"Ya, dulu mimbar khatib ini ada di posisi mihrab imam. Â Tapi sekarang kami geser ke shaf terdepan. Kalau ingin dikembalikan lagi ke "ruang" mihrab imam masih bisa kok, meskipun sudah lapuk termakan usia, tapi mimbar khatib ini masih asli. Bahagian-bahagian mimbar ini bisa dicopot-pasang, jadi tidak sulit seandainya akan dipindahkan ke posisi semula," ujar Marjohan.
Lamat-lamat saya perhatikan mimbar khatib Masjid Kurang Aso 60 ini. Warnanya coklat tua. Bentuknya sederhana. Paling tengah ada tiga anak tangga atau katakanlah undakan kayu. Pada sisi kiri dan kanan ada pegangan tangan yang agak sedikit melengkung. Di pangkalnya ada ukiran kayu sederhana, mirip seperti bunga.
Ukiran yang mirip bunga ini, kalau saya coba cocokkan dengan contoh-contoh ukiran yang terdapat di buku Ragam Rumah Adat Minangkabau: Falsafah, Pembangunan dan Kegunaan karya Ir Hasmurdi Hasan, sepertinya kok mirip-mirip dengan ukiran Aka Cino Sagagang, Lumuik Anyuik, Siku Kalalawa Bagayuik juga Salompek. Ada kemiripanlah dengan semua itu, tapi ini analisa saya saja lho. Oh ya, pada pegangan tangan sisi sebelah kanan, ukiran mirip bunga di bagian tengah terlihat hilang atau patah, sedangkan pada sisi kiri masih nampak lengkap.
Ukiran kayu dengan lubang-lubang kecil yang jumlahnya cukup banyak. Melihat motif ukiran dan lubang-lubang kecil yang sengaja dibuat, serta detil lekuk pada setiap bagian ukiran, saya jadi membayangkan betapa pada "tempo doeloe" itu pengerjaan seni perkayuannya sudah begitu detil dan artisitik nyeni banget.
Dari dekat mimbar khatib saya mendongak ke atas, ke lantai 2 masjid. Meski atap Masjid Kurang Aso 60 'kuncup' ke atas, tetapi lantai 1, 2 dan 3 berbentuk bujur sangkar. Kepingin banget saya bisa naik ke lantai 2 dan 3. Lewat mana?
Tidak ada tangga kayu seperti yang ada di rumah kita. Kalau ada tangga kayak gitu, bisa enak naik-turun di dalam masjid ini. Terus, yang ada apaan? Untuk bisa naik ke lantai 2, ada tangga kayu sederhana yang menghubungkan lantai 1 dengan 2. Artinya, pagar pembatas di lantai 2 diberi spasi sebagai pintu masuk, tepatnya di shaf paling belakang.
Di lantai 2, suasananya sama mirip dengan di lantai 1. Berlantai kayu, tiang-tiang kayu yang menyembul dari lantai 1 ke lantai 2 dan terus ke lantai 3. Pagar pembatas sisi "luar" jamaah yang juga kayu dengan ukiran bubut kayu setinggi kira-kira 0,5 meter. Lagi-lagi, saya merasakan suasana hening, khusyu yang menggetarkan kalbu. Apalagi, pemandangan kayu demi kayu ini begitu klasik dan antik.
Caranya sama. Ada tangga kayu yang terdiri dari batangan kayu. Tidak lebar, dan jarak per anak tangga juga cukup lebar. Bedanya, anak tangganya cuma ada 5 saja. Ini seperti menandakan bahwa antara lantai 2 ke lantai 3, jarak ketinggiannya lebih rendah dibandingkan dengan lantai 1 ke lantai 2 (yang perlu 6 anak tangga). Sesudah menaiki 5 anak tangga (batang) kayu, kita bisa menyembul di lubang kotak yang ada di sisi belakang (shaf belakang) lantai 3.