Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Takjub Saat Masuk ke Masjid "Kurang Aso 60"

10 Maret 2018   23:45 Diperbarui: 12 Maret 2018   15:36 2353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ya, dulu mimbar khatib ini ada di posisi mihrab imam.  Tapi sekarang kami geser ke shaf terdepan. Kalau ingin dikembalikan lagi ke "ruang" mihrab imam masih bisa kok, meskipun sudah lapuk termakan usia, tapi mimbar khatib ini masih asli. Bahagian-bahagian mimbar ini bisa dicopot-pasang, jadi tidak sulit seandainya akan dipindahkan ke posisi semula," ujar Marjohan.

Lamat-lamat saya perhatikan mimbar khatib Masjid Kurang Aso 60 ini. Warnanya coklat tua. Bentuknya sederhana. Paling tengah ada tiga anak tangga atau katakanlah undakan kayu. Pada sisi kiri dan kanan ada pegangan tangan yang agak sedikit melengkung. Di pangkalnya ada ukiran kayu sederhana, mirip seperti bunga.

Ukiran yang mirip bunga ini, kalau saya coba cocokkan dengan contoh-contoh ukiran yang terdapat di buku Ragam Rumah Adat Minangkabau: Falsafah, Pembangunan dan Kegunaan karya Ir Hasmurdi Hasan, sepertinya kok mirip-mirip dengan ukiran Aka Cino Sagagang, Lumuik Anyuik, Siku Kalalawa Bagayuik juga Salompek. Ada kemiripanlah dengan semua itu, tapi ini analisa saya saja lho. Oh ya, pada pegangan tangan sisi sebelah kanan, ukiran mirip bunga di bagian tengah terlihat hilang atau patah, sedangkan pada sisi kiri masih nampak lengkap.

Mimbar khatib di Masjid Kurang Aso 60, Solok Selatan. (Foto: Gapey Sandy)
Mimbar khatib di Masjid Kurang Aso 60, Solok Selatan. (Foto: Gapey Sandy)
Aslinya, mimbar khatib ini terlihat ada tutup di bagian atas, karena ada dua tiang penyangga tutup atas yang berada di kiri -- kanan khatib, juga dua tiang lagi di belakang. Sayangnya, bekas-bekas tutup bagian atas ini sudah tak terlihat lagi, kecuali hanya rangka-rangka "atap" mimbarnya saja. Termasuk rangka atap mimbar yang sekeliling empat persegi panjangnya (kecuali bagian belakang atas) diberi ukiran pada sisi bagian bawah. 

Ukiran kayu dengan lubang-lubang kecil yang jumlahnya cukup banyak. Melihat motif ukiran dan lubang-lubang kecil yang sengaja dibuat, serta detil lekuk pada setiap bagian ukiran, saya jadi membayangkan betapa pada "tempo doeloe" itu pengerjaan seni perkayuannya sudah begitu detil dan artisitik nyeni banget.

Dari dekat mimbar khatib saya mendongak ke atas, ke lantai 2 masjid. Meski atap Masjid Kurang Aso 60 'kuncup' ke atas, tetapi lantai 1, 2 dan 3 berbentuk bujur sangkar. Kepingin banget saya bisa naik ke lantai 2 dan 3. Lewat mana?

Tidak ada tangga kayu seperti yang ada di rumah kita. Kalau ada tangga kayak gitu, bisa enak naik-turun di dalam masjid ini. Terus, yang ada apaan? Untuk bisa naik ke lantai 2, ada tangga kayu sederhana yang menghubungkan lantai 1 dengan 2. Artinya, pagar pembatas di lantai 2 diberi spasi sebagai pintu masuk, tepatnya di shaf paling belakang.

Ukiran kayu di pegangan tangan kiri dan kanan mimbar khatib di Masjid Kurang Aso 60. (Foto: Gapey Sandy)
Ukiran kayu di pegangan tangan kiri dan kanan mimbar khatib di Masjid Kurang Aso 60. (Foto: Gapey Sandy)
Saya mencoba menaiki tangga kayu. Dari lantai 1 ke lantai 2, harus memijakkan kaki pada 6 batang kayu. Boro-boro kaki bisa menapak, hanya separuh tapak kaki yang bisa menapak di batang kayu yang menjadi anak tangga. Kalau tidak hati-hati, bisa tergelincir dan cilaka dua belas. Perlu kehati-hatian, apalagi, jarak setiap tapakan batang kayu yang menjadi anak tangga agak rada jauh. Buat orang yang posturnya jangkung, bisa agak lebih nyaman kalau harus naik tangga seperti ini. Beda dengan saya, yang dikaruniai tubuh mungil bak "Lionel Messi".

Di lantai 2, suasananya sama mirip dengan di lantai 1. Berlantai kayu, tiang-tiang kayu yang menyembul dari lantai 1 ke lantai 2 dan terus ke lantai 3. Pagar pembatas sisi "luar" jamaah yang juga kayu dengan ukiran bubut kayu setinggi kira-kira 0,5 meter. Lagi-lagi, saya merasakan suasana hening, khusyu yang menggetarkan kalbu. Apalagi, pemandangan kayu demi kayu ini begitu klasik dan antik.

Suasana ruang di lantai 2 Masjid Kurang Aso 60, Solok Selatan. (Foto: Gapey Sandy)
Suasana ruang di lantai 2 Masjid Kurang Aso 60, Solok Selatan. (Foto: Gapey Sandy)
Dari lantai 2 melihat ke lantai 1. (Foto: Gapey Sandy)
Dari lantai 2 melihat ke lantai 1. (Foto: Gapey Sandy)
Terus bagaimana supaya saya bisa naik ke lantai 3?

Caranya sama. Ada tangga kayu yang terdiri dari batangan kayu. Tidak lebar, dan jarak per anak tangga juga cukup lebar. Bedanya, anak tangganya cuma ada 5 saja. Ini seperti menandakan bahwa antara lantai 2 ke lantai 3, jarak ketinggiannya lebih rendah dibandingkan dengan lantai 1 ke lantai 2 (yang perlu 6 anak tangga). Sesudah menaiki 5 anak tangga (batang) kayu, kita bisa menyembul di lubang kotak yang ada di sisi belakang (shaf belakang) lantai 3.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun