Presiden RI Joko Widodo masih terus disasar untuk digulingkan. Pola yang digunakannya masih sama dengan yang dipraktekan sebelumnya, yaitu dengan menciptakan konflik sosial. Pola ini terbilang klasik, sebelumnya pemerintah Belanda menggunakan politik devide et impera untuk menguasai Indonesia. Jurus klasik ini kembali dipraktekkan lewat proxy war.
Situasi nasional diperkirakan akan terus memanas jelang 20 Mei 2017. Sejumlah potensi konflik dapat meletus kapan pun di mana pun. Potensi konflik ini semakin menguat seiring dengan semakin mengerasnya polarisasi yang tercipta sejak 2014. Polarisasi di antara bangsa Indonesia inilah yang akan mengembalikan situasi nasional ke masa tahun 1965-an.
Upaya polarisasi itu sudah terjadi sejak Pilgub DKI 2012. Ketika itu, pendukung Jokowi-Ahok dicap sebagai kafir. Selanjutnya, pada Pemilu 2014 stempel kafir, anti-Islam, dan lainnya pun disematkan kepada pendukung Jokowi. Hanya saja, Jokowi bukanlah sosok ideal untuk dijadikan “pintu masuk”.
Sebenarnya, saat Pemilu 2014 sudah terjadi upaya pengkotakan antara Islam dan non-Islam. Celakanya pengkotakan itu juga dipropagandakan oleh relawan pendukung Jokowi. Lewat akun twitter “resminya”, kelompok relawan pendukung Jokowi ini mengatakan, (kurang lebih) “Kalau Jokowi menang, Islam akan dihabisi.”
Di-install-nya lagi Software PKI ke Dalam Ahoker
PKI memang sudah tidak ada lagi. Dan, sebelum TAP MPRS No. 25 Tahun 1966 dicabut, PKI atau partai yang berideologikan kumunisme tidak akan terbentuk lagi. Namun demikian, bukan berarti praktek politik ala PKI terkubur begitu saja. Karena dari sejumlah peristiwa yang belakangan terjadi nampak jelas jika pola-pola PKI yang mengancam keutuhan Indonesia itu kembali dipraktekkan.
Untuk memudahkan upaya memecah bangsa, pola-pola ala PKI itu di-install-kan ke dalam kelompok yang saling bersitegang. Dari, dari dua kelompok yang besar yang terpolarisasi, karakter pendukung Ahoklah yang paling mendukung “software” PKI ini.
Software PKI ini nampaknya sudah begitu terintegrasi ke dalam kelompok Ahoker. Sehingga secara otomatis, Ahoker dapat menjalankan pola-pola seperti yang pernah dipraktekkan oleh PKI di masa jayanya.
Semenjak Ahok menduduki kursi Gubernur DKI Jakarta menggantikan Jokowi yang terpilih sebagai Presiden RI, para Ahoker mulai menyebar sejumlah propaganda yang sangat mirip seperti yang pernah dilakukan oleh PKI.
Pada masa jayanya, PKI memposisikan dirinya sebagai kelompok yang bersih dari korupsi. Pada saat yang bersamaan, PKI gencar mempropagandakan “Tujuh Setan Desa” untuk menstempel lawan-lawan politik yang diposisikannya sebagai koruptor. Demikian juga dengan Ahoker. Ahoker membangun opini jika Ahok dan kelompoknya bersih dari kasus korupsi dan sangat anti-korupsi. Sebaliknya, stempel koruptor disematkan Ahoker kepada kelompok yang diposisikannya berseberangan.
Sama seperti pola PKI dengan konsep “Jalan Baru” yang digagas oleh DN Aidit, Ahoker mempropagandakan kelompoknya sebagai kelompok nasionalis, pembela Pancasila, penentang kekerasan, pendukung demokrasi, dan lain sebagainya. Pola PKI ini dijiplak oleh Ahoker.
Dalam berbagai kesempatan, termasuk saat menggelar parade-parade di ibu kota, pendukung Ahok mempropagandakan seolah kelompoknya sebagai pemilik sah NKRI, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika. Sebaliknya, mirip dengan pola PKI, Ahoker menyebut lawan-lawan politiknya sebagai anti-NKRI, anti-Pancasila, anti-demokrasi, dan lainnya.
