Mohon tunggu...
Garuda Hitam
Garuda Hitam Mohon Tunggu... profesional -

Garuda Hitam adalah cerita bersambung dengan genre spionase, kombinasi antara Da Vinci Code dengan James Bond, tentang intrik politik dan intelejen tingkat tinggi yang terjadi di tanah air. Kendati beberapa tokoh dan lembaga yang disebut dalam kisah ini benar-benar ada, cerita ini seratus persen fiksi alias khayalan. Kisah ini ditulis secara bergantian oleh Suka Ngeblog, Daun Ilalang dan Hes Hidayat

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[12] Mengejar Penculik, Membelah Senja

6 Mei 2014   14:27 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:49 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_324696" align="aligncenter" width="586" caption="Pengumuman di news.gramediana.com"][/caption]

...............................................................................................................................

SIGIT Bhuwono memacu mobilnya membelah jalanan. Meliuk. Menyalip. Dia kemudian menekan tombol kecil berwarna hitam di dashboard mobil. Sebuah 'wadah' keluar secara perlahan. Pada wadah itu nampak sepucuk pistol Walther PPK 9mm keluaran terbaru lengkap dengan magazine-nya, dan sebuah benda mungil berwarna hitam yang ukurannya sebesar kedelai. Sigit mengambil benda mungil itu dan memasukkan ke telinga kiri. Dia lalu mengetuk telinganya. Benda mungil ini adalah alat komunikasi terbaru yang memang diperuntukkan bagi agen yang mengejar musuh.

"Halo Remido, bisa dengar aku?"

Tak ada jawaban.

"Remido? Halo?"

"Ah Dosifa. Syukurlah kau menggunakan komunikator itu. Aku akan mengaktifkan simulator dekompresi dan menyesuaikannya dengan fitur anagram kronika kelima dengan resonansi parsial untuk mendeteksi..."

"Remido, bisa gak kamu ngomong dalam bahasa Indonesia?"

"Um... Eh... Maksudku aku akan menyinkronkan pelacakan GPS dengan layar monitor yang ada di mobilmu..." Sedetik kemudian, layar kecil yang ada di dashboard berkedip dan menyala. Nampak grafis buram yang mirip dengan peta.

13993007781981829422
13993007781981829422

"Dosifa, Sekar pintar. GPS di handphonenya aktif. Mereka sekarang sedang berada di tol..."

"Tol mana?"

"Jagorawi..."

"Oke. Sudah ada info siapa agen yang lowong? Minta mereka menghubungi aku..."

"Ada lima agen yang lowong, namun yang rada dekat dengan tol Jagorawi adalah Dolare, Dosolsi dan Doredo. Mereka kini sudah bergerak"

"OK sip. Bilang kepada mereka aktifkan komunikator. Aku sudah di tol sekarang. Di mana mobil Sekar?"

"Mmmm... Sebentar. Mereka berada sekitar dua kilometer di depanmu. Pada layar monitor mereka yang berkedip-kedip merah..."

"Sip. Aku meluncur sekarang..."

"Dosifa, aku sudah memantau via CCTV milik NTMC Polri. Kondisi lalulintas tidak terlalu padat...."

"Oke...."

"Team leader, di sini Red Hawk. Kami di belakangmu..." Terdengar suara seorang lelaki.

"Blue Hawk menyusul, tepat di belakang Red Hawk, team leader..."

Sigit tak mampu menahan senyumnya. Red Hawk? Blue Hawk? Teman-temannya memang sangat kreatif untuk urusan mencari nama.

"Oke, team leader di sini. Ikuti aku. Jangan sampai ketinggalan..."

"Roger that, team leader..."

"Dosifa," terdengar suara Remido. "Mobil yang digunakan para penculik sudah mendekati gerbang tol. Mereka...." Terdengar bunyi kresek-kresek. Dan grafis di layar monitor tiba-tiba menghilang.

"Remido? Kau bisa dengar aku? Remido? Halo?"

Hanya suara kesek yang terdengar. Disusul suara desingan tajam.

"Sorry. Sorry. Barusan terjadi reduksi magnetik yang terpolarisasi pada kuarsa biluapolar yang  menyebabkan..."

"Remido!!"

"Eh... maksudku... Ah sudah beres sekarang. Mereka sudah meninggalkan.... Dan... menuju..."

"Remido... Suaramu putus-putus...

"Danau..."

"Danau?"

"Halo Dosifa? Bisa dengar aku? Mereka kini berada di kompleks perumahan Danau Bogor Raya. Dan... Eh... Aku tak tahu apakah ini baik atau buruk. Mobil mereka berhenti..."

Ha? Berhenti? Remido benar, pikir Sigit. Jika mobil yang dipakai para penculik berhenti, itu bisa berarti baik. Atau buruk. Sigit memacu kendaraannya seperti kesetanan.

"Di mana mereka sekarang Remido?"

"Sudah dekat, Dosifa. Sekitar tiga ratus meter lagi. Seharusnya kau sudah bisa melihat mereka..."

"Oke. Aku sudah melihat mereka..."

Sigit menghentikan mobilnya sekitar sepuluh meter di belakang mobil yang digunakan para penculik. Mobil di depannya itu berhenti dalam kondisi yang agak tidak biasa. Roda kiri depan mobil itu naik di trotoar. Sigit menatap sekitar. Hanya rumah mewah dengan pagar tinggi yang terlihat. Dengan pintu gerbang yang terkunci rapat.

Sigit mengambil pistol Walther-nya, menyisipkan di balik pakaian dan dengan hati-hati mendekati mobil itu. Setelah dekat, dia mengacungkan pistolnya.

"Sekar? Kau di sana? Kau bisa dengar aku?"

Tak ada jawaban.

"Sekar? Kau..."

Pintu mobil di sebelah kiri terbuka. Diikuti munculnya kaki mungil. Dan sesosok tubuh seorang perempuan cantik yang pucat pasi. Sekar. Wajahnya seputih kertas. Dia menggenggam sebuah pistol. Lengan yang memegang pistol itu menggigil.

"Kau tidak apa-apa?" Sigit mendekati Sekar.

Gadis itu mengangguk. "A... Aku tidak apa-apa. Ta... Tapi mereka tidak..."

Sigit melongok ke dalam mobil. Seorang lelaki dengan hidung dan mulut berdarah tersandar di kursi. Di belakang kemudi, seorang lelaki juga terkulai. Kedua lelaki itu tak sadarkan diri.

"Dia... Aku... Dia mau eh... menyentuhku. Aku terpaksa... Aku... Dia..."

"Tak apa-apa, Sekar. Tak apa-apa..." Perlahan Sigit menyentuh lengan gadis itu, dan dengan hati-hati mengambil pistol yang dipegangnya. "Kau hebat. Kau gadis cerdik dan hebat, Sekar. Tenangkan dirimu. Di mobil ada air mineral. Kau pergilah minum dan tenangkan dirimu..."

Sekar melangkah perlahan ke mobil yang dibawa Sigit, mengambil air mineral dan mereguknya sambil duduk di trotoar. Perlahan wajah gadis itu mulai memerah.

***

Sigit mengamati kedua lelaki yang menculik Sekar. Mereka bertubuh kekar dan gempal. Mereka pingsan. Sigit segera memborgol mereka. Dia lalu mengambil smartphonenya dan memotret wajah kedua lelaki itu beberapa kali. Dia kemudian mengaktifkan aplikasi scanner dan mengambil sidik jari. Dia memeriksa dompet. Dompet mereka berisi uang lembaran seratus ribu rupiah lima lembar, disertai KTP dan SIM.

Sigit menscan KTP mereka. Setelah memotret nomor polisi mobil yang dipakai, dia menghubungi Remido.

"Aku mengirimkan foto, sidik jari dan scan KTP dari para penculik. Cari info sebanyak mungkin tentang mereka. Kedua lelaki ini merupakan petunjuk pertama kita untuk kasus ini..."

"Oke sob, segera dilaksanakan..."

Dua mobil berdecit perlahan. Dolare, Dosolsi dan Doredo muncul.

"Semua oke?" tanya Doredo.

