Waktu bapaknya seumurannya, sungai tempat bermain anak-anak. Ikannya banyak. Bapak sering memancing di sungai. Airnya bersih, bening, sering diminum langsung oleh warga. Besar, bahkan bapak tidak bisa melewatinya, beberapa kali bapaknya hanyut ketika nyebrang. Sungai tempat menakjubkan, tempat pemandian dan tempat pelepas lara serta lelah dunia bagi warga sekitarnya. Layaknya Sungai di Surga.
Ironisnya sekarang sungai ini tidak begitu lagi. Entah sang maha pencipta menguji warga atau nafsu serakah warga memberi siksa, jelas warga kelimpungan. Ikan di sungai tinggal dongeng saja. Airnya kecil, jangankan menghanyutkan dia, Taiknya yang suka makan pepaya saja sulit amblas.
Sesekali pada musim hujan pernah besar, tapi warnanya tidak bening melainkan warna warni, terkadang membuat sawah dan kebun warga yang dekat aliran ambruk tergerus, tepatnya banjir.
Pasirnya digali, menyisakan batu yang besar saja. Terdengar kabar kalau batu besar itu juga akan dibelah menjadi kotak-kotak menyerupai batu bata, untuk bahan bangunan.
Sungai tempat mengirikan, layaknya Neraka, jangankan mandi memandang pun enggan rasanya, tumpukan material pemborosan bertimbun sepanjang tubuhnya.
Tentang pohon mangga Kakek berkisah:
Dulu bapak sering berebut buah mangga dengan Tupai. Tak jarang bapak mengutuk karena buah matang ludes digerogoti. Bapak punya inisiatif setiap pagi manjat dulu, setelah itu gantian tupai mengutuk dan harus rela menyantap buah muda. Namun kini pekikkan Tupai jadi sesuatu istimewa jika terdengar, bahkan dirindukan.
Pohon mangga yang kata Kakek sangat manis buahnya, tidak pernah berbuah lagi. Mungkin penyebabnya kepulan asap dimana-mana, menghangatkan cuaca, dan melayukan pohon mangga. Tubuhnya ringkih, hama menyerang setiap lini. Daunnya  berguguran, bukan hanya yang tua tapi ikut serta yang muda.
Mengingat-ingat cerita Kakek, Wien seolah rindu. Merindukan yang tak pernah dialami.
***
Matahari semakin meninggi, sinar berubah dari hangat kini menyengat, membakar kulit. Pohon Mangga dan pohon-pohon lain ikut di siksa. Menyakitkan. Kakek pulang hampir tengah hari. Niat ke kebun Kopi tidak jadi, Kakek capek. Sambil mijitin kaki Kakek, Wien mengundang cerita tentang kondisi pertiwi zaman dulu. Topik kesukaan Kakek, tema yang dicintai Wien. Klop.