Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Mau Ikut Jaga Stabilitas Rupiah? Tinggal "Bung Tomo-Bantengkan" Saja Akun Medsos Kita

3 Agustus 2019   10:12 Diperbarui: 3 Agustus 2019   10:19 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari itu, Februari 1998, sejumlah koran harian memasang foto Mbak Tutut  dengan pose memegang selembar HVS bertuliskan "Aku Rupiah" sebagai featured image berita utamanya..

Putri Presiden HM Soeharto bernama asli Siti Hardijanti Rukmana itu tidak sendiri. Di belakangnya menyusul sejumlah pesohor tanah air, mulai dari Dirjen Pajak Fuad Bawazier, Ketua Kadin Aburizal Bakrie, dan tidak ketinggalan artis senior Titiek Puspa.

Selang beberapa hari setelahnya, lagu "Aku Cinta Rupiah" yang dinyanyikan Cindy Cenora wara-wiri di antara iklan-iklan di hampir seluruh acara televisi dan radio.

Gerakan "Aku Cinta Rupiah" yang "gong" pertamanya ditabuh Mbak Tutut ini menjadi trending setelah masyarakat turut men-viral-kannya. Pemilik mobil, misalnya, menempeli kaca belakang mobilnya dengan stiker "Aku Rupiah".

Sayang, seruan "Aku Cinta Rupiah" tenggelam oleh kerasnya dentum gelegar meriam reformasi. Mata uang berkode IDR ini terus terpuruk hingga pada medio Juni 1998 sempat menyentuh level Rp 16.650 per dollar Amerika Serikat.

Jika dua dasawarsa yang lalu bangsa ini gagal menahan kemerosotan kurs rupiah, lantas di era serba daring ini, apa yang bisa kita, khusunya netijen, lakukan untuk bisa turut menjaga stabilitas rupiah? 

Me-Witing Tresno Jalaran Soko Kulino-kan Anak Bangsa dengan Rupiah.

Sebagaimana mata uang negara lainnya, kita tahu, nilai tukar rupiah bisa naik atau bisa juga sebaliknya. Kenaikan maupun penurunan nilai tukar mata uang adalah sesuatu yang wajar. Namun demikian, tetap ada batas rentangnya. Rentang atas dan juga rentang bawah inilah yang harus dikawal.

Dalam beberapa tahun terakhir, kurs rupiah sempat merosot dari Rp 13.957 per dolar AS ke Rp 13.993 per dolar AS. Pelemahan nilai tukar mata uang yang pada awalnya bernama Oeang Republik Indonesia ini terjadi pada saat pascaaksi teror yang mengguncang tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur, pada 13 Mei 2018.


Sebaliknya, stabilitas rupiah pun terganggu setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memastikan kemenangan Jokowi dalam Pilpres 2019. Ketika itu, pada 28 Juni 2019 atau sehari setelah MK membacakan keputusannya, nilai tukar rupiah naik dari level Rp 14.180 per dolar AS ke posisi Rp 14.141 per dolar AS.

Malah, hanya karena Presiden Amerika Serikat, Donald Trump bersalaman dengan Presiden China Xi Jinping saat berlangsungnya pertemuan G20  di Jepang pada 28 Juni 2019, nilai tukar rupiah menguat 0,10 persen menjadi Rp 14.126 per dollar AS.

Dan, harga untuk sebuah stabilitas rupiah tidaklah kecil. Misalnya, setelah pada 2018 The Fed menaikkan suku bunga acuannya lebih dari perkiraan pasar, Bank Indonesia terpaksa mengintervensi pasar dengan menggelontorkan Rp 11,9 triliun. Jika BI tidak melakukannya, nilai rupiah akan merosot.

Bisa dibilang, menjaga stabilitas mata uang dengan cara menanamkan cinta seperti yang dilakukan Mbak Tutut adalah pekerjaan yang sangat mustahil. Sebab, cinta seperti energi yang tidak dapat diciptakan maupun dimusnahkan.

Meski demikian, cinta bisa ditumbuhkan lantaran dibiasakan. Orang Jawa mengungkapkannya dengan "witing tresno jalaran kulino". Karena dibiasakan, cinta bisa mengakar dan tumbuh pada sepasang anak manusia yang dijodohkan. Karena itulah, untuk menjaga stabilitas kurs rupiah, negara memilih peran orang tua yang menjaga anaknya lewat ikatan tali pernikahan.

Untuk me-witing tresno jalaran soko kulino-kan anak bangsa dengan mata uangnya itulah itulah Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang diterbitkan.

"Ikatan pernikahan" ini terbaca pada Pasal 21. Dalam pasal itu disebutkan tentang kewajiban penggunaan rupiah untuk setiap transaksi yang berlangsung di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Setelah UU No. 7/2011 diundangkan, mau tidak mau setiap transaksi di wilayah NKRI wajib menggunakan rupiah sebagai alat tukarnya. Dengan begitu, undang-undang ya ng ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 28 Juni 2011 inibukan saja mengukuhkan rupiah sebagai simbol kedaulatan negara, tetapi juga bertujuan untuk menjaga stabilitas rupiah.

Bordiran #sobatrupiah pada jaket (Dok. Pri)
Bordiran #sobatrupiah pada jaket (Dok. Pri)
Tujuan ini dapat dibaca dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/3/PBI/2015. Dalam peraturan BI yang diteken Gubernur BI Agus Martowardojo pada 31 Maret 2015 itu menyebutkan frase "untuk mendukung tercapainya kestabilan nilai tukar Rupiah".

Bunyi lengkapnya, "bahwa untuk mewujudkan kedaulatan Rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan untuk mendukung tercapainya kestabilan nilai tukar Rupiah, perlu diterapkan kebijakan kewajiban penggunaan Rupiah dalam setiap transaksi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia."

Namun demikian, menjaga stabilitas rupiah sama beratnya dengan menjaga keutuhan wilayah kedaulatan wilayah NKRI. Jika, Tentara Nasional Indonesia membutuhkan dukungan rakyat dalam sistem pertahanan rakyat semestanya, begitu juga dengan Bank Indonesia. Bank sentral yang pada masa pemerintahan Hindia Belanda bernama De Javasche Bank (DJB) ini pun pastinya membutuhkan keterlibatan kita semua, khususnya netijen, untuk bersama-sama mengawal stabilitas mata uangnya.

Bela Negara Tanpa Senjata dengan Mem-Bung Tomo Banteng-kan Akun Medsos

Ada banyak cara yang bisa dilakukan kita untuk menjaga kedaulatan negara. Salah satunya dengan menyebarluaskan pesan-pesan perjuangan.

Dulu, di masa-masa perjuangan melawan penjajahan, kita mengirimkan pesan-pesan perjuangan dengan menuliskan "MERDEKA ATAOE MATI" pada dinding gerbong kereta api. Dengan menjadikan kereta api sebagai media, kita menggetoktularkan pesan-pesan perjuangan dari satu daerah ke daerah lainnya.

Coretan
Coretan
Lain lagi dengan Bung Tomo. Mantan jurnalis ini mengelorakan semangat perlawanan lewat pemancar radio yang berlokasi di sebuah rumah di kawasan Tegalsari, Surabaya.

"... Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah.
Yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih
Maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapa pun juga
..." seru Bung Tomo.

Seruan Bung Tomo itu langsung didengar oleh arek-arek Suroboyo secara real time sekaligus juga mem-viral dengan cepat. Sontak, pada hari itu juga, 10 November 1945, segenap rakyat Surabaya bergerak.

Bung Tomo tidak memilih menyampaikannya dengan berpidato di alun-alun kota ala weworo zaman kerajaan di Jawa tempo dulu. Bung Tomo pun tidak memilih menempeli poster di setiap sudut kota. Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran di era Presiden Soekarno ini memilih radio sebagai media penyampai pesan. Inilah salah satu bukti kercerdasan bangsa kita.

Bung Tomo dengan pemancar radio yang digunakannya, rakyat Surabaya dengan pesawat radionya, dan rakyat surabaya dengan pesan dari mulut ke mulutnya tak ubahnya kita dengan akun media sosial yang kita miliki.

Lewat akun media sosial, kita bisa mengirim, menerima, sekaligus juga menyebarluaskan pesan. Jadi, kita bisa menjadi Bung Tomo sekaligus juga rakyat Surabaya yang oleh Bung Tomo disebut "Banteng".

Keefektifan dan keefisiensian penggunaan medsos sebagai media pengirim sekaligus penyebar pesan ini oleh hasil riset yang dipublikasikan We Are Social pada Februari 2019.

