“Lebih baik langsung menikah seusai SMA.” Kata bapak.
Aku memang anak semata wayang. Bapak orang paling kaya di kampung. Sawah dan kebun luas. Serta kerbau dan sapi memenuhi dua gunung kembalaan. Aku selalu dimanja.
"Apa yang kau cari? Semua sudah tersedia."
Ibuku juga mengiakan. Tapi aku terus menolak. Lajang-lajang kampung juga menyayangkan pendirianku. Bagi mereka lelaki bodoh saja menolak kawin dengan putri tunggal juragan kampung sebelah. Seantero kecamatan memang kecantikannya telah menjadi buah bibir. Perjaka yang tau suka berkhayal mempersunting perempuan seusiaku itu. Bapak adalah teman dekat si juragan. Ia menawar aku jadi mantunya.
Aku terus mengelak pada orang tuaku. Alasan hanya untuk menuntut ilmu sangat tidak diterima. Orang-orang sarjana menjadi pekerja bapak dan selebihnya pengangguran jadi penyebabnya.
"Sepulang dari rantau aku bisa bawa mantu untuk bapak."
Aku berusaha mencari alasan.
"Apa katamu?"
Ibu kaget bertanya. Bapak juga kaget mendengar. Alasan itu ditolak ibu. Tapi aku melihat secercah harapan di benak bapak.
"Apa bapak mengizinkan?" Tanya ibu.
Bapak mengambil kopi dari atas meja. Kemudian meneguk cepat. Sebelum bapak berkata, beliau mengisap dalam sebatang keretek yang sedari tadi terselip di antara jari telunjuk dan tengah kirinya. Dalam.