Bapak itu tersenyum, mungkin dalam hatinya betapa kampungannya aku. Tak lama taksi ber-AC pun melaju. Sesekali dalam perjalanan aku melongok pada angka berjalan yang tertera pada mesin penentu rupiah. Ketiga atau keempat kali nya aku melongok, kamu pun ikut-ikutan. Aku menatapmu, kau balas menatap dan tersenyum. Si Bapak yang tadinya cukup nyaman menyetir, mulai menekan pedal gas agak kencang. Banyak mobil tersalip-lewati, dan senyum kita pun mengembang.
Kita memilih berhenti di pasar, berjarak sekitar 600an meter dari tempat ngekos. Dengan alasan, sekalian makan. Pertamanya aku menolak, ku pikir kita perlu mandi dulu. Tapi kau menolak.
"Aku males ngeboncengi kamu lagi." Suaramu ketus.
Sebenarnya aku malu, bukan pada kamu, melainkan pada Ibu dan Bapak kos yang minjemin motornya. Yah, sialnya aku gak bisa pakai motor.
"Makan situ, yuk." Kau menunjuk warung makan, eh bukan, lebih mendekati rumah makan atau barangkali Cafe.
"Kita makan Nasi Kucing aja ya. Biar kenangannya ngena. Lesehan gitu."
"O, gaya." Meski cemberut, kau nurut.
Kau juga makan lahap, katamu tak mau kalah sama aku. Tawamu pecah saat aku asik menggigit Ceker Ayam, dan "ah" telor Puyuh yang belum terkunyah dari mulutmu loncat dan mengelinding hingga terinjak si Mas yang sedang membungkus Nasi dan Teri. Aku tersenyum. Kau kaget, menunduk malu. Untungnya si Mas nya tidak sadar.
Hari semakin malam, keramaian pasar di malam hari sudah mulai sepi. Kita pun pulang, takut kalau gerbang dikunci. 200an meter kita berjalan, kau mengeluh kehausan. Untungnya ada Mini Market X masih buka. Aku memilih nunggu diluar. Tak lama minuman yang kau cari pun ketemu. Kau bersegera ke kasir. Belum sempat kau mengambil receh kembalian. Mas Kasir mengepalkan tangan seraya berkata "SEMANGAT MBAK!" kau kaget dan mundur selangkah, dan tergagap "I..ii...iya Mas." kau keluar penuh heran mendapati aku tertawa lebar.
"Hahaha. Gak perlu heran. Itu slogan mereka."
"Hah."