Selain sikap Syiah yang memilih untuk tidak reaktif, upaya membenturkan Sunni dengan Syiah juga terbentur pada pandangan Habib Riziq Shihab (HRS) terhadap Syiah. HRS berulang kali berupaya meluruskan pandangan miring terhadap semua kelompok Syiah. Karena sikapnya itu, HRS kerap mendapat hujatan dari kelompok yang menganggap semua kelompok Syiah adalah sesat.
Terancam gagal membenturkan Sunni dengan Syiah, sosok Ahok pun dijadikan pintu alternatifnya. Upaya untuk menjadikan Ahok sebagai pintu alternatif sebenarnya sudah dimulai sejak Ahok menggantikan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta. “Pintu alternatif” ini mulai menemukan momentumnya saat kasus UPS. Saat itu mulai muncul propaganda “Ahok anti korupsi” dan “DPRD adalah Koruptor”. Propaganda Ahoker ini semakin menjadi-jadi bersamaan dengan pengumpulan KTP oleh Teman Ahok.
Hebatnya lagi, meski terseret dalam sejumlah kasus korupsi yang ditangani oleh KPK, namun Ahoker tetap sanggup mempertahankan nama Ahok sehingga masih dapat disimbolkan sebagai sosok bersih anti-korupsi. Upaya untuk menjaga Ahok dari kasus korupsi pun dilakukan oleh KPK. Dalam kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras, misalnya, KPK menggunakan teknik sulap dengan memunculkan “unsur niat jahat” sehingga sampai sekarang Ahok belum bisa dijadikan tersangka.
Sementara dalam kasus reklamasi, KPK bersikap ogah-ogahan. Padahal setelah OTT terhadap Sanusi CS, pada 5 April 2016 KPK menegaskan ada tersangka baru. Penegasan KPK itu dilulang pada 25 April 2016. Tetapi, sampai sekarang belum ada satu pun nama tersangka baru yang diumumkan.
Dari sikap KPK terhadap kasus-kasus yang menyeret nama Ahok ini menunjukkan adanya upaya sistematis untuk mempertahankan Ahok. Tanpa disadari oleh KPK, dibersihkannya Ahok dari sederet kasus korupsi sama saja dengan mengupayakan dan mempertahankan Ahok sebagai “pintu masuk”.
Bahkan pemerintah pun bungkam seribu bahasa ketika Ahok mencoba membangkang terhadap PTUN yang memenangkan gugatan warga DKI. Bungkamnya pemerintah ini menimbulkan persepsi adanya dukungan pemerintah pusat terhadap Ahok, meski kebijakan yang diambil Ahok telah dinyatakan melanggar hukum dan menyengsarakan rakyat. Dari sini muncullah bibit “Pemerintah Jokowi Vs Rakyat”.
Sejak itulah pola-pola PKI satu persatu mulai dijalankan. Ahoker mempropagandakan Ahok dan pendukungnya sebagai sosok dan kelompok yang bersih dan anti korupsi. Sebaliknya, Ahoker menstemple kelompok yang berseberangan sebagai pro-koruptor, pro-kekumuhan, anti-kemajuan, dan lain sebagainya. Stempel ini kemudian melebar, Ahoker mempropagandakan lawan-lawannya sebagai kelompok teroris, radikalis, anti-NKRI, anti-Pancasila, dan lainnya.
Tanpa membutuhkan banyak waktu, Ahok dibentuk menjadi sebuah simbol atau ikon Kebhinnekatunggalikaan. Ahok pun kemudian dipropagandakan sebagai ikon yang mewakili semua etnis dan agama. Dengan propaganda ini, berjuta-juta warga negara Indonesia, lintas agama dan etnis berbaris di belakang Ahok.
Di saat yang bersamaan, HRS dengan FPI-nya dijadikan sebagai simbol penentang Ahok. Sebagaimana Ahok dengan segala kontroversinya, simbol HRS yang tidak lepas dari kontroversi ini pun sanggup menarik banyak pendukung dalam jumlah yang besar. Bahkan, bisa jadi, justru kontroversi yang dimiliki kedua sosok itulah yang menjadi magnet yang sanggup menarik jutaan pedukung.
FPI: “Ikan” yang Terus Dipancing
Semenjak situasi nasional memanas, ada sejumlah upaya memancing FPI dan ormas Islam lainnya untuk membuat kerusuhan. FPI dengan soliditas, militansi, dan kepatuhan anggotanya kepada pemimpinnya, Habib Rizieq Shihab (HRS) merupakan karakter ideal untuk dibenturkan dengan kelompok massa lainnya.