Sigit mengangguk. "Para penculik tidak tahu siapa gadis yang mereka culik. Dan mereka menerima akibatnya..." Dia menatap sekilas ke arah Sekar yang masih duduk di trotoar, dan melanjutkan. "Kalian berdua, bawa kedua laki-laki itu ke Rumah Pantai, dan segera interogasi. Lakukan apapun yang bisa kalian lakukan untuk mendapatkan informasi," kata Sigit kepada Doredo dan Dolare.

"Kau, Dosolsi, hubungi bagian forensik. Minta mereka membawa mobil ini ke markas. Aku ingin mereka memeriksa setiap bagian mobil ini. Periksa apapun yang bisa kita dapat..."

"Dan gadis itu?" Dosolsi bertanya sambil menatap Sekar, kemudian menatap Sigit. Matanya bersinar.

"Gadis itu akan aku antar ke rumahnya. Ada yang keberatan?"

Ketiga temannya tertawa. "Oke, silakan mengantarnya, Team Leader. Namun jangan mencoba berbuat nakal jika tak ingin hidungmu berdarah-darah seperti laki-laki itu..."

Sigit ikut tersenyum dan tanpa sadar menyentuh hidungnya.

"Sekar memilih lokasi yang tepat untuk bertindak. Tempat ini sepi. Tak ada yang curiga," kata Doredo.

Sigit mengangguk. Doredo benar. Sekalipun tergolong perumahan elit, lokasi ini lumayan sepi. Kendaraan yang lalu lalang relatif jarang. Bahkan hanya ada satu mobil yang terlihat diparkir di tepi jalan, sekitar 30 meter di belakang mereka.

***

Sekitar 30 meter di belakang mereka, seorang lelaki yang berada di dalam mobil yang kacanya ditutup rapat sedang memotret. Memotret aksi Sigit dan teman-temannya.

Selalu ada hikmah di balik setiap musibah, pikir lelaki itu. Kegagalan Bejo dan Joko menculik wartawan perempuan itu merupakan musibah. Namun dengan itu, dia kini tahu bahwa gadis cantik itu memang bekerja sama dengan LIN. Dia bahkan tak perlu menginterogasi gadis itu untuk mendapatkan jawaban.

Dia melanjutkan memotret. Jemarinya dengan lincah memainkan zoom. Dia mengambil close-up wajah para lelaki yang datang menolong gadis itu. Seperti biasa, pikirnya, dia dan kelompoknya berada beberapa langkah di depan. Dia kini sudah mendapatkan foto pihak lawan. Sementara pihak lawan masih berada dalam kegelapan. Tak tahu apa-apa. Tak tahu siapa yang menjadi musuh. Dan kenapa.

Dia beberapa kali memotret Sigit. Lelaki itu akan menjadi lawan yang tangguh, pikirnya. Dan itu membuat dia senang. Selalu menyenangkan untuk berhadap-hadapan dengan lawan yang kualitasnya setara.

Dia lalu membuka tas plastik berwarna hitam yang berada di sampingnya. Dia mengambil sebuah ponsel berbentuk mungil.

"Halo, ini aku. Aku membutuhkan tiga Semut Merah. Bawakan tiga paket gula. Kita akan memasang kembang api..."

"Baik, dimengerti," terdengar suara di balik telepon. "Tiga Semut Merah dengan tiga paket gula. Target?"

"Targetnya Bravo Bravo Kilo. Detilnya akan kusampaikan sendiri kepada ketiga Semut Merah."

"Baik. Dimengerti."

Lelaki itu menutup ponselnya. Dia membuka kaca jendela di samping dan melemparkan ponsel yang baru saja dipakainya ke tempat sampah. Dia kemudian menutup jendela dan menyalakan mobilnya.

Perlahan mobil itu melewati Sigit yang sedang berbincang dengan Sekar. Dia melihat para agen sedang memindahkan dua lelaki ke sebuah mobil.

Lelaki itu mendesah. Wajah kedua anak buahnya itu terbayang. Bejo dan Joko.

"Maafkan aku, Bejo, Joko. Selalu ada harga yang harus dibayar untuk sebuah perjuangan. Maafkan aku..."

Lelaki itu, si Gagak Malam, memacu kendarannya. Membelah senja. (bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun