Aku dan kau sudah lama dekat. Semua teman kita tau, ada sesuatu di antara kita. Meski kau malu-malu mengakui. Mereka yakin tidak keliru menilai.
Kendati kita saling merasa nyaman. Aku ingin memastikan. Entah berapa kali aku meminta. Namun kau masih menunda. Tidak lama lagi kita wisuda. Ini saat yang tepat, pikirku.
"Maukah kau menikah denganku?"
Kau menunduk tanpa menjawab. Awalnya kukira malu-malu. Tapi raut mukamu tidak biasa. Aku jadi ragu dengan hasil hitungan matematis yang telah kugenggam.
Di sepasang bulan yang kukagumi awan hitam menggantung. Tampak jenuh menunggu menjadikan diri hujan. Kau mengisyaratkan sulit menjawab. Aku tak ingin kau menderita. Sebenarnya aku bisa saja mengalihkan arah bicara. Aku urungkan karena ingin kepastian.
Lama aku menunggu. Tiba-tiba kau menatap. Kini aku tau otakmu masih menunda keras suara dari mulutmu. Aku menghargai penundaanmu. Walau terpaksa kesekian kali gigit jari.
"Aku akan jawab besok."
Singkat saja bibirmu bergerak. Suara yang keluar terdengar berat. Keindahan suara itu agak terganggu. Meski tetap tak tertandingi bagiku.
"Itu lebih baik. Karena semakin cepat, kita akan semakin cepat tenang. Apa pun nantinya!"
Aku juga berkata biasa. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba seutas kawat duri telah mencekik Jantungku. Sesak. Sakit. Aku merasa nol persen peluang memilikimu.
Sepertinya aku salah kata. Harusnya aku berkata lebih berharap. Tambah romantis. Bukankah perempuan suka yang lembut dan mampu menggelitik hatinya?