Begitu mudahnya mematahkan tudingan terhadap Anies.
Toh, dalam kenyataannya, penggunaan kata "pribumi" tidak pernah sekalipun menimbulkan kegaduhan. Terlebih sampai pada pemidanaan bagi penggunanya.
Apalagi kata "pribumi" sudah lumrah digunakan. Sejumlah pejabat negara dalam kabinet Jokowi pun menggunakan kata "pribumi", seperti Jusuf Kalla, Hanif Dhakiri, dan Susi Pudjiastuti.
Demikian juga dengan mantan Presiden RI Kelima Megawati Soekarnoputri yang lebih memilih kata "pribumi" ketimbang kata lainnya.
Ada juga HIPPI yang merupakan kependekan dari Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia.
Menariknya, begitu diperlihatkan sederetan fakta jika kata "pribumi" sudah lumrah digunakan, para anti-Anies, sebut saja demikian, mengaku mual-mual.
Fakta memang begitu menyakitkan. Terlebih jika fakta itu kemudian membuat arah angin juga berubah, dari yang sebelumnya memihak menjadi menerpa.
Tetapi, akibat kegaduhan yang ditimbulkan oleh lawan politiknya tersebut, Anies justru mendapat keuntungan. Sebab, akibat kegaduhan yang bersumber dari kata "pribumi" ini, polarisasi pun kembali menguat.
Dan, polarisasi sangat menguntungkan kubu Anies lebih diuntungkan mengingat tingkat populasi yang berada di kutub Anies jauh lebih besar ketimbang kutub lainnya.
Karenanya, menyerang Anies dengan menggunakan kata "pribumi", apalagi dengan memosisikan kata "pribumi" sebagai kata terlarang di negeri ini merupakan sebuah blunder fatal.
Akibat blunder yang dilakukan oleh kelompok yang sebarisan dengannya, Jokowi pun mau tidak mau kecipratan getahnya. Sentimen negatif terhadap Jokowi pun kian meningkat.