"Pernah ke Bali?" tanyanya.
"Tidak pernah. Buat apa?" kata saya, tidak jujur, Padahal saya dari dulu ingin sekali ke Bali. Tetapi hari-hari saya selalu diisi dengan bekerja tanpa pernah sekalipun cuti. Kecuali ketika sakit.
"Ah, Mas Cala kuper sekali..." katanya terkekeh, kesekian kalinya ia merasa unggul. Saya tersenyum masam.
"Saya tidak ada waktu untuk itu..." kata saya agak kesal.
"Otak kita sekal-sekali perlu refreshing, Mas. Mas Cala sudah terbiasa hidup di kota ini tapi mbok ya sesekali wisata ke luar kota. Melihat dunia, Mas.." kata Maya setengah menasehati. Mirip dengan kata-kata Reksa, teman karib saya di kantor sebelumnya.
"Melihat dunia? Ah, mending kerja. Kerjaan saya juga sering membuat saya ke luar kota, luar pulau juga" kata saya sambil melipat kedua tangan saya di dada saya.
"Ya... Mas Cala kelihatan bohong pada diri sendiri.. Padahal Mas Cala sebenarnya ingin bisa traveling tapi karena Mas Cala workaholic level puncak akhirnya Mas Cala mencari pembenaran tentang hidup Mas yang cuma kerja dan kerja...hehe" katanya terkekeh. Tidak tahu sudah kesekian kalinya ia sudah berusaha memecahkan dinding pertahanan saya. Dinding pembenaran atas kehidupan saya.
Tapi jujur saja, saya suka dengan itu. Suka dengan cara Maya mengoyak sedikit demi sedikit upaya-upaya pembenaran saya tentang kehidupan saya yang menurutnya monoton. Ia gadis yang cerdas, dan kelihatannya entah bagaimana saya jadi tertarik dengan dia.
"Saya yang traktir ya.." kata saya.
"Ah tidak Mas...salah... hehe" katanya tertawa renyah. Saya juga tertawa.
Jadi saya membayar semua menu sarapan kami. Kami pun keluar dari kafe dan berjalan kaki menuju gedung apartemennya. Entah mengapa saya ingin mengantarkannya pulang.