Lewat “Aidit Membela Pantjasila” yang ditulis oleh Aidit, PKI menyatakan mentang lawan politiknya yang dianggapnya mempreteli Pancasila. Sama seperti PKI, Ahoker pun memplokamirkan dirinya sebagai pendukung Pancasiladan bersiap melumat kelompok yang ditudingnya anti-NKRI, anti-Pancasila, dan anti-Bhineka Tunggal Ika
Dengan konsep “Jalan Baru” tersebut, PKI mengklaim partainya menggunakan jalan damai dalam pratek politinya. Klaim ini mirip dengan Ahoker yang menuding lawan politiknya sebagai kelompok anarkis-radikalis. Jika dibanding dengan PKI, Ahoker jauh lebih beringas lagi, sebab PKI tidak mengatakan bangsa ini sebagai bangsa yang kotor, bodoh, atau lainnya.
Tidak perlu dituliskan lagi dalam artikel ini tentang kemiripan pola antara PKI dengan Ahoker yang sama-sama memosisikan diri berhadapan dengan kelompok Islam. Tetapi, hanya perlu ditegaskan bahwa kemiripan pola tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama.
Sama seperti anggota PKI, Ahoker yang menghujat Islam beserta ulamanya pun diketahui beragama Islam. Sebaliknya, Islam dan pemeluknya pun tidak hanya dibela oleh umat Islam, tetapi juga oleh umat beragama lainnya. Maka jelas, kemiripan pola antara Ahoker dengan PKI ini tidak ada kaitannya dengan persoalan agama.
Upaya memojokkan umat Islam oleh Ahoker nampak jelas selama masa kampanye Pilgub DKI 2017. Sebagaimana yang diinformasikan oleh Ahoker dan media-media pendukungnya, dua kali pasangan Ahok, Djarot Saiful Hidayat, diusir dari masjid.
Kejadian pertama, saat Djarot menghadiri haul mantan Presiden Soeharto di Masjid At Tin pada 11 Maret 2017. Saat itu disebar video yang dinarasikan sebagai pengusiran terhadap Djarot. Peristiwa serupa kedua terjadi pada 14 April 2017. Saat itu diberitakan Djarot diusir dari Masjid Jami Al Atiq.
Sebenarnya, jika memperhatikan rekaman video-video lainnya, Djarot tidak diusir. Tetapi diteriaki massa saat meninggalkan masjid. Mirip dengan peristiwa di Masjid At Tin, Djarot pun meninggalkan Masjid Al Atiq sebelum massa bubar. Bahkan, dalam salah satu video yang beredar, nampak Djarot masuk masjid dengan pengawalan anggota FPI.
Sama seperti pemberitaan mengenai pengusiran Djarot dari Masjid At Tin, meski telah dibantah, bahkan pihak kepolisian sudah membantah adanya pengusiran Djarot dari Masjid At Atiq, namun para Ahoker masih tetap menyebarkan informasi sesat tersebut.
Tidak ubahnya dengan PKI yang mendompleng pengaruh Presiden RI, Ahoker pun demikian. PKI tahu persis tidak seorang pun tokoh nasional yang mampu menyaingi kharisma Soekarno. PKI pun kemudian mendompleng Soekarno.
Demikian juga dengan Ahoker yang memanfaatkan Jokowi. Lewat sejumlah media, Ahoker mengkampanyekan slogan “Dwitunggal Jokowi-Ahok”. Bahkan, Ahoker mengatakan bahwa kemenangan Ahok dalam Pilgub DKI 2017 sama saja dengan menyelamatkan pemerintahan Jokowi.
Seperti PKI, Ahoker pun Memandang TNI sebagai Ancaman
Jelang September 1965 muncul isu Dewan Jenderal. Menurut isu yang beredar ini, ada sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap kebijakan Presiden Soekarno dan berencana untuk menggulingkannya.
Isu Dewan Jenderal ini mirip sebelas-dua belas dengan isu adanya rencana makar terhadap Jokowi.sebagaimana artikel yang dipublikasikan Allan Nairn. Para pendukung Ahok menjadikan artikel Nairn sebagai pembenar adanya rumor main mata antara perwira TNI dengan kelompok perencana makar. Waktu kemunculan kedua isu itu pun sama: di saat situasi nasional tengah memanas.
Mirip dengan PKI yang memandang Angkatan Darat sebagai ancaman terhadap Soekarno,Ahoker pun mencurigaisejumlah perwira TNI terlibat dalam upaya kudeta terhadap Jokowi. Kampanye negatif dan hitam terhadap TNI kembali berlanjut. Belakangan, pascarencana pembubarkan HTI, TNI kembali diserang fitnah. TNI disebut sebagai pendukung HTI.
Tidak perlu dituliskan lagi bagaimana serangan keji Ahoker kepada Letjen Purn. Prabowo Subianto dan Jenderal Purn. Susilo Bambang Yudhoyono. TNI atau segala sesuatu yang lekat dengan institusi pertahanan ini selalu mendapat stempel buruk dari para Ahoker.
Kecurigaan para Ahoker kepada TNI ini sudah mencapai tingkat kronis. Sampai-sampai, hanya karena warna peci yang dipakainya sama dengan warna peci yang dipakai peserta Aksi 212, Panglima TNI dicurigai sebagai pendukung aksi. Dalam, artian, Panglima TNI diposisikan sebagai penentang Jokowi dan pendukung makar.
Selain pola-pola yang disebutkan di atas, masih ada beberapa pola PKI lainnya yang dicopas oleh Ahoker, misalnya, menginternasionalisasikan masalah dalam negeri sehingga menjadi konsumsi internasional.
“Software” PKI yang di-install-kan ke dalam kelompok Ahoker ini, bukan saja telah menguatkan polarisasi antara dua kelompok di Indoenesia, tetapi juga telah membawa kembali Indonesia ke dalam situasi terburuknya.
Ikon Software PKI itu Bernama Ahok
Sebelum Ahok dijadikan pintu masuk untuk memecah belah anak bangsa, sebenarnya Syiah yang lebih dulu disasar. Pada awal Desember 2015, pemerintah mengungkapkan adanya rencana serangan fisik terhadap kelompok Syiah di Indonesia.
Jika ditelesuri, pada 2015 upaya adu domba antara Sunni dengan Syiah telah terjadi berulang kali. Misalnya, beredarnya rumor tentang penculikan yang dilakukan oleh penganut Syiah terhadap ulama Sunni. Hanya saja, kelompok Syiah tidak bersikap reaktif. Jika mendapat serangan, Syiah hanya merespon ala kadarnya.
Selain sikap Syiah yang memilih untuk tidak reaktif, upaya membenturkan Sunni dengan Syiah juga terbentur pada pandangan Habib Riziq Shihab (HRS) terhadap Syiah. HRS berulang kali berupaya meluruskan pandangan miring terhadap semua kelompok Syiah. Karena sikapnya itu, HRS kerap mendapat hujatan dari kelompok yang menganggap semua kelompok Syiah adalah sesat.
Terancam gagal membenturkan Sunni dengan Syiah, sosok Ahok pun dijadikan pintu alternatifnya. Upaya untuk menjadikan Ahok sebagai pintu alternatif sebenarnya sudah dimulai sejak Ahok menggantikan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta. “Pintu alternatif” ini mulai menemukan momentumnya saat kasus UPS. Saat itu mulai muncul propaganda “Ahok anti korupsi” dan “DPRD adalah Koruptor”. Propaganda Ahoker ini semakin menjadi-jadi bersamaan dengan pengumpulan KTP oleh Teman Ahok.
Hebatnya lagi, meski terseret dalam sejumlah kasus korupsi yang ditangani oleh KPK, namun Ahoker tetap sanggup mempertahankan nama Ahok sehingga masih dapat disimbolkan sebagai sosok bersih anti-korupsi. Upaya untuk menjaga Ahok dari kasus korupsi pun dilakukan oleh KPK. Dalam kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras, misalnya, KPK menggunakan teknik sulap dengan memunculkan “unsur niat jahat” sehingga sampai sekarang Ahok belum bisa dijadikan tersangka.
Sementara dalam kasus reklamasi, KPK bersikap ogah-ogahan. Padahal setelah OTT terhadap Sanusi CS, pada 5 April 2016 KPK menegaskan ada tersangka baru. Penegasan KPK itu dilulang pada 25 April 2016. Tetapi, sampai sekarang belum ada satu pun nama tersangka baru yang diumumkan.
Dari sikap KPK terhadap kasus-kasus yang menyeret nama Ahok ini menunjukkan adanya upaya sistematis untuk mempertahankan Ahok. Tanpa disadari oleh KPK, dibersihkannya Ahok dari sederet kasus korupsi sama saja dengan mengupayakan dan mempertahankan Ahok sebagai “pintu masuk”.
Bahkan pemerintah pun bungkam seribu bahasa ketika Ahok mencoba membangkang terhadap PTUN yang memenangkan gugatan warga DKI. Bungkamnya pemerintah ini menimbulkan persepsi adanya dukungan pemerintah pusat terhadap Ahok, meski kebijakan yang diambil Ahok telah dinyatakan melanggar hukum dan menyengsarakan rakyat. Dari sini muncullah bibit “Pemerintah Jokowi Vs Rakyat”.
