Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pernikahan Adat Sunda dan Makna Prosesinya

6 September 2016   12:47 Diperbarui: 4 April 2017   18:22 3662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok Ki Lengser penuntun lakon mapag panganten Sunda. (Foto: Gapey Sandy)

Oh iya, selama prosesi berlangsung, di atas panggung ada seseorang yang bertindak selaku penuntun jalannya acara. Sosoknya tampil berdandan seperti seorang kakek, berambut putih menguban, dengan gigi ompong dan berjalan agak membungkuk. Kegemarannya merokok dengan cangklong pipa yang ukurannya besar, dan membawa tas atau kantong selempang yang terbuat dari pintalan daun pandan. Sosok ini biasa disebut sebagai Ki Lengser atau Uwa Lengser. Dalam tradisi Sunda, ia menjadi utusan atau perwakilan raja yang memang tugasnya turun memberi panduan dan panutan ke tengah masyarakat. Nah, disini, Ki Lengser menjadi pengendali acara mapag panganten Sunda, dengan cara yang khas, unik, polos, kocak, bijaksana dan bersahaja. Sesekali ia bercanda dengan pengunjung, bahkan membuat kaget sejumlah pengunjung lainnya dengan tingkah lakunya yang jenaka.

Ki Lengser selalu tampil khas. Ia mengenakan ikat kepala Sunda, motifnya batik Sunda, memakai busana Sunda alias Pangsi berwarna hitam, berjanggut putih, lengkap dengan asesori kalung juga gelang kayu.

Prosesi saling menyuapi panganan. (Foto: Gapey Sandy)
Prosesi saling menyuapi panganan. (Foto: Gapey Sandy)
Prosesi meminum bersama. (Foto: Gapey Sandy)
Prosesi meminum bersama. (Foto: Gapey Sandy)
Kelima, meski sudah beberapa prosesi terlaksana, tetapi rupanya pembawa acara yang mengantarkan naskah paparan terkadang menggunakan Bahasa Sunda, belum menyatakan bahwa acara seremonial sudah selesai. Masih ada lagi. Wheeewwww … banyak sekali prosesinya. Kali ini dilanjutkan dengan acara kedua pengantin yang turun dari panggung pelaminan, dan diarak menuju ke tengah gedung resepsi. Kedua mempelai duduk di kursi yang sudah disediakan, dengan dilindungi payung berwarna kuning keemasan yang dibawa oleh seorang lelaki yang menjadi bahagian dari tim sendratari.

Apa yang akan dilakukan?

Sebelum sampai kepada prosesi berikutnya, bolehlah disampaikan di sini bahwa payung bundar berwarna keemasan yang dikembangkan dan melindungi kedua mempelai ternyata  memiliki simbol tersendiri. Payung disini bermakna sebagai tempat berteduh. Artinya, besar harapan kedua pengantin akan terus berbahagia dimana saja berada dan selalu memperoleh keteduhan.

Berteduh di bawah payung warna keemasan ini menjadi awal dari sawer panganten. Inilah prosesi dimana kedua orangtua pasangan mempelai melemparkan saweran kepada para pengunjung yang ada di sekeliling kedua pengantin. Saya menyaksikan sendiri, betapa Ki Lengser meminta kepada kedua orangtua pengantin untuk mengambil beras kuning, uang logam dan kupon doorprize untuk dilemparkan kepada pengunjung. Sudah pasti, pengunjung --- utamanya anak-anak --- berebutan mengambil kupon doorprize yang disawerkan dan dilemparkan tersebut.

Prosesi tarik bakakak hayam. (Foto: Gapey Sandy)
Prosesi tarik bakakak hayam. (Foto: Gapey Sandy)
Prosesi makan ayam bakakak bersamaan. (Foto: Gapey Sandy)
Prosesi makan ayam bakakak bersamaan. (Foto: Gapey Sandy)
Mengapa beras kuning dan uang logam? Kedua simbol ini ternyata menyiratkan harapan agar kedua mempelai akan senantiasa sejahtera biduk rumah tangganya. Beras kuning --- yang berarti lambang kemakmuran --- ini karena diwarnai menggunakan kunir, sedangkan warna kuning pada kunir juga memberi simbol kesejahteraan.

Umumnya, ketika sawer panganten, ada juga yang menyertakan kunyit untuk dilemparkan sebagai perlambang kejayaan, dan kembang gula yang mengandung pesan agar kedua mempelai menikmati manisnya hidup berumah-tangga.

Sebelum sawer panganten --- yang cukup menghebohkan pengunjung ini---, biasanya dibuka dengan penyampaikan petuah-petuah, dari pembawa acara kepada pasangan pengantin.

Tetap dalam posisi duduk di kursi, kedua mempelai kemudian menyimak penuturan petuah-petuah yang disampaikan secara nembang bertutur atau didendangkan dalam Bahasa Sunda. Aaaiiiihhh … sayang sekali, saya kurang memahami makna kalimat yang diluncurkan pembawa acara, sekalipun saya yakin pasti petuahnya akan sangat kaya manfaat bagi semua hadirin, khususnya kedua mempelai. Tetapi, diantara sekian banyak petuah, tetap ada yang bisa saya maknai sendiri. Yakni, petuah yang ditujukan kepada pengantin wanita agar selalu menjunjung tinggi musyawarah bersama sang suami tercinta, apabila terdapat masalah rumah tangga atau hal-hal yang perlu dicarikan bersama solusinya. “Harus mengandalkan cara musyawarah,” begitu pesan pembawa acara kepada pasangan pengantin.

Ki Lengser memandu prosesi sawer panganten. (Foto: Gapey Sandy)
Ki Lengser memandu prosesi sawer panganten. (Foto: Gapey Sandy)
Suasana sawer panganten yang seru. (Foto: Gapey Sandy)
Suasana sawer panganten yang seru. (Foto: Gapey Sandy)
Keenam, usai sawer panganten, prosesi beringsut dengan acara membakar lidi atau meuleum harupat. Ki Lengser memberi perintah kepada pengantin wanita untuk membakar salah satu ujung lidi. Kemudian, dengan sigap pula, menitahkan kepada kedua mempelai untuk sama-sama dengan secepat mungkin memadamkan secara bersama nyala api tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun