Akhir pekan kemarin, tepatnya 3 September, saya menghadiri pernikahan sepupu. Berlokasi di Gedung Serba Guna (samping Kecamatan Cisauk) Jalan Raya Cisauk - Lapan No.1 Tangerang, Banten. Atau, sekitar 400 meter sebelum Stasiun Kereta Api Cisauk, kalau datang dari arah AEON mall - BSD dan sekitarnya.
Pernikahan kedua mempelai mengusung adat budaya lokal. Memang, sebagai warga asli Cisauk --- yang secara geogafi termasuk Kabupaten Tangerang ---, pastilah mempelai wanita beserta keluarga besar berkenan menggelar hajat pernikahan dengan tradisi setempat.
Pertanyaannya, adat budaya dan tradisi apa yang ditampilkan? Disinilah menariknya. Maklum, Tangerang bukan lagi termasuk karesidenan dari Provinsi Jawa Barat. Keduanya ‘bercerai’ pada Oktober 2000, dimana seperti kita tahu, Banten kemudian menjadi provinsi tersendiri.
Meski sudah tidak lagi menginduk ke Provinsi Jawa Barat, tapi rupanya adat istiadat maupun budaya Sunda masih dijunjung sebagian besar masyarakat Cisauk. Terbukti, pernikahan sepupu dengan gadis pujaannya, berbalut tradisi Sunda - Jawa Barat. Bukan saja nampak dari busana pengantin yang dikenakan, tapi juga prosesi pernikahan dan iringan musik degung yang khas dengan tiupan suling yang mendayu dan petikan rancak alat musik kecapi.
Pertama, busana pengantin memakai kebaya Sunda. Baik pengantin pria maupun wanita sama-sama mengenakan seragam batik bercorak Jawa Barat . Khusus pengantian pria, kain batik hanya dililitkan hingga sebatas paha saja. Adapun busana atasan mengenakan kemeja dengan leher tertutup dan desainnya mirip perpaduan antara jas dengan baju koko. Bawahannya, pengantin pria mengenakan celana panjang, lengkap dengan selop dengan warna senada yakni putih keperakan. Untuk di kepala, pengantin pria mengenakan peci putih, bukan lilitan kain (blangkon) atau Bendo Sunda. Ada nuansa keislaman pada tampilan ini.
Pengantin wanitanya? Meski tampil dengan jilbab yang menutup kepala, tetapi kebaya dan batik Sunda yang dikenakannya, padu padan dengan selop putih keperakan yang berhak pendek. Di atas jilbabnya masih dikenakan hijab pengantin berwarna putih yang menjuntai panjang dan sarat pinggirannya dengan renda-renda. Anggun sekali, meski tanpa sarung tangan berenda yang menutup tapak dan jari tangan.
Dari sisi busana saja sudah membuktikan bahwa tradisi Jawa Barat masih bertahan dan dipertahankan masyarakat Kabupaten Tangerang, khususnya di Cisauk. Meskipun, notabene provinsinya sudah menjadi bagian dari Banten.
Kedua, musik yang mengiringi selama prosesi pernikahan adalah juga degung alias gamelan Sunda. Ciri khasnya sudah tentu tiupan suling yang mendayu-dayu, juga petikan kecapi yang begitu menenteramkan hati pendengarnya. Tapi pasti semua sudah tahu bukan, alat musik kecapi sejatinya berasal dari Cina. Di negara asalnya, ia dinamakan Guzheng. Ini artinya, berlangsung percampuran budaya yang akulturasi etnisnya bukan lagi antara Sunda dan Betawi, atau Sunda dan Banten, tapi sudah pada etnis asing yang kemudian mengkolaborasi secara apik.
Oh ya, Kota Tangerang beda dengan Kabupaten Tangerang. Dulu, memang Kota Tangerang menjadi bagian dari Kabupaten Tangerang. Tapi, statusnya kemudian meningkat jadi kota administratif, kemudian menjadi kotamadya pada 28 Februari 1993. Sebutan kotamadya lantas berubah lagi jadi kota, pada 2001.
Okey, jadi jelas ya, ada budaya Tionghoa juga yang merasuk dalam pergelaran prosesi pernikahan yang pada dasarnya berlandaskan adat budaya Sunda – Jawa Barat ini.
Ketiga, prosesi ijab kabul yang sudah barang tentu tidak akan terganggu-gugat dari sisi nilai islaminya. Artinya, lantunan pembacaan ayat-ayat suci Al Qur’an, tata tertib dan syarat pernikahan, juga doa yang dipanjatkan, semuanya mengharap ridho Ilahi Rabbi, Allah SWT. Nafas islami ada di hajatan pernikahan ini.
Kalau masih ingin dikaitkan lagi, ya sudah tentu peci penutup kepala yang dikenakan pengantin pria (juga ayahanda dan mertua) itu juga mencirikan nilai keislaman. Begitu juga dengan jilbab pengantin wanita yang tetap rapat menutup kepala.
Selain sungkeman, ada lagi prosesi yang dinamakan kadeudeuh suapan terakhir. Disini, baik pengantin pria maupun wanita diberi suapan makanan terakhir oleh kedua orangtuanya masing-masing. Simbol suapan terakhir dari orangtua kepada anaknya yang akan dilepas berumah-tangga ini mengartikan kasih sayang, kadeudeuh, kanyaah kepada anak-anaknya.
Prosesi kadeudeuh suapan terakhir diakhiri dengan pengantin pria menyuguhkan gelas minuman kepada pengantin wanita, begitu pula sebaliknya. Sambil masing-masing meneguk air di gelas, tangan kiri kedua pengantin pun saling berpegangan mesra.
Setelah mendapat suapan terakhir dari kedua orangtua, dilanjutkan dengan kedua mempelai saling menyuapi makanan. Pengantin pria menyuapkan panganan kepada pengantin wanita, dengan lembut dan kasih sayang, begitupun sebaliknya. Ini mengartikan bahwa kedua sejoli yang sudah diikat sucinya tali pernikahan harus saling memberi dalam ikatan harmonis kebersamaan pasangan suami istri.
Usai kadeudeuh suapan terakhir, prosesi masih terus berlangsung. Karena dilanjutkan dengan kedua mempelai yang akan saling makan ayam bakar secara bersama. Ini dinamakan gelaran tarik bakakak hayam. Teknisnya begini: Kedua pengantin disuguhi ayam panggang matang, lalu masing-masing memegang kaki ayam bakar. Pengantin pria memegang bagian kaki ayam, begitu juga dengan pengantin wanita. Posisi ayam bakar yang utuh ini pun jadi menggantung. Nah, pada saat itulah, baik pengantin pria dan pengantin wanita saling menarik ayam bakar. Sampai akhirnya, kedua mempelai sama-sama memegang bagian ayam bakarnya masing-masing. Daging ayam bakar inilah yang kemudian akan disantap bersama oleh pasangan pengantin.
Eh, jangan dipikir prosesi menarik ayam bakar ini tidak memiliki makna filosofis lho yaaa …. Tarik bakakak hayam mengartikan pasangan suami istri harus dapat saling menunjang dan mendukung usaha menjemput rezeki pada tahap kehidupan berumah-tangga dan masa-masa selanjutnya.
Oh iya, selama prosesi berlangsung, di atas panggung ada seseorang yang bertindak selaku penuntun jalannya acara. Sosoknya tampil berdandan seperti seorang kakek, berambut