Sejak itulah pola-pola PKI satu persatu mulai dijalankan. Ahoker mempropagandakan Ahok dan pendukungnya sebagai sosok dan kelompok yang bersih dan anti korupsi. Sebaliknya, Ahoker menstemple kelompok yang berseberangan sebagai pro-koruptor, pro-kekumuhan, anti-kemajuan, dan lain sebagainya. Stempel ini kemudian melebar, Ahoker mempropagandakan lawan-lawannya sebagai kelompok teroris, radikalis, anti-NKRI, anti-Pancasila, dan lainnya.
Tanpa membutuhkan banyak waktu, Ahok dibentuk menjadi sebuah simbol atau ikon Kebhinnekatunggalikaan. Ahok pun kemudian dipropagandakan sebagai ikon yang mewakili semua etnis dan agama. Dengan propaganda ini, berjuta-juta warga negara Indonesia, lintas agama dan etnis berbaris di belakang Ahok.
Di saat yang bersamaan, HRS dengan FPI-nya dijadikan sebagai simbol penentang Ahok. Sebagaimana Ahok dengan segala kontroversinya, simbol HRS yang tidak lepas dari kontroversi ini pun sanggup menarik banyak pendukung dalam jumlah yang besar. Bahkan, bisa jadi, justru kontroversi yang dimiliki kedua sosok itulah yang menjadi magnet yang sanggup menarik jutaan pedukung.
FPI: “Ikan” yang Terus Dipancing
Semenjak situasi nasional memanas, ada sejumlah upaya memancing FPI dan ormas Islam lainnya untuk membuat kerusuhan. FPI dengan soliditas, militansi, dan kepatuhan anggotanya kepada pemimpinnya, Habib Rizieq Shihab (HRS) merupakan karakter ideal untuk dibenturkan dengan kelompok massa lainnya.
Pada 9 Mei 2017 beredar video yang merekam peristiwa ditangkapnya seorang provokator yang menghasut massa kontra-Ahok saat berlangsungnya sidang Ahok. Dalam video itu nampak seorang lelaki yang memakai rompi dengan tulisan “Polisi” pada bagian belakangnya.
Sementara, masih di ruangan yang sama nampak seorang lelaki tanpa baju. Dalam rekaman video tersebut disebutkan jika lelaki tanpa baju tersebut adalah provokator yang ditangkap. Menariknya, masih menurut rekaman video, dari pria yang ditangkap tersebut didapat Kartu Tanda Anggota Polri.
Dibawanya kartu tanda pengenal oleh provokator saat melakukan aksinya merupakan kejanggalan. Apalagi jika kartu identitas itu menunjukkan keanggotaannya dalam salah satu institusi. Dan, ditangkapnya provokator yang membawa KTA polisi bukan baru pertama kali terjadi. Sebelumnya pernah terjadi pada Agustus 2015, seperti yang ditulis di :Intel Polisi kok Culun Begini?” Celakanya, sampai saat ini belum ada klarifikasi dari Polri tentang dua peristiwa tersebut.
Belakangan ini ada sejumlah upaya menyeret FPI ke dalam benturan fisik. Dimulai dengan bentrokan yang terjadi selepas Aksi 411 yang terjadi pada 4 November 2016. Kemudian disusul dengan baku pukul antara kader PDIP dengan (katanya) anggota FPI pada 6 Januari 2017. Sebelumnya, pada 12 Januari 2017, massa FPI dicoba dibenturkan dengan massa Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI.
Jelang hari pencoblosan Pilgub DKI 2017 setidaknya ada 2 kali upaya provokasi terhadap FPI. Pertama, terjadi pada saat FPI menggelar kegiatan Isra Miraj di Cawang pada 15 April 2017. Saat itu sebuah mobil Toyota Avansa yang sedang terbakar bergerak mundur dan mengarah kepada jamaah yang tengah berkumpul. Di tengah kobaran api yang membakar mobil, pengemudi melompat keluar lantas melarikan diri.
Pertanyaannya, siapakah pengemudi mobil yang sangat berani dan tenang dalam menjalankan aksinya tersebut? Bukan hanya itu, pengemudi mobil memiliki perhitungan berskala detik. Ia tahu kapan membakar mobil, kapan memundurkan mobil, dan kapan harus melompat keluar dari mobil. Jika peristiwa di Cawang dikatagorikan ke dalam aksi teror, maka modus tersebut terbilang baru karena belum pernah terjadi sebelumnya.