Jumlah pengguna media sosial di Indonesia (Sumber: Wearesocial.com)
Jumlah pengguna media sosial di Indonesia (Sumber: Wearesocial.com)
Lewat kerja samanya dengan HootSuite, We Are Social menyebut pada 2019 juta pengguna media sosial di Indonesia berjumlah 150 juta atau naik 20 persen dari tahun sebelumnya. Artinya, lebih dari setengah penduduk Indonesia menggunakan medsos, seperti Facebook, Instagram, Twitter, Snapchat, LinkedIn, dan lainnya,

Data lain yang menarik adalah rerata waktu penggunaan medsos. Menurut perusahaan yang berbasis di London ini, setiap harinya rerata pengguna medsos di Indonesia menghabiskan waktu 3 jam, 26 menit.

Waktu yang digunakan netijen di Indonesia dalam satu hari (Sumber: Wearesocial.com)edia sosial
Waktu yang digunakan netijen di Indonesia dalam satu hari (Sumber: Wearesocial.com)edia sosial
Dari hasil riset tersebut jelas bila media sosial jauh lebih efektif dan efisien tenimbang mengampanyekan gerakan "Cinta Rupiah" lewat televisi atau radio atau juga menempeli kaca belakang mobil dengan stiker "Aku Cinta Rupiah".

Masih ingat tagar "#RushMoney"? Tagar ini menderasi lini masa pasca-KPU (Komisi Pemilihan Umum) mengumumkan pemenang Pilpres 2019 pada 21 Mei 2019. Ajakan untuk menukarkan rupiah dengan dollar Amerika Serikat pun diserukan lewat sejumlah platform jejering media sosial dan juga aplikasi ruang obrolan.

Ketika itu, kurs rupiah terhadap dolar AS melemah 25 poin menjadi Rp 14.480 per dolar AS. Jika saja hasutan tarik tunai dan menukarkannya dengan dolar AS tidak dihantam balik, maka tidak menutup kemungkinan kurs rupiah akan terus merosot. Dan, jika sudah menyentuh angka psikologis, krisis moneter seperti yang terjadi pada 1998 pun bisa terulang.

"#RushMoney" bukan pertama kalinya menyerbu. Tiga tahun sebelumnya sekelompok netijen beramai-ramai menyerukan "tarik tunai" pada 25 November 2016 atau sekitar seminggu jelang Aksi 212.

Ketika itu, hasutan menarik rupiah begitu masif menyerbu lini masa. Saking masifnya, para pemangku otoritas keuangan pun bereaksi. Mulai dari Menteri Keuangan Sri Mulyani sampai Gubernur BI Agus Martowardojo. Sementara itu, Polri bertindak cepat dengan mencari dan menangkap penghasut.

Tak lama setelah polisi melakukan penangkapan pelaku, netijen menyebarluaskan foto-foto pelaku. Dan, tak lama setelah itu propaganda busuk yang bertujuan merontokkan nilai tukar rupiah pun menghilang dari lini masa berbagai jejaring media sosial.

Aksi netijen juga terekam saat rupiah melemah pascaaksi teror Sarinah pada 14 Januari 2016. Pada hari itu rupiah merosot 0,61 persen dan kembali anjlok 3 poin sehari setelahnya. Rupiah terus melorot sampai 27 poin pada 17 Januari 2016. Saat itu netijen melawan aksi teror dengan mem-viral-kan tagar #KamiTidakTakut dan #BersatuMelawanTerorisme.

Barulah setelah empat hari dihajar habis, pada 18 Januari 2016 rupiah kembali menggeliat. Sulit diperkirakan berapa pelemahan rupiah jika netijen tidak melakukan aksinya.

Seperti yang diteorikan oleh setumpuk buku ekonomi, stabilitas nilai tukar mata uang dapat dipengaruhi faktor-faktor psikologis, termasuk rasa takut. Ketakutan yang ditebar pelaku teror itulah yang dilawan oleh netijen lewat sederetan unggahannya di media sosial.

Foto layar buku keci;
Foto layar buku keci;
Aksi netijen dalam mengawal stabilitas rupiah di atas membuktikan bila membela negara tidak melulu menggunakan senjata, tidak perlu harus dengan peluru, tetapi bisa juga menggunakan medsos dengan konten-konten sebagai pelurunya. Inilah yang dimaksud "Bela Negara Tanpa Senjata".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun