Oh iya, selama prosesi berlangsung, di atas panggung ada seseorang yang bertindak selaku penuntun jalannya acara. Sosoknya tampil berdandan seperti seorang kakek, berambut putih menguban, dengan gigi ompong dan berjalan agak membungkuk. Kegemarannya merokok dengan cangklong pipa yang ukurannya besar, dan membawa tas atau kantong selempang yang terbuat dari pintalan daun pandan. Sosok ini biasa disebut sebagai Ki Lengser atau Uwa Lengser. Dalam tradisi Sunda, ia menjadi utusan atau perwakilan raja yang memang tugasnya turun memberi panduan dan panutan ke tengah masyarakat. Nah, disini, Ki Lengser menjadi pengendali acara mapag panganten Sunda, dengan cara yang khas, unik, polos, kocak, bijaksana dan bersahaja. Sesekali ia bercanda dengan pengunjung, bahkan membuat kaget sejumlah pengunjung lainnya dengan tingkah lakunya yang jenaka.
Ki Lengser selalu tampil khas. Ia mengenakan ikat kepala Sunda, motifnya batik Sunda, memakai busana Sunda alias Pangsi berwarna hitam, berjanggut putih, lengkap dengan asesori kalung juga gelang kayu.
Apa yang akan dilakukan?
Sebelum sampai kepada prosesi berikutnya, bolehlah disampaikan di sini bahwa payung bundar berwarna keemasan yang dikembangkan dan melindungi kedua mempelai ternyata memiliki simbol tersendiri. Payung disini bermakna sebagai tempat berteduh. Artinya, besar harapan kedua pengantin akan terus berbahagia dimana saja berada dan selalu memperoleh keteduhan.
Berteduh di bawah payung warna keemasan ini menjadi awal dari sawer panganten. Inilah prosesi dimana kedua orangtua pasangan mempelai melemparkan saweran kepada para pengunjung yang ada di sekeliling kedua pengantin. Saya menyaksikan sendiri, betapa Ki Lengser meminta kepada kedua orangtua pengantin untuk mengambil beras kuning, uang logam dan kupon doorprize untuk dilemparkan kepada pengunjung. Sudah pasti, pengunjung --- utamanya anak-anak --- berebutan mengambil kupon doorprize yang disawerkan dan dilemparkan tersebut.
Umumnya, ketika sawer panganten, ada juga yang menyertakan kunyit untuk dilemparkan sebagai perlambang kejayaan, dan kembang gula yang mengandung pesan agar kedua mempelai menikmati manisnya hidup berumah-tangga.
Sebelum sawer panganten --- yang cukup menghebohkan pengunjung ini---, biasanya dibuka dengan penyampaikan petuah-petuah, dari pembawa acara kepada pasangan pengantin.
Tetap dalam posisi duduk di kursi, kedua mempelai kemudian menyimak penuturan petuah-petuah yang disampaikan secara nembang bertutur atau didendangkan dalam Bahasa Sunda. Aaaiiiihhh … sayang sekali, saya kurang memahami makna kalimat yang diluncurkan pembawa acara, sekalipun saya yakin pasti petuahnya akan sangat kaya manfaat bagi semua hadirin, khususnya kedua mempelai. Tetapi, diantara sekian banyak petuah, tetap ada yang bisa saya maknai sendiri. Yakni, petuah yang ditujukan kepada pengantin wanita agar selalu menjunjung tinggi musyawarah bersama sang suami tercinta, apabila terdapat masalah rumah tangga atau hal-hal yang perlu dicarikan bersama solusinya. “Harus mengandalkan cara musyawarah,” begitu pesan pembawa acara kepada pasangan pengantin.