Mohon tunggu...
Gatot Tri
Gatot Tri Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

life through a lens.. Saya menulis tentang tenis, arsitektur, worklife, sosial, dll termasuk musik dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pertemuan Kami di Belantara Kota

24 Oktober 2018   21:29 Diperbarui: 24 Oktober 2018   21:31 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi oleh Gatot Tri

Sudah lebih dari setahun ini saya tinggal di kota. Sebuah kota megapolitan dengan ratusan gedung pencakar langit di sana. saya tinggal di lantai tiga puluh satu sebuah unit apartemen yang hanya seluas 30 meter persegi. Saya menyebutnya rumah. Tidak masalah bukan saya menyebutnya demikian? Bukankah tempat dimana kita tinggal dengan nyaman adalah rumah? Home? Tidak peduli itu sempit atau lebar.

Hari ini hari Minggu, jam 07.14 pagi. saya belum mampu beringsut dari ranjang saya. Di ujung ranjang saya adalah dinding dengan jendela lebar yang menyuguhkan pemandangan hamparan kota yang indah tapi sepi. Kota pagi ini terasa sunyi. Hampir kosong melompong. Orang-orang yang sehari-hari mengisi kesibukan kota hari Senin hingga Sabtu mungkin sedang melakukan hal yang sama dengan saya. Mager di ranjang.

Tapi mereka melakukannya di rumah-rumah mereka yang terletak di pinggiran kota atau di beberapa kota satelit. Mereka mungkin lebih pantas mendapatkan hari Minggu daripada saya. Setiap pagi dan sore atau malam hari mereka pasti berjibaku dengan kemacetan lalu lintas. Berdesak-desakan di bus kota, kereta api ataupun subway. Mereka bahkan sudah lelah ketika sampai kantor, dan mungkin empat kali lebih lelah ketika sampai rumah pada malam harinya.

Saya sendiri di hari Senin hingga Sabtu bekerja di beberapa proyek konstruksi gedung di luar kota, kadang luar pulau. Sebagai electrical engineer di sebuah perusahaan kontraktor yang punya banyak proyek di berbagai tempat, saya harus siap berpindah-pindah proyek dan tempat tinggal.

Suatu hari, saya tinggal di sebuah rumah yang disewa perusahaan bercampur dengan puluhan orang lain yang tidak saya kenal baik. Suatu hari lainnya saya tinggal di sebuah tempat semacam barak yang lebih mirip kandang ayam. Serius.

Usai bekerja selama sehari penuh, aroma peluh para kru proyek bercampur baur menjadi satu. Ruangannya juga super berantakan. Tapi bau itu akan pudar sepenuhnya setelah kami membersihkan diri satu per satu. Kecuali kondisi berantakan yang tidak akan pernah menjadi rapi.

Hari Minggu adalah hari saya yang tidak bisa diganggu gugat. Well, tak ada salahnya saya menikmati mager sepanjang hari Minggu di rumah saya sendiri, menikmati kesendirian di kota. Apalagi matahari agak redup menyinar usai hujan mengguyur kota semalam. Cuacanya cukup syahdu untuk bersantai seharian. Beberapa awan kelabu masih terlihat di atas gedung-gedung perkantoran dan apartemen.

Mungkin nanti siang saya akan turun ke bawah mencari makanan dan kudapan untuk teman menonton televisi. Tapi rasanya penat ini masih menggelayut, masih cukup kuat menahan saya untuk keluar dari ranjang. Bahkan untuk meraih gelas berisi air putih sekalipun di meja di sebelah ranjang. Dengan susah payah, akhirnya saya berhasil meraih gelas itu dan meminum isinya dengan sekali teguk. Tandas.

Saya kembali ke ranjang, menatap layar televisi tanpa suara. Sengaja saya buat mute karena saya ingin ketenangan. Lama-lama kedua mata saya terasa berat dan nampaknya saya bakal terhempas di alam mimpi lagi.

Brrrtttt... brrrtt.... Tiba-tiba suara getar dari ponsel di atas meja kecil di samping ranjang sontak mengejutkan saya, membatalkan perjalanan saya ke dunia mimpi.

Riza,  teman kantor. Ia perlu beberapa dokumen instalasi jaringan listrik untuk proyek pertokoan besar di luar pulau. Hari ini ada beberapa orang yang akan lembur mengerjakannya. Saya menggeleng-gelengkan kepala, mereka tetap masuk di hari Minggu ini. Tapi yah, sudahlah. Dengan beberapa kali tap, file desain instalasi kelistrikan berukuran hampir lima gigabita sukses terkirim ke emailnya.

Beberapa kali bangkit dari ranjang membuat saya merasa lapar. Dengan malas, saya melangkahkan kaki ke kamar mandi dan membersihkan diri. Tidak ada makanan apapun di apartemen saya kecuali beberapa biskuit di dalam toples kecil berbentuk bulat di dapur. Kulkas hanya berisi makanan basi yang sudah saya simpan lama. Mungkin sejak jaman baheula. Sayuran sudah menguning. Pun buah-buahan sudah mengisut kering. Sepertinya memang waktunya keluar dari sarang.

Keluar dari lobi apartemen, saya menarik nafas panjang di trotoar. Ahhh...segarnya... Tidak ada polusi di hari Minggu. Rasanya lega menghirup aroma udara sisa hujan semalam. Matahari masih terhalang puluhan gedung-gedung jangkung di hadapan saya, membuat teduh trotoar. Hanya ada beberapa mobil yang lalu lalang di jalan raya.

Tidak banyak juga orang lalu lalang di trotoar sepanjang perjalanan saya menuju kafe Bali Bulan di ujung jalan. Bangunan kafe itu persis berada di tepi trotoar. Tetapi sebenarnya bangunannya masih merupakan bagian dari gedung perkantoran milik salah satu konglomerat ternama.

Jadi kafe itu memiliki dua akses masuk, satu dari trotoar, satunya lagi dari dalam gedung perkantoran itu. Karena hari Minggu gedung perkantoran tutup sementara kafe tetap buka, akses masuk hanya dibuka dari sisi trotoar.

Saya membuka pintu dan segera menyadari kafe itu penuh dengan orang yang sedang sarapan. Pandangan saya menjelajah mencari kursi kosong. Nah, itu dia. Satu meja kecil di ujung kafe dekat wastafel dengan dua kursi saling berhadapan. Tidak masalah buat saya.

Biasanya saya memesan nasi goreng dengan telur ayam ceplok setengah matang yang dibubuhi ekstra garam di bagian kuning telurnya. Tidak lama pesanan saya itu datang bersama satu mug kopi favorit saya, kopi robusta Lampung dengan pemanis buatan. Hmm.. aroma nasi goreng spesial pakai telur ceplok ditambah aroma kopinya sungguh tiada tara. Keduanya sudah ada di hadapan saya siap untuk disantap.

Bagian pertama yang saya sentuh adalah kuning telur yang creamy dengan rasa gurih cenderung asin yang saya padukan dengan butiran nasi goreng gurih berbumbu rempah. Di dalam mulut saya memunculkan sensasi rasa yang nendang. Sungguh lezat.. Jadi rindu dengan nasi goreng buatan ibu saya.

Sedang enak menikmati nasi goreng, seorang gadis berbaju kuning cerah tiba-tiba datang menghampiri saya.

"Maaf Mas, apakah saya bisa join duduk di sini? Semua kursi penuh." Kata gadis itu penuh harap. Ia membawa seplastik penuh belanjaan sayur mayur, buah dan entah apalagi didalamnya. Tas belanjaan ia letakkan di lantai menempel tembok.

"Oh tidak apa. Silakan Mbak. Tapi maaf saya sambil makan ya.." kata saya.

"Tidak masalah Mas.." katanya. "Tumben Minggu pagi ini ramai sekali sampai semua kursi penuh."

Saya menyeruput kopi saya sebentar. "Iya, jarang-jarang seperti ini. Minggu lalu saya malah duduk sendiri di dekat pintu masuk.."

"Serius? Jam berapa?" tanyanya.

"Jam 10.30..." jawab saya sambil mendaratkan satu suapan nasi goreng ke mulut saya.

"Ah, ya terang saja Mas jam segitu sudah nggak ada yang sarapan... Itu namanya late breakfast...hehe" katanya sambil terkekeh. Saya tersenyum.

Penampilan gadis ini sungguh menarik. Pakaiannya, rambutnya, cara ia berbicara, senyumnya... Argghh, persetan dengan wanita. Saya masih ingin melajang... Yah, paling tidak lima atau enam tahun lagi lah...

Tidak lama pesanan gadis itu datang. Semangkuk sup sayuran dan satu buah bratwurst sapi bakar yang sudah dipotong-potong. Hmmm, aromanya sungguh harum menggoda. Kami pun berbagi meja walau meja itu juga kecil.

Belum ada tanda-tanda pengunjung kafe lain akan pergi. Kafe Bali Bulan memang sangat nyaman buat siapa saja yang makan di sini. Semua makanan dan minumannya enak-enak.

"Mbak tinggal dekat sini?" tanya saya.

"Iya Mas. Saya tinggal di apartemen SOHO New Avilla di seberang sana." Katanya sambil mengunyah bratwurst-nya.  "Bukan milik saya sih.. Ceritanya saya punya toko buku di gedung itu. Salah seorang konsumen tetap saya punya satu unit yang tidak ia tempati di lantai lima. Ia menawarkan unit itu kepada saya, sewa dengan harga di bawah harga pasar. Jauh di bawah harga pasar. Yah, katanya biar apartemennya ada yang menjaga dan membersihkan."

"Oh begitu.. Sebelumnya Mbak tinggal dimana?" kata saya penuh tanda tanya.

"Di pinggir kota. Rumah kontrakan. Tapi mahalnya minta ampun. Belum ongkos transportasi ke kota..." katanya sambil sesekali meneguk lemon tea-nya.  "Uang saya lama-lama habis untuk ongkos jalan. Jadi tawaran konsumen saya itu seperti dewa penolong. Saya bisa hemat banyak... Sekarang saya malah bisa kredit rumah, Mas." Ia tersenyum bangga.

"Rumah?" tanya saya mengernyit.

"Iya, rumah. Saya kredit rumah di sebuah kompleks perumahan di pinggir kota. Tidak besar tapi lengkap. Ada carport, teras kecil, taman kecil, dua kamar tidur yang lumayan lebar. Dapurnya kecil tapi ada lahan kosong dibaliknya, nanti bisa diperluas. Soalnya saya suka masak, Mas..hehe" katanya terkekeh sambil mendaratkan potongan bratwurst lagi ke mulutnya.

"Kalau Mas tinggal di mana?" tanyanya sambil mengunyah.

"Rumah saya?" Ia menganggukkan kepalanya. "Rumah saya di situ, Prima Towers. Unit di lantai 31." jawab saya.

"Itu apartemen, Mas. Bukan rumah." katanya tersenyum.

"Terserah orang bilang apa, buat saya itu rumah. Unit saya homey, tenang, nyaman... Bukankah itu pengertian rumah?" tukas saya.

Ia meneguk minumnya lalu menanggapi kalimat saya.

"Rumah itu ya bangunan tersendiri, ada halaman baik lebar atau kecil, ada teras, ada pagarnya atau mungkin tanpa pagar, ada ruang tamu, ruang makan, dapur, kamar tidur, kamar mandi, yaaa... seperti itulah pengertian rumah Mas.." Ia menatap saya seakan bangga dengan kemampuannya mengartikan kata "rumah".

Saya menghela nafas. "Saya sih sederhana saja. Tempat tinggal yang homey ya itu rumah. Ya.. unit saya tidak besar sih. Cuma ada kamar, sofa, dapur kecil dan kamar mandi. Sudah. Tapi super nyaman. Buat saya unit apartemen saya itu rumah..." kata saya sambil meraih cangkir kopi saya. Ia hanya tersenyum.

Beberapa kursi di kafe mulai ditinggalkan oleh pengunjung satu per satu. Saya baru saja memasukkan suapan terakhir ke mulut saya. Kopi saya pun sudah hampir habis. Gadis itu makan dengan santainya, saya tidak tahu kapan akan habis.

Sepertinya ia mulai menikmati obrolan kami...  J

"Ah, kita sedari tadi ngobrol sampai lupa kenalan..." kata saya sambil mengangsurkan tangan kanan saya. "Saya Cala. Nama lengkap saya Syailendra...". Gadis itu juga segera tersadar, buru-buru meletakkan sendoknya di piringnya.

"Oh.. iya.. Sampai lupa berkenalan. Saya Maya... Maya Sartika. Padahal sudah ngobrol kesana kemari ya, Mas? Hehe..." katanya.

"Waktu kecil ibu saya memanggil saya dengan nama kecil Cala. Sampai sekarang..." kata saya.

"Ibu Mas tinggal dimana?" tanyanya.

"Di apartemen juga, tapi dekat gedung Balai Kota. Ayah dan ibu saya masih sehat walau sudah tujuh puluhan tahun usia mereka. Adik bungsu saya masih tinggal di sana jadi sekalian menjaga mereka. Dia masih kuliah. Saya tinggal di apartemen itu mulai bayi sampai saya memutuskan tinggal sendiri di apartemen saya sendiri."

"Rumah..." tukas Maya meralat.

"Ah, iya.. Rumah.. Kadang saya inkonsisten dengan perkataan saya.." kata saya terkekeh malu.

Maya sudah selesai dengan sarapannya. Tetapi entah mengapa kami masih betah duduk di sana. Tidak terasa tiga puluh menit berikutnya kami berbicara banyak hal. Dari tempat wisata eksotik yang pernah ia kunjungi, bisnis bukunya, sampai koleksi kerudungnya...Tiada habis topik yang ia bicarakan, sementara saya hanya bisa bercerita tentang apartemen dan tempat kerja saya. Sudah, itu saja.

"Tidak pernah kemana-mana, Mas?" tanya Maya penasaran.

"Buat apa? Bagi saya hidup itu ya kerja saja. Seperti orang tua saya kerja sepanjang hidupnya demi keluarganya. Sekarang mereka sudah pensiun dengan bahagia... Setidaknya mereka sehat..." kata saya.

Entah mengapa pandangan Maya mendadak berubah. Mimik wajahnya jadi lebih serius. Saya merasa ada yang salah dengan kata-kata saya. Tapi tidak lama ia tersenyum lagi.

"Pernah ke Bali?" tanyanya.

"Tidak pernah. Buat apa?" kata saya, tidak jujur, Padahal saya dari dulu ingin sekali ke Bali. Tetapi hari-hari saya selalu diisi dengan bekerja tanpa pernah sekalipun cuti. Kecuali ketika sakit.

"Ah, Mas Cala kuper sekali..." katanya terkekeh, kesekian kalinya ia merasa unggul. Saya tersenyum masam.

"Saya tidak ada waktu untuk itu..." kata saya agak kesal.

"Otak kita sekal-sekali perlu refreshing, Mas. Mas Cala sudah terbiasa hidup di kota ini tapi mbok ya sesekali wisata ke luar kota. Melihat dunia, Mas.." kata Maya setengah menasehati. Mirip dengan kata-kata Reksa, teman karib saya di kantor sebelumnya.

"Melihat dunia? Ah, mending kerja. Kerjaan saya juga sering membuat saya ke luar kota, luar pulau juga" kata saya sambil melipat kedua tangan saya di dada saya.

"Ya... Mas Cala kelihatan bohong pada diri sendiri.. Padahal Mas Cala sebenarnya ingin bisa traveling tapi karena Mas Cala workaholic level puncak akhirnya Mas Cala mencari pembenaran tentang hidup Mas yang cuma kerja dan kerja...hehe" katanya terkekeh. Tidak tahu sudah kesekian kalinya ia sudah berusaha memecahkan dinding pertahanan saya. Dinding pembenaran atas kehidupan saya.

Tapi jujur saja, saya suka dengan itu. Suka dengan cara Maya mengoyak sedikit demi sedikit upaya-upaya pembenaran saya tentang kehidupan saya yang menurutnya monoton. Ia gadis yang cerdas, dan kelihatannya entah bagaimana saya jadi tertarik dengan dia.

"Saya yang traktir ya.." kata saya.

"Ah tidak Mas...salah... hehe" katanya tertawa renyah. Saya juga tertawa.

Jadi saya membayar semua menu sarapan kami. Kami pun keluar dari kafe dan berjalan kaki menuju gedung apartemennya. Entah mengapa saya ingin mengantarkannya pulang.

"Mas Cala, terima kasih sudah ditraktir..." katanya tersipu.

"Jadi hemat kan? Lumayan buat menambah kredit rumahmu.. hehe.." kata saya tertawa. Ia juga tertawa.

Kami masih berjalan menapaki trotoar belantara kota sambil berbicara apa saja. Saya merasa senang dengan pertemuan dengan Maya pagi ini. Langit masih teduh walau matahari berangsur naik. Gedung-gedung tinggi sepertinya masih menghalangi terpaan sinarnya.

Menurut ramalan cuaca, sepertinya hari ini bakal cerah, secerah hati saya berjalan bersama Maya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun