Mohon tunggu...
Gatot Tri
Gatot Tri Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

life through a lens.. Saya menulis tentang tenis, arsitektur, worklife, sosial, dll termasuk musik dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pertemuan Kami di Belantara Kota

24 Oktober 2018   21:29 Diperbarui: 24 Oktober 2018   21:31 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi oleh Gatot Tri

Saya menyeruput kopi saya sebentar. "Iya, jarang-jarang seperti ini. Minggu lalu saya malah duduk sendiri di dekat pintu masuk.."

"Serius? Jam berapa?" tanyanya.

"Jam 10.30..." jawab saya sambil mendaratkan satu suapan nasi goreng ke mulut saya.

"Ah, ya terang saja Mas jam segitu sudah nggak ada yang sarapan... Itu namanya late breakfast...hehe" katanya sambil terkekeh. Saya tersenyum.

Penampilan gadis ini sungguh menarik. Pakaiannya, rambutnya, cara ia berbicara, senyumnya... Argghh, persetan dengan wanita. Saya masih ingin melajang... Yah, paling tidak lima atau enam tahun lagi lah...

Tidak lama pesanan gadis itu datang. Semangkuk sup sayuran dan satu buah bratwurst sapi bakar yang sudah dipotong-potong. Hmmm, aromanya sungguh harum menggoda. Kami pun berbagi meja walau meja itu juga kecil.

Belum ada tanda-tanda pengunjung kafe lain akan pergi. Kafe Bali Bulan memang sangat nyaman buat siapa saja yang makan di sini. Semua makanan dan minumannya enak-enak.

"Mbak tinggal dekat sini?" tanya saya.

"Iya Mas. Saya tinggal di apartemen SOHO New Avilla di seberang sana." Katanya sambil mengunyah bratwurst-nya.  "Bukan milik saya sih.. Ceritanya saya punya toko buku di gedung itu. Salah seorang konsumen tetap saya punya satu unit yang tidak ia tempati di lantai lima. Ia menawarkan unit itu kepada saya, sewa dengan harga di bawah harga pasar. Jauh di bawah harga pasar. Yah, katanya biar apartemennya ada yang menjaga dan membersihkan."

"Oh begitu.. Sebelumnya Mbak tinggal dimana?" kata saya penuh tanda tanya.

"Di pinggir kota. Rumah kontrakan. Tapi mahalnya minta ampun. Belum ongkos transportasi ke kota..." katanya sambil sesekali meneguk lemon tea-nya.  "Uang saya lama-lama habis untuk ongkos jalan. Jadi tawaran konsumen saya itu seperti dewa penolong. Saya bisa hemat banyak... Sekarang saya malah bisa kredit rumah, Mas." Ia tersenyum bangga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun