Anies Phd ilmu politik. Jelas bukan orang bodoh. Pidato pertamanya diliput semua media. Dia sudah berhitung gaung, efek, akibat apa yg akan dia katakan.
Konteks, setelah berhasil menggusur Gub keturunan Tionghoa. Anies: "Saatnya pribumi jd tuan rumah di negeri sendiri." Gak perlu pinter-pinter memahami apa yg ada dibenak kepala Anies.
Tidak ada yg salah dg istilah PRIBUMI. Cuma konteks dan saatnya yg tidak tepat. Ratusan suku, Indonesia multi pribumi.
Isu pribumi sejak Pilkada DKI sudah muncul suara 'orang jawa penjajah'. Haruskah latah anut grubyuk mengikuti skenario cara2 politisi2 culas yg dengan sengaja sedang menciptakan instabilitas nasional?
Begitu komentar Badja Nuswantara di artikel "Penggunaan Istilah "Pribumi" Lumrah, Lantas Kenapa Pidato Anies Baswedan Dipolisikan?"
Seperti komentar di atas, pada siang hari tanggal 18 Oktober 2017, linimasa jejaring sosial disesaki oleh deretan status dan kicauan yang menuding Anies Baswedan sebagai sumber kegaduhan politik berbau rasial.
Benar, dalam pidato perdana yang dibacakannya di Balai Kota pada 16 Oktober 2017, Anies Baswedan menyebut kata "pribumi" atau tepatnya "rakyat pribumi"
Benar, jika sebagai naskah pidato perdana, naskah yang mengadung kata "pribumi" tersebut pastinya sudah melewati serangkaian tahap penulisan. Karenanya isi dari naskah tersebut, termasuk penggunaan kata "pribumi", pastinya sudah dipertimbangkan dengan matang.
Dan, benar, sebelum membacakannya dihadapan publik, Anies pastinya telah membaca naskah pidatonya terlebih dahulu. Bahkan mungkin melatihnya di seuatu tempat beberapa jam sebelumnya.
Tetapi, peran Anies hanya sampai pada pembacaan naskah pidato yang mengandung kata "pribumi". Hanya sampai di situ.
Selanjutnya, kata "pribumi" yang dibacakan Anies dari naskah pidatonya tersebut dianggap sebagai sebuah kesalahan oleh sejumlah pihak.
Secara bersamaan sejumlah media arus utama dan linimasa diramaikan dengan kecaman-kecaman yang disertai hujatan-hujatan pedas kepada Anies.
Sontak, kegaduhan politik pun meledak.
Bahkan, karena dianggap telah melangar Undang-Undang Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis serta Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998, sehari setelah membacakan naskah pidatonya Anies pun dilaporkan ke polisi.
Pertanyaannya sangat sederhana,kalau kata "pribumi" tidak dianggap sebagai sebuah kesalahan, apakah akan terjadi kegaduhan?
Tidak.
Lantas, apakah pihak-pihak yang menganggap kata "pribumi" sebagai sebuah kesalahan berada di satu pihak dengan Anies, atau berada dalam kontrol Anies?
Jawabannya juga tidak.
Kalau begitu, jika pihak yang menyalahkan Anies bukan bagian dari pihak Anies, apalagi berada di bawah kendali Anies, bagaimana mungkin Anies mampu membuat kegaduhan politik ini?
Kalau pun, Anies dengan sengaja "menjual" kata "pribumi", apakah jualan Anies tersebut wajib dibeli oleh pihak-pihak penentangnya?
Jawabannya juga tidak.
Jadi, sekalipun Anies dengan sengaja menarik keributan dengan memilih kata "pribumi" dalam pidatoya, tetapi kalau lawan-lawan Anies tidak menanggapinya, maka kegaduhan pun tidak akan terjadi.
Begitu mudahnya mematahkan tudingan terhadap Anies.
Toh, dalam kenyataannya, penggunaan kata "pribumi" tidak pernah sekalipun menimbulkan kegaduhan. Terlebih sampai pada pemidanaan bagi penggunanya.
