"Gatot Nurmantyo: Bayangkan kalau 2019 Nanti Bukan Jokowi..." Begitu judul berita Tempo.co yang dipublish pada 16 November 2017.
Kontan berita tersebut menimbulkan kegaduhan. Ada kelompok yang bersorak-sorai atas berita yang memuat pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo saat menyampaikan pemaparannya di hadapan peserta rekernas Partai NasDem, di Jakarta International (JI) Expo, Jakarta Pusat, pada 16 November 2017.
Sebaliknya, ada pula kelompok yang mengecam karena menganggap Gatot telah menyatakan dukungannya kepada Joko Widodo untuk melanjutkan masa pemerintahannya hingga dua periode atau sampai 2014.
Link berita Tempo tersebut kemudian tersebar lewat jejaring sosial dengan tagar #KamiBersamaPanglima.
Benarkah Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo telah menyatakan dukungannya kepada Jokowi untuk melanjutkan masa kepemimpinannya?
Gatot Nurmantyo Bicara "ke Timur", Nasdem Menangkapnya "ke Atas"
"'Bayangkan, kalau nanti 2019 bukan Jokowi, presidennya mengatakan infrastruktur. Apa itu. Hapus? Apa jadinya bangsa ini,' kata dia yang kembali disambut riuh kader NasDem." Demikian tulis Tempo dalam isi beritanya.
Selain Tempo, Tribunnews.com pun memberitakannya. Tribunnews menulis pernyataan Gatot Nurmantyo dengan lebih lengkap.
"'Bayangkan apabila pak SBY tidak menjadi presiden dua periode, tentu kita tidak mengalami situasi semacam ini. Betul. Bayangkan kalau nanti dua ribu sembilan belas bukan Pak Jokowi, Presiden (yang baru) mengatakan, infrastruktur apa itu, hapus,' ujar Gatot Nurmantyo dalam pemaparannya, di acara rekernas Partai NasDem, di Jakarta International (JI) Expo, Jakarta Pusat, Kamis (16/11/2017)."
Apabila mengacu pada pidato Gatot yang ditulis oleh Tribunnews, pernyataan Gatot tersebut tidak mengarah pada figur, tetapi kepada masa pemerintahan.
Artinya, Gatot menghendaki seorang presiden, siapa pun juga, diberi kesempatan untuk memimpin selama dua periode.
Alasannya? Gatot pun melanjutkan pidatonya, "Presiden (yang baru) mengatakan, infrastruktur apa itu, hapus."
Jelas, dalam pidatonya itu Gatot menekankan pembangunan yang tidak terputus atau berkelanjutan.
Tempo kemudian menulis (penebalan oleh penulis) "Menurut Gatot, terpilihnya Jokowi sangat penting untuk melanjutkan program pembangunan yang sekarang ini sedang dijalankan. Apalagi dia menilai Indonesia sebagai negara yang aneh karena tidak mempunyai rancangan pembangunan jangka panjang.
"Rancangan sepuluh tahunaja enggak ada. Adanya rencana lima tahunan dan diserahkan pada presiden," ujarnya.
Karena itu, menurut dia, tatanan yang sekarang sudah berjalan di bawah Presiden Jokowi penting untuk berlanjut, sehingga pembangunan bisa terwujud.
"Setelah itu ganti lagi enggak masalah. Ini karena sistem kita seperti ini," kata Gatot Nurmantyo
Diberitakan juga jika Gatot menuturkan ketidakadaan rencana itu terbilang ironis. Panglima mengibaratkan seorang bapak saja pasti memiliki rencana jangka panjang untuk anaknya.
"Bangsa Indonesia nggak ada rencana sepuluh tahunan, nggak ada, yang ada rencana lima tahunan yang diserahkan presiden terpilih, gila nggak?" kata Gatot dalam pidatoonya.
Mungkin, kerena menangkap pernyataan Gatot sebagai dukungan kepada Jokowi untuk meneruskan pemerintahannya, kader NasDem menyorakinya.
"Dia sepakat sama kita, kalau panglima bilang dua periode ya berarti senafas dengan NasDem, NasDem tentu mengapresiasi itu," kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai NasDem Surya Paloh yang telah menyatakan partai yang dipimpinnya mendujung Jokowi untuk mempertahankan jabatannya sebagai Presiden RI (Sumber: Tribunnews.com).
Memang, logikanya, jika Gatot Nurmantyo menghendaki pembangunan yang berkelanjutan, pastinya Gatot mendukung kelanjutan pemerintahan Jokowi hingga 2 periode.
Kalau benar pernyataan tersebut sebagai dukungan kepada Jokowi yang rencananya akan maju sebagai capres petahana pada Pilpres 2019, itu sama saja Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo telah melakukan politik praktis berupa dukung-mendukung dalam pemilu. Artinya, Gatot tertangkap basah off side.
Tetapi jika dibaca secara utuh, pidato tersebut tidak ditujukan untuk figur tertentu. Gatot berbicara tentang masa atau periode pemerintahan. Gatot menyampaikan pandangannya tentang perlunya bangsa Indonesia memiliki perencanaan jangka panjang.
Itulah kenapa Gatot sebelumnya mengatakan, "Bayangkan apabila Pak SBY tidak menjadi presiden dua periode," yang dilanjutkan dengan, "tentu kita tidak mengalami situasi semacam ini. Betul." Barulah kemudian Gatot menyatakan, "Bayangkan kalau nanti dua ribu sembilan belas bukan Pak Jokowi".
Di sinilah menariknya, Gatot bicara tentang kepentingan bangsa, Nasdem menangkapnya sebagai kepentingan pribadi dan golongan. Gatot bicara tentang kepentingan nasional jangka panjang, Nasdem menganggapnya sebagai kepentingan jangka pendek, yaitu Pilpres 2019.
Sederhananya, Gatot bilang ke timur, Nasdem mendengarnya ke atas. Tidak nyambung babar blas.
Ironisnya,Nasdem mengundang Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai Panglima TNI. Tetapi karena ketidak-nyambungannya itu, Nasdem telah memosisikan Gatot Nurmantyo sebagai politisi.
Gatot Nurmantyo khawatir Indonesia terancam di-"Arab Spring"-kan.
Jika meng-Google, sulit menemukan pernyataan Gatot Nurmantyo yang menyinggung perlunya bangsa Indonesia memiliki perencanaan jangka panjang.
Mungkin, baru saat menghadiri rekernas Nasdem kemarin itulah untuk pertama kalinya Gatot secara lugas dan terang-terangan mengungkapkan keprihatinannya akan pembangunan di Indonesia yang dinilainya terputus-putus.
Hanya saja, dalam berbagai kesempatan, seperti saat kuliah umum di depan mahasiswa Pascasarjana Universitas Pertahanan, PMPP IPSC, Sentul, Bogor, Jawa Barat, pada 26 Agustus 2016, Gatot kerap menyampaikan kekhawatirannya tentang ancaman krisis energi, air dan pangan yang diperkirakan memuncak pada 2043.
Dalam berbagai kesempatan itu, Gatot bicara tentang adanya ancaman yang mengintai bangsa Indonesia beberapa tahun ke depan. Menurutnya, jika ancaman ini tidak dikelola dengan baik, bangsa Indonesia akan mengalami konflik atau perang saudara seperti yang terjadi di sejumlah negara Arab.
"Bangsa Indonesia bisa bernasib sama seperti beberapa negara Arab Spring yang mengalami konflik atau perang saudara," kata Gatot (Sumber: CNNIndonesia).
Gatot memang secara tidak langsung bicara tentang pembangunan yang berkesinambungan, tetapi bicara tentang ancaman di masa yang akan datang.
Ancaman yang diungkapkan Gatot adalah terjadinya krisis global yang berpotensi menimbulkan pertumpahan darah. Dan, logikanya, krisis sebesar itu tidak mungkin diselesaikan dalam satu-dua periode kepresidenan.Untuk itu dibutuhkan strategi atau perencanaan jangka panjang.
Sebagai Panglima TNI, Gatot pastinya tidak ingin Indonesia di-Suriah-kan dan Tegal di-Raqqa-kan. Kekhawatiran Gatot tidak berlebihan mengingat sejumlah gejala yang mirip dengan yang dialami di sejumlah negara Arab sudah nampak di Indonesia.
Pada pertengahan Oktober 2017 lalu, Kota Raqaa di Suriah mengalami kehancuran hingga 80%. Selain itu, 1.873 penduduk Raqqa tewas akibat bombardir serangan udara.
"Raqqa telah mewarisi nasib Dresden di tahun 1945, disapu bersih dari bumi dengan pemboman yang dilalukan oleh Anglo-Amerika," kata juru bicara Kementerian Pertahanan Rusia Mayor Jenderal Igor Konashenkov (sumber:Â BBC.com).
Saat ini Raqqa tengah dalam situasi yang begitu kritis. Mengingat Rusia telah mengarahkan pasukan elitnya untuk merebut Raqqa. Sebaliknya, AS juga telah memobilisasi pasukan elitnya untuk mempertahankan kota yang sudah hancur lebur itu.
Dari Raqqa, medan perang akan beralih ke ke sisi timur Sungai Eufrat, kawasan di Suriah yang kaya akan ladang minyak.
Suriah merupakan panggung nyata dari berlangsungnya perang proxy yang sangat sempurna. Di negara yang bertetanggaan dengan Iran dan Turki tersebut terjadi kecamuk perang yang melibatkan sejumlah negara serta milisi-milisi bentukannya.
Dan, dalam berbagai kesempatan, Gatot berulang kali mengingatkan potensi terjadinya perang proxy di Indonesia.
Untuk mengatasi terjadinya perang proxy, bergesernya Arab Spring ke Indonesia, dan menghadapi krisis global pastinya berkaitan dengan strategi nasional, baik jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang.
Tanpa adanya perencanaan jangka panjang, Indonesia akan limbung tanpa arah. Tidak mengherankan jika saat ini wacana untuk menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) kembali mencuat. Bukan hanya itu, gagasan untuk kembali ke UUD 1945 yang asli pun kembali menguat.
Tetapi, apakah dalam pidatonya di hadapan kader Nasdem tersebut Gatot mengisyaratkan ingin menghidupkan kembali GBHN? Ini yang tidak jelas.
Gatot hanya mengatakan,"Rancangan sepuluh tahunaja enggak ada. Adanya rencana lima tahunan dan diserahkan pada presiden."
Bayangkan kalau pidato Gatot Nurmantyo dibaca dengan kacamata nyinyir
"Bayangkan apabila pak SBY tidak menjadi presiden dua periode, tentu kita tidak mengalami situasi semacam ini. Betul. Bayangkan kalau nanti dua ribu sembilan belas bukan Pak Jokowi, Presiden (yang baru) mengatakan, infrastruktur apa itu, hapus."
Sekarang, bayangkan kalau "semacam ini" dalam pidato Gatot Nurmantyo dibaca dengan konotasi negatif atau dengan kacamata nyinyir.
Selain Gatot dan Tuhannya, pastinya tidak ada yang tahu maksud dari "semacam ini".
Lantas, bagaimana bisa: "Bayangkan kalau nanti dua ribu sembilan belas bukan Pak Jokowi"dimaknai sebagai dukungan Gatot pada Jokowi untuk melanjutkan periode pemerintahannya?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H