"Iya. Aku taunya kemaren."
"Kaget juga?"
"Iya."
"Hihihi.... Nah, hubungan kita juga harus tetap semangat ya."
***
Mira, meski malalui surat telah kau kirim kata-kata berupa mantra yang telah melolosi tulang-belulang hingga dalam masa yang panjang aku timpang, ikrarmu malam itu selalu terngiang di kepala.
Jika saja kau mau memetik senar waktu lebih lama dan betah mendengar iramanya, (andai kau meminta) aku akan membawa sepotong senja untukmu seperti yang dilakukan pengarang tua (SGA) untuk pacarnya (Alina), tapi nyatanya kau muak mendengar nadanya. Kau juga mengidolakan perjuangan Pangeran Bandung Bondowoso, ironisnya mendekati bagian epilog kau lebih memilih berlaku layaknya Roro Joggrang.
Semua telah lama berlalu. Namun bayanganmu masih terus membedung padang pada kembang yang belum bertuan. Hatiku kadang terpaut pada dia yang bermuka syahdu, duduk memandang pada keriuhan jalan di lesehan perempatan. Dia menunggu arah mana akan di tuju. Perlu pemandu untuk menepis ragu menaungi kalbu. Menggandeng tangannya menuntun pada tujuan final makhluk yang serupa dengannya.
Namun aku hanya bisa terpana saja. Keengganan pembisik otak selalu berbisik membelokkan pemutar gerak. Selalu memberi alasan agar membandingkan dia dengan kau. Kau: yang telah menjadi batu bagiku.
Ah, Mira. Usaha terakhir untuk mengamalkan isi suratmu: mengirim amplop yang bertuliskan tujuan pada sebuah Kota di jalur Pantura, alamatmu. Amplop yang berisi Kalung berlionton M, yang kita buat di Kota gede dulu. Semoga usaha terkhir ini berhasil.
Gayo Lues, 2017
Sedang sesenggukan, bukan nangis tapi pilek.