Seharusnya polisi dapat melacak pemilik mobil (bukan pelaku). Sebab, selain melihat nomor rangka dan nomor mesin, mobil memiliki identitas yang hanya diketahui oleh produsennya. Dari nomor yang dirahasiakan tersebut dapat diketahui nomor rangka dan nomor mesin. Selanjutnya, Polri dapat menelusuri pemiliknya, Cara inilah yang digunakan Polri saat mengungkap pelaku Bom Bali 1.
Dan, pada 18 April 2017 atau sehari jelang hari pencoblosan, terjadi bentrokan antara massa FPI dengan anggota GP Ansor di Kramat Lontar, Jakarta Pusat. Dan, pada hari yang bersamaan ribuan massa GP Ansor dari berbagai daerah telah berkumpul di Jakarta untuk menggelar Apel Kebangsaan dan Kemah Kemanusiaan di Bumi Perkemahan Ragunan, Jakarta.
Pertanyaannya, kenapa Ansor memilih waktu hajatannya bertepatan dengan pelaksanaan pencoblosan Pilgub DKI 2017?. Dan, kenapa Ansor memilih Jakarta yang saat itu tengah memanas sebagai lokasi kegiatannya?
Peringatan 20 Mei yang Berbeda dari Sebelumnya
Peringatan 20 Mei pada 2017 dan kemuningkina juga dengan peringatan 20 Mei selanjutnya akan berbeda dengan sebelumnya. Hal ini dikerenakan telah terbangun opini yang mengatakan pelaku kerusuhan Mei 1998 adalah umat Islam. Opini ini terbangun sejak ditayangkannya video kampanye “Keberagaman Ahok-Djarot”.
Sebelumnya, kerusuhan yang terjadi pada Mei 1998 tidak dikaitkan dengan agama. Bahkan, peristiwa Mei 98 disebut sebagai kerusuhan, bukan konflik. Tetapi, oleh Ahoker, kerusuhan 98 digeser menjadi konflik agama. Menariknya, dalam video itu juga dimunculkan sejumlah sosok berkemeja lengan panjan warna putih dengan menggunakan peci warna hitam yang sangat identik dengan santri NU,
Sekalipun mendapat sejumlah kecaman karena video tersebut tidak sesuai fakta, namun Ahoker mati-matian mempertahankannya. Ahoker menyebut visualisasi dalam video tersebut sebagai gambaran fakta yang terjadi pada kerusuhan Mei 98. Bahkah, Djarot yang juga kader terbaik PDIP menegaskan kalau adegan dalam video tersebut benar-benar terjadi
Pernyataan Djarot yang bergada Islam tersebut semakin menguatkan jika upaya pemojokan umat Islam tidak didasari atas persoalan agama. Tetapi, Djarot mungkin saja tidak menyadari jika video tersebut telah membuat bangsa Indonesia terpecah kedalam kelompok-kelompok agama.
Jelang peringatan 20 Mei 2017 ini, situasi semakin memanas menyusul aksi bakar lilin yang digelar oleh Ahoker. Menariknya, diduga pelaku aksi bukan berasal dari kota tempat digelarnya aksi. Seperti di Padang, misalnya, peserta aksi tunggal bakar lilin diduga berasal dari Yogyakarta. Sementara, tidak seorang pun dari warga Padang yang ikut serta dalam aksi. Ada apa dengan aksi bakar lilin tunggal di Padang yang bukan dilakukan oleh warga setempat tersebut? Dan, menariknya lagi pelaku datang ke Padang hanya untuk bakar lilin.
Dari berbagai informasi, baik itu yang diberitakan media arus utama maupun yang berseliweran di media sosial, diketahui pada 20 Mei 2017 ini akan digelar sejumlah aksi. Baik itu aksi peringatan 20 Mei, bakar lilin yang digelar Ahoker di sejumlah kota, maupun aksi “Matikan Lilin” yang bakal digelar kelompok penentang Ahoker. Di saat yang bersamaan, sesuai rencana, HRS akan kembali ke tanah air guna menjalani pemeriksaan atas kasus yang dituduhkan kepadanya. Ada apa dengan waktu kedatangan HRS yang diatur berdekatan dengan 20 Mei 2017? (Berita terakhir HRS tidak jadi kembali ke Indonesia)
Di Cirebon yang selama ini jauh dari isu SARA bakal digelar peringatan 20 Mei dengan acara bakar lilin. Rencananya, bakar lilin itu akan dilaksanakan di depan pabrik rokok BAT. Pertanyaannya, sejak kapan ada aksi warga Cirebon yang digelar di depan BAT?Apakah pilihan lokasi dikarenakan letak BAT yang berhadapan dengan vihara Dewi Welas Asih?
Jika sampai terjadi bentrokan, vihara kuno yang dibangun pada tahun 1500-an tersebut pastinya menjadi tempat untuk bertahan bagi yang terdesak. Hal ini karena di antara bangunan-bangunan yang ada di sekitar BAT, hanya vihara Dewi Welas Asih yang memiliki pagar yang bisa dilompati.
Bukan Politik “Barji Barbeh” dan “Tiji Tibeh”
Serentetan peristiwa yang terjadi di tanah air ini bukanlah politik “Barji Barbeh” dan “Tiji Tibeh” atau bubar satu bubar semua dan jatuh satu jatuh semua. Ini politik proxy war yang tujuannya bubar semua, jatuh semua. Ini merupakan cara untuk menguasai Indonesia dengan terlebih dulu memecah belahnya.
Situasi yang terjadi sejek beberapa bulan ini sangat ideal untuk membenturkan sesama anak negeri. Luapan-luapan disintegrasi semakin meluas. Bukan hanya di Papua, tetapi juga di Sulawesi Utara.
Perilaku pendukung Ahok pun semakin menggila. Setelah sebelumnya mendesak penggantian Panglima TNI, kali ini mereka mendesak pencopotan Natalius Pigai, komisioner Komnas HAM, yang dianggap Ahoker berseberangan dengan posisi kelompoknya. Jika penggantian Panglima TNI digaungkan oleh kelompok yang mengaku-ngaku sebagai aktivis HAM, pemecatan Natalius digalang oleh Ridha Sales, mantan komisioner Komnas HAM.
Di lain pihak tekanan kepada kelompok penentang Ahok semakin keras. Terlebih setelah batalnya HRS kembali ke Indonesia. Batalnya HRS ini mempunya dua kemungkinan. Pertama pihak HRS sengaja memainkan emosi pendukungnya yang bertujuan meningkatkan soliditas dan militansi pendukungnya. Kedua, ada “kelompok” yang meminta HRS membatalkan kedatangannya mengingat situasi yang belum kondusif.
Peringatan 20 Mei yang akan digelar dalam beberapa hari ini dapat menjadi pintu gerbang yang terbuka lebar untuk menimbulkan konflik horisontal. Jika tidak diantisipasi kerusuhan akan terjadi di sejumlah titik di beberapa daerah di Indonesia. Gelagat untuk meluaskan konflik ke sejumlah daerah sudah jelas terlihat jika mencermati identitas pelaku bakar lilin tunggal di Padang yang diduga bukan warga Padang.
Celakanya lagi, Polri sekarang serba salah. Polri tahu persis, segala tindakannya akan dipersalahkan. Terlebih setelah internasionalisasi kasus Ahok. Jika Polri melakukan penegakan hukum terhadap pendukung Ahok yang melanggar hukum, maka pendukung Ahok akan mengecam tindakan polri sekaligus membawanya ke dunia luar. Karenanya, bisa dipahami jika Kapolri memilih untuk lebih berhati-hati dalam menghadapi gerakan pendukung Ahok ini. Apalagi, gerakan pendukung Ahok ini hanya bersifat sesaat, setelah 20 Mei (jika tidak terjadi sesuatu) akan mengendur.
Hanya saja, 20 Mei menjadi titik kritis bangsa ini. Segala sesuatu bisa terjadi jelang, selama, dan setelah 20 Mei. Jika tidak diantisipasi, masalah akan terus berkobar. Dalam situasi seperti ini, di mana hukum tidak mungkin dikenakan kepada pelaku, sebenarnya TNI dan Polri dengan unit-unit khususnya bisa digerakkan. Hanya saja, tindakan tersebut harus mendapat “restu” dari Presiden. Persoalannya, apakah perwira-perwira TNI dan Polri kompak mendukung Jokowi sampai 2019?
Jika Jokowi masih menerima informasi intelijen ngawur seperti yang diterimanya saat Aksi 411, maka presiden tidak pernah menyadari situasi yang sedang mengancam negara ini. Ujung-ujungnya, Jokowi harus rela dilengserkan.
Cirebon-Bandung PP, 15 Mei 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H