Bangunan "Departure Hall 18" itu berbentuk setengah lingkaran. Ada teras halaman dengan kursi hitam di kiri kanannya. Ada empat pintu kaca dengan bagian tengah terbuka dan hanya ditutup tirai plastik tebal tembus pandang.
Proses administrasi dan keimigrasian di sini biasa saja. Sama seperti di keimigrasian lainnya. Mulai dari melewatkan tas dan koper ke dalam ban berjalan untuk dipantau bawang bawaan setiap orang melalui layar mesin komputer dan sebagainya.
Khusus untuk paspor juga telepon seluler, petugas imigrasi perempuan itu mengusap-usap menggunakan semacam tongkat yang ujungnya bundar seukuran tutup botol softdrink. Entahlah apa itu, tapi pastinya proses merupakan bagian dari tahap border control management (BCM).
Paspor hijau berlambang "Burung Garuda" saya tidak diberi cap oleh petugas imigrasi Israel. Sebagai gantinya, petugas memberikan kertas tipis kecil seukuran kartu nama berwarna biru pada bagian atasnya. Itulah kertas yang merupakan "State of Israel - Border Control".
Tulisan di kertas itu menunjukkan izin tinggal kita di Israel sampai kapan (Stay Permit Until), sekaligus pula ditegaskan bahwa izin tinggal sementara itu bukan sebagai izin untuk bekerja di wilayah hukum Israel (Not Permitted to Work).
By the way, nanti saat kita harus meninggalkan atau keluar dari wilayah perbatasan Israel, maka kertas tipis kecilnya akan diberikan kembali tapi yang berwarna merah pada bagian atasnya. Itulah kertas Exit Permit. Juga akan diberikan pula sobekan kertas tiket warna putih, bertuliskan "Allenby Terminal - Passenger Fee".
Berkali-kali supir kami mengingatkan, kertas tiket warna putih itu jangan sampai hilang. Karena kalau hilang, maka siapa saja harus bayar lagi US$50 atau sekira Rp715.000 untuk mengganti dengan yang baru. "No Card, No Go," kata supir.
Saat pemeriksaan paspor, petugas keimigrasian perempuan Israel menanyakan apakah dalam dua minggu ini saya pernah berkunjung ke China, Singapura, Jepang, Korea Selatan dan sejumlah negara yang dianggap sedang mewabah Virus COVID-19. Tentu saja jawaban saya adalah "No!"
Meskipun jujur saja, dari Jakarta saya sempat transit dulu di Changi, Singapura (Sabtu, 15 Februari 2020), untuk kemudian melanjutkan penerbangan ke Bandara Internasional King Abdul Aziz, Jeddah, Arab Saudi.