Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Kotak

4 Maret 2017   22:52 Diperbarui: 5 Maret 2017   08:00 2856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: http://www.argos.co.uk/ (4/3/2017)

Keluarga Ahmad dan Mimin memang tak pernah dikirimi hadiah. Baik berupa yang dilempar sekenanya hingga menumbuk hidung peseknya, apalagi yang dibungkus rapi dengan kertas kado berwarna-warni.

Ditengah kesibukan Mamad—Ahmad biasa disapa Mamad—sebagai kuli harian warga terkadang Mimin bertanya.

“Bang, gimana rasanya dapat hadiah ya?”

“Gak tau. Kan gak pernah.”

“Kayaknya senang ya? Orang-orang yang dapat hadiah kok senyumnya mengembang.”

“Ya.”

Memang kuluarga Mamad sama sekali belum pernah mendapat Bingkisan. Dari sejak pernikahan hingga anaknya sudah kelas tiga SD. Biasanya jika ada warga yang baru melahirkan para warga beramai-ramai memberi kado, tapi tidak bagi keluarga Mamad. Bahkan saat pesta mempersunting Mimin satu kotak kado pun tidak ada, padahal pada umumnya pesta pernikahan akan terdapat kotak kado bertumpuk-tumpuk dan ada yang sampai satu truk.

Pikiran Mamad semakin bertambah karena anaknya ingin mengadakan pesta ulang tahun. Selama ini Mamad tidak pernah berfikir ke hal itu. Sebenarnya bukan tidak ingin memanjakan anaknya. Namun kesulitan hidupnya menghalangi. Lain lagi harga sembako semakin mahal harus dipikirkan.

“Saya ingin dapat Kado seperti teman-teman.”

Karena kecintaan pada anaknya, Mamad pun menyanggupi.

Lambat laun angin halus pun mengabarkan keinginan keluarga Mamad. Angin telah mengabarkan pada seluruh warga kampung. Menempel pada dinding gang-gang sempit. Memberi warna atap rumah warga. Sehalus-halusnya angin berhembus, tanggapan dari orang Kampung berupa badai yang sigap meluluhlantakkan tembok keluarga Mamad.

Mamad dan Mimin tidak terlalu tanggap dengan badai yang dihembuskan Warga. Bagi mereka semua itu sudah biasa. Semacam bumbu kehidupan.

Akhirnya hari yang menjadi tontonan berkelas VIP bagi warga tiba waktunya. Gumpalan-gumpalan angin pagi berhembus memberi kedamaian pagi itu. Matahari pun bersinar terang, membantu memperjelas tontonan. Sebelumnya Mamad dan Mimin telah menyebar undangan lisan. Semua warga memandang dan tersenyum dari kejauhan.

Sesekali mereka mengumpat keinginan konyol keluarga Mamad. Ada yang menyayangkan, ya hanya sebatas itu. Tidak ada keinginan membalut sebuah kelereng pun buat anak Mamad. Banyak bapak-bapak berkopiah lengket menawarkan taruhan. Tentu saja tidak ada yang mau di pihak Mamad.

Heboh betul pagi itu. Kehebohannya mengalahkan acara Maulid Nabi yang setiap tahun dirayakan. Biasanya pada perayaan kelahiran Rasul hampir separuh warga sibuk mungurusi usaha masing-masing. Tak diragukan lagi, bagi warga yang mempunyai watak dagang langsung mencair. Terlihat berjejer dagangan terpampang, ada yang memang rutin dan juga ada musiman. Ada juga penonton berpakaian pegawai negeri, mereka memilih abai tanggung jawab daripada melewatkan momen langka tersebut.

Hari pun semakin meninggi tanda-tanda kedatangan sebuah kotak belum juga tampak. Dagangan yang berjejer mulai kandas. Bahan pembakar paru-paru para bapak-bapak hanya menyisakan satu batang di bungkusnya. Mamad dan Mimin kini berurai air mata. Anaknya mulai mendesak kado untuknya.

“Mana kadonya pak, mana?”

“Mana kadonya Ma, mana?”

Sementara Matahari sudah mulai menyengat. Para warga sudah mulai pulang. Dalam perjalanan mereka mengumpat keluarga Mamad yang berharap. Anak-anak sekolah sudah mulai pulang. Tiba-tiba perhatian warga teralihkan oleh seorang Tukang Pos mengayuh sepeda tua. Tak lama setelahnya berhenti tepat di rumah bernomor 37, rumah Mamad. Bapak tua yang berwajah sudah berkeriput itu mengeluarkan sebuah kotak dari tasnya. Indah sekali kotak itu. Dibungkus kertas penuh warna, dan diikat dengan pita merah muda.

Setelah tukang pos itu pulang, tanpa membawa kotak kembali, para warga bertanya-tanya penasaran. Seorang warga bertanya pada tukang pos.

“Itu kado untuk anaknya.” Jawab tukang pos. Mendengar itu semua warga kaget.

Untuk memenuhi rasa penasaran warga, semua berduyun-duyun ke rumah Mamad. Rumah Mamad yang kecil penuh sesak. Terlihat sebuah kotak belum dibuka dikelilingi warga. Senyum Mamad, Mimin dan anaknya mengembang ke atas awan. Tidak ada warga ketinggalan kumpul, yang tidak muat masuk tidak sabar mengelilingi rumah menunggu antrian. Berhimpit-himpitan. Tua muda dan anak-anak tidak ada yang ketinggalan.

Dagangan yang belum laku sudah tidak diurus lagi, Kambing dan Anjing bebas mengambil tanpa beli. Keluarga Mamad enggan membuka Kotak kado tanpa alamat pengirim itu. Tapi warga mendesak. Akhirnya Mamad pun setuju untuk membuka. Warga khusuk menanti.

Setelah anak Mamad membuka ikatan pita bersimpul hidup itu, Ia berhenti dan menoleh pada orang tuanya. Mamad dan Mimin mengangguk. Anak itu melanjutkan membuka. Warga yang menyaksikan menganga. Yang belum kebagian masuk semakin berdesak-desakan karena sumua warga kampung turut hadir, bahkan yang sudah sepuluh tahun lumpuh tidak mau alpa dan tiba-tiba sembuh. Karena keramaian semakin menjadi-jadi, pak Kepala Desa mengerahkan Satpam Kampung untuk mengamankan.

Kertas bungkusan kado yang menggambarkan keindahan warna itu terlepas. Kini tinggal kotak kardus yang berwarna silver halus. Rasa penasaran pun semakin bertambah.

Anak itu mulai membuka kardus, sumua warga yang turut menyaksikan menahan nafas. Mimin berlinang air mata dan Mamad memandang kosong akan Kado pertama untuk keluarganya.

Dan “DUUUUURRRRRRR...”

Tepat jam 12 siang itu sebuah stasiun TV mengabarkan berita terkini: telah terjadi sebuah ledakan di Kampung Angkuh, semua warga tewas berkeping-keping, kampung malang itu kini hanya menyisakan rumah mewah dan kendaraan warga, hanya sebuah rumah kumuh yang hangus bersama dengan melayangnya nyawa semua warga.

Begitu beritanya. Memang warga Kampung Angkuh itu sangat mendamba sebuah kotak bingkisan, meski isinya akan membunuhnya seketika.

Gayo Lues, Maret 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun