“Jangan. Tar nyungsep siapa yang lait.”
“hihihi.”
Kau pun memulai tantangan dengan mantap. Entah apa yang kau minta, katamu rahasia. Sesekali kau berhenti, tampak ragu melangkah. Aku berdeham di belakang, kau lanjut. Sekitar belasan menit kau berhasil melewati si kembar. Setelah membuka mata kau pun sedikit puyeng, mungkin karena cuaca begitu terik.
“Berkeringat amat?”
“Ini air mata, Sompr*t.”
“Lebay.”
Ronde kedua giliranku. Aku berjalan lantang tanpa ragu. Sesekali kau mengingatkan agar jangan sampai kesandung. Tak lama aku pun berhasil, dengan durasi lebih cepat. Aku pun puas, karena diam-diam aku juga berdo’a yang tak perlu kau tau. Aku senang kau tersenyum.
Selanjutnya agenda kita melakukan pelisiran di Malioboro. Naik becak. Setelah sedikit Negosiasi, ongkos pun disepakati jauh dari tawaran bapak Driver, mungkin si bapak iba melihat muka rantau yang kere kita.
Ditengah terik yang belum undur mencekam, si bapak dengan semangat mendayung becak meski keringat membasahi kaos wisata Jogja yang dikenakan. Ah, aku jadi teringat betapa banyak keringat bapak tumbah membesar aku dan saudara.
Rupanya kau juga kasihan, walau pun tak sejumlah tawaran si bapak, kau membayar lebih, padahal kau awalnya bersemangat menawar, pake bahasa jawa lagi.
Kita sepakat santai sejenak di kursi pinggir jalan, di bawah keteduhan sebuah pohon, sambil menikmati riuh megahnya kawasana 0 Km Jogjakarta. Kau yang telah ku akui lebih Extrovet sibuk bercerita tentang Monumen Supersemar, Benteng Vrederburg, Kantor pos, simpang BI dan tentang Jogja lainnya. Sambil mendengar aku ngiler liat tukang Rujak, cuaca panas sih.