian menyingsing. Aku bergeming. Suara ketukan tak henti. Malah semakin keras. Anak-anak kontrakan memang sangat usil. Aku bangkit dari kasur yang sudah empat tahun kutindih.
"Crak!"
"Apa lo, ganggu aja." Serangku. Mengacungkan tinju ke muka pengetuk pintu. Tepat sekali. Teman kontrakan.
"Woy! Woy! Woy! Sabar! Sabar! Sabar bos!" Dengan gaya hendak menghalangi tinjuku ia menenangkan.
"Ini ada paket dari ibu kontraan bos. Katanya buat lo."
"Hah?" Aku menurunkan tinju.
"Tenang bos."
"Biasa ngeganggu sih."