Malah, hanya karena Presiden Amerika Serikat, Donald Trump bersalaman dengan Presiden China Xi Jinping saat berlangsungnya pertemuan G20 Â di Jepang pada 28 Juni 2019, nilai tukar rupiah menguat 0,10 persen menjadi Rp 14.126 per dollar AS.
Dan, harga untuk sebuah stabilitas rupiah tidaklah kecil. Misalnya, setelah pada 2018 The Fed menaikkan suku bunga acuannya lebih dari perkiraan pasar, Bank Indonesia terpaksa mengintervensi pasar dengan menggelontorkan Rp 11,9 triliun. Jika BI tidak melakukannya, nilai rupiah akan merosot.
Bisa dibilang, menjaga stabilitas mata uang dengan cara menanamkan cinta seperti yang dilakukan Mbak Tutut adalah pekerjaan yang sangat mustahil. Sebab, cinta seperti energi yang tidak dapat diciptakan maupun dimusnahkan.
Meski demikian, cinta bisa ditumbuhkan lantaran dibiasakan. Orang Jawa mengungkapkannya dengan "witing tresno jalaran kulino". Karena dibiasakan, cinta bisa mengakar dan tumbuh pada sepasang anak manusia yang dijodohkan. Karena itulah, untuk menjaga stabilitas kurs rupiah, negara memilih peran orang tua yang menjaga anaknya lewat ikatan tali pernikahan.
Untuk me-witing tresno jalaran soko kulino-kan anak bangsa dengan mata uangnya itulah itulah Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang diterbitkan.
"Ikatan pernikahan" ini terbaca pada Pasal 21. Dalam pasal itu disebutkan tentang kewajiban penggunaan rupiah untuk setiap transaksi yang berlangsung di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Setelah UU No. 7/2011 diundangkan, mau tidak mau setiap transaksi di wilayah NKRI wajib menggunakan rupiah sebagai alat tukarnya. Dengan begitu, undang-undang ya ng ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 28 Juni 2011 inibukan saja mengukuhkan rupiah sebagai simbol kedaulatan negara, tetapi juga bertujuan untuk menjaga stabilitas rupiah.
Bunyi lengkapnya, "bahwa untuk mewujudkan kedaulatan Rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan untuk mendukung tercapainya kestabilan nilai tukar Rupiah, perlu diterapkan kebijakan kewajiban penggunaan Rupiah dalam setiap transaksi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia."
Namun demikian, menjaga stabilitas rupiah sama beratnya dengan menjaga keutuhan wilayah kedaulatan wilayah NKRI. Jika, Tentara Nasional Indonesia membutuhkan dukungan rakyat dalam sistem pertahanan rakyat semestanya, begitu juga dengan Bank Indonesia. Bank sentral yang pada masa pemerintahan Hindia Belanda bernama De Javasche Bank (DJB) ini pun pastinya membutuhkan keterlibatan kita semua, khususnya netijen, untuk bersama-sama mengawal stabilitas mata uangnya.
Bela Negara Tanpa Senjata dengan Mem-Bung Tomo Banteng-kan Akun Medsos