"Apa itu Polhut."
"Pemerintah yang melarang nebang hutan Kek."
"Ah kau ini masih bau kencur. Mereka itu dusta. Tidak benar. Kadang dilarang. Tapi sesekali pakai mobil truk yang bertulisan Polisi mereka bawa kayu ke pabrik lemari. Apalah itu? Sudah, kau tidak tau itu."
Kakek berapi-api. Raut mukanya kesal. Gigi yang tinggal satu seakan mau copot. Nafas tersengal-sengal. Wien diam. Bingung. Apa benar yang di katakan Kakek? Hatinya bertanya. Kalau itu benar, siapa sebenarnya sumber petaka? Siapa yang pantas menerima murka? Para petani atau kaum Borjuis itu? Ia penuh tanya.
***
Hari cerah. Matahari sudah tepati janji. Entah dengan manusia yang punya janji hari ini, semoga saja ditepati. Hati Wien berbalik arah dengan cuaca pagi. Gelisah. Ia merindu, tapi tidak tau rupa yang dirindu. Tentang cerita Kakek kemaren kembali terngiang.
Senin pagi, seperti biasa setiap hari biasa Wien Sekolah. Peralatan sekolah sudah siap, seragam rapi, dan sepatu terikat di kaki. Pertanda siap tempur di medan perang untuk suatu tujuan suci, anggan mulia, merampas ilmu yang berkerak dan keras dari dalam kepala sang Pencerah. Sedikit demi sedikit diperas dan dituangkan dalam cawan, yang nantinya akan memulihkan dahaga dunia. Sedikit demi sedikit tekat bulatnya sudah di tingkat bukit. Dan bangkit.
"Kek, Aku berangkat dulu."
"Ya, hati-hati."
Wien melangkah, baru ingin menucapkan salam, tiba-tiba ingat ingat sesuatu.
"Oh, ya kek. Aku pulang sore. Ada acara di sekolah."