Apalagi kata "pribumi" sudah lumrah digunakan. Sejumlah pejabat negara dalam kabinet Jokowi pun menggunakan kata "pribumi", seperti Jusuf Kalla, Hanif Dhakiri, dan Susi Pudjiastuti.
Demikian juga dengan mantan Presiden RI Kelima Megawati Soekarnoputri yang lebih memilih kata "pribumi" ketimbang kata lainnya.
Ada juga HIPPI yang merupakan kependekan dari Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia.
Menariknya, begitu diperlihatkan sederetan fakta jika kata "pribumi" sudah lumrah digunakan, para anti-Anies, sebut saja demikian, mengaku mual-mual.
Fakta memang begitu menyakitkan. Terlebih jika fakta itu kemudian membuat arah angin juga berubah, dari yang sebelumnya memihak menjadi menerpa.
Tetapi, akibat kegaduhan yang ditimbulkan oleh lawan politiknya tersebut, Anies justru mendapat keuntungan. Sebab, akibat kegaduhan yang bersumber dari kata "pribumi" ini, polarisasi pun kembali menguat.
Dan, polarisasi sangat menguntungkan kubu Anies lebih diuntungkan mengingat tingkat populasi yang berada di kutub Anies jauh lebih besar ketimbang kutub lainnya.
Karenanya, menyerang Anies dengan menggunakan kata "pribumi", apalagi dengan memosisikan kata "pribumi" sebagai kata terlarang di negeri ini merupakan sebuah blunder fatal.
Akibat blunder yang dilakukan oleh kelompok yang sebarisan dengannya, Jokowi pun mau tidak mau kecipratan getahnya. Sentimen negatif terhadap Jokowi pun kian meningkat.
Secara teori, meningkatnya sentimen negatif akan menggerus elektabilitas Jokowi yang saat ini saja sudah sangat mengkhawatirkan.
Serangan kepada Anies dengan mencari-cari kesalahan dan mengada-ada itu berdampak negatif bagi Jokowi. Dan itu terjadi hanya beberapa hari jelang 3 tahun penobatan Jokowi sebagai Presiden RI.
Tetapi, kado "pribumi" ini masih terbilang kecil untuk Jokowi. Sebab, ada kado lainnyayang jauh lebih besar. Kado ini rencananya dikirim oleh Donald Trump dari Amerika Serikat.
Sebagaimana yang diberitakan oleh Tempo.co, sekitar 2.000 warga Indonesia beretnis Tionghoa yang akan dideportasi dari Amerika Serikat. Mereka disebutkan sebagai korban kerusuhan Mei 1998 yang melarikan diri ke Amerika Serikat karena khawatir atas keselamatan nyawanya.
Awal Agustus 2017, warga Indonesia yang disebut sebagai imigran gelap itu diberitahu untuk kembali berdasarkan perintah eksekutif Trump yang diteken pada tanggal 25 Januari 2017.
Rencana kembalinya ke-2.000 warga Indonesia dari pelariannya setidaknya akan menambah masalah bagi Jokowi yang tengah semakin memanasnya isu "pribumi vs non pribumi".
Padahal, tanpa kedatangan warga Indonesia dari Amerika tersebut, pemerintah Jokowi sudah dibuat kalang kabut oleh banyaknya tenaga kerja ilegal asal China yang masuk dan berebutan lapangan kerja dengan rakyat "bumi putera".
Rencana kepulangan 2.000 warga Indonesia dari pelariannnya, persoalan proyek reklamasi Teluk Jakarta yang telah membuat banyak rakyat Indonesia geram, masuknya TKA ilegal asal China, dan persoalan lainnya pastinya akan semakin memanaskan isu "pribumi vs non-pribumi". Ironisnya, isu ini justru "disumbang" sendiri oleh kelompok yang sebarisan dengan Jokowi.
Melihat isu "pribumi vs non-pribumi" yang juga diangkat oleh kelompok yang sebarisan dengan Jokowi, Rocky Gerung benar dan seutuhnya benar.
Menurut dosen filsafat UI ini, kubu Jokowi menghadirkan masyarakat yang terbelah yang salah satunya disumbang dengan dipekerjakannya buzzers yang beraksi di media sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H