"Eh, Yan. Coba kamu lihat di sebelah kanan sana. Itu cahaya, kan?" tanya Budi.
Budi memajukan kepalanya hingga dagunya hanya beberapa sentimeter dari dasbor. Ia memicingkan kedua matanya.
"Eh, iya. Itu kayak cahaya dari jendela gitu. Rumah orang, bukan? Hotel? Yang pasti cahaya itu dari bangunan. Kita coba ke situ, Bud," kata Biyan.
Budi mempercepat laju mobilnya. Jalan yang mereka lewati kini lebih landai. Mereka melewati sebuah papan berlampu redup yang bertuliskan "Selamat Datang di Hotel Marun Biru. Hotel 100 meter lagi".
"Wahh, hotel... Semoga kita beruntung, ladies...," kata Biyan dengan rasa girang sambil menoleh ke belakang.
Ketiga mahasiswi itu pun melepaskan pelukan dan membetulkan posisi duduk masing-masing. Mereka, khususnya Sara, sangat berharap ada kamar kosong di hotel itu.
Lampu dim mobil menangkap gerakan seseorang di depan sana. Seorang pria paruh baya yang mengenakan sweater berwarna kuning dan celana jins seraya menenteng lampu senter. Ia mengenakan topi rajut kumal bermotif garis-garis putih di kepalanya.
Pria tersebut berjalan agak ke tengah jalan sambil mengayunkan lengan kanannya, memberi isyarat supaya masuk ke gerbang hotel. Ketika mobil Budi berada di dekat orang itu, Biyan menurunkan kaca jendelanya separuh.
"Kamar kosong, kamar kosong...," teriak pria itu.
Biyan menurunkan jendelanya lagi hingga sepenuhnya terbuka lalu mengeluarkan kepalanya.
"Ada kamar kosong, Pak? Kita berlima," tanya Biyan penuh harap.