Dengan kata lain, keunikan mengapa namanya "Kurang Aso 60" atau lebih mudah disebut "Anam Puluah Kurang Aso" (Enam Puluh Kurang Satu) yang artinya sama dengan 59 pun serta-merta terjawab. Konon, semula jumlah mereka itu 60 orang, tetapi kemudian ada seorang yang meninggal dunia.
Saya beruntung, seorang dari bapak-bapak yang sedang bekerja melakukan penyelesaian gerbang masjid menghampiri dan dengan ramah "mengizinkan" saya masuk ke Masjid Kurang Aso 60. Namanya Marjohan. Ia kemudian mulai membukakan 2 pintu utama -- yang posisinya tidak persis di tengah melainkan agak geser ke kiri -, dan jendela-jendela kayu pada sisi depan juga samping kanan. Sehingga begitu saya masuk ke Masjid Kurang Aso 60 kondisi pencahayaan yang temaram menjadi terang karena pancaran sinar matahari pagi.
"Sesuai namanya, Masjid Kurang Aso 60 ini punya 59 tiang. Tapi uniknya, tidak semua orang bisa menghitung jumlah tiang-tiang kayu yang ada di sini secara pas," ujarnya.
Nah, hal ini juga yang menjadi satu dari sekian banyak keunikan Masjid Kurang Aso 60. Tidak semua orang bisa menghitung secara pas jumlah tiang yang ada. Ada pengunjung yang pernah menghitung secara persis jumlahnya memang ada 59 tiang, dengan cara menghitung dari sisi depan ke arah belakang. Tapi begitu ia mengulangi lagi hitungannya dari arah belakang ke tiang-tiang kayu di sisi depan, jumlahnya malah cuma jadi 54. Hahahahaaa ... daripada mumet, saya sengaja tidak ingin menghitungnya. Pada salah satu tiang di sisi agak ke kanan saya melihat tiang kayu sempat ditandai dengan nomor dari kertas. Tulisannya, angka 37.
Oh ya, begitu mulai melangkahkan kaki kanan ke dalam masjid, masuk serta merasakan sensasi berada di lantai satu, suasananya terkesan amat klasik dengan suguhan keheningan. Lantai kayu. Dinding kayu. Beratapkan lantai 2 masjid yang juga serba kayu. Nah yang paling membuat terpana ya sudah pasti tiang-tiang kayu atau macu yang berbaris rapi seperti barisan atau shaf jamaah shalat.
Tiang atau tonggak-tonggak kayu ini masih sangat asli. Warnanya coklat tua. Bentuknya tidak bundar utuh, melainkan dibentuk segi delapan. Banyak dari bagian tonggak-tonggak kayu ini sudah terkelupas permukaannya. Tapi boleh dibilang masih sangat, sangat, sangat kokoh! Tuh, sampai 3 kali deh saya nyebutnya.
Masih soal macu. Beredar omongan, bahwa barang siapa yang bisa memeluk macu paling tengah atau yang menjadi pusat Masjid Kurang Aso 60, lalu masing-masing jari dari kedua tangan saling bertemu, maka segala harapan yang diinginkan bakal terkabul. Omongan ini sudah viral. Bahkan pada plang informasi yang dipasang Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemkab Solok Selatan pun dituliskan. [Heheheheee ... maaf, saya pribadi enggak percaya yang kayak beginian, jadi enggak kepingin juga mempraktikkannya, apalagi ini di masjid, Bro']
Berada di lantai 1 masjid, seperti sudah saya bilang tadi, kita seperti berada di "bujur sangkar kayu". Lebih maju lagi ke arah posisi imam kalau shalat, ada sepetak ruang kayu yang lebih kecil dibanding ukuran utama masjid, tapi tetap cukup luas sebagai "ruang" mihrab dari seorang imam. Biasanya, di mihrab itu juga ada semacam panggung atau mimbar untuk sang khatib menyampaikan khutbah Shalat Jumat.