Keluarga Ahmad dan Mimin memang tak pernah dikirimi hadiah. Baik berupa yang dilempar sekenanya hingga menumbuk hidung peseknya, apalagi yang dibungkus rapi dengan kertas kado berwarna-warni.
Ditengah kesibukan Mamad—Ahmad biasa disapa Mamad—sebagai kuli harian warga terkadang Mimin bertanya.
“Bang, gimana rasanya dapat hadiah ya?”
“Gak tau. Kan gak pernah.”
“Kayaknya senang ya? Orang-orang yang dapat hadiah kok senyumnya mengembang.”
“Ya.”
Memang kuluarga Mamad sama sekali belum pernah mendapat Bingkisan. Dari sejak pernikahan hingga anaknya sudah kelas tiga SD. Biasanya jika ada warga yang baru melahirkan para warga beramai-ramai memberi kado, tapi tidak bagi keluarga Mamad. Bahkan saat pesta mempersunting Mimin satu kotak kado pun tidak ada, padahal pada umumnya pesta pernikahan akan terdapat kotak kado bertumpuk-tumpuk dan ada yang sampai satu truk.
Pikiran Mamad semakin bertambah karena anaknya ingin mengadakan pesta ulang tahun. Selama ini Mamad tidak pernah berfikir ke hal itu. Sebenarnya bukan tidak ingin memanjakan anaknya. Namun kesulitan hidupnya menghalangi. Lain lagi harga sembako semakin mahal harus dipikirkan.
“Saya ingin dapat Kado seperti teman-teman.”
Karena kecintaan pada anaknya, Mamad pun menyanggupi.
Lambat laun angin halus pun mengabarkan keinginan keluarga Mamad. Angin telah mengabarkan pada seluruh warga kampung. Menempel pada dinding gang-gang sempit. Memberi warna atap rumah warga. Sehalus-halusnya angin berhembus, tanggapan dari orang Kampung berupa badai yang sigap meluluhlantakkan tembok keluarga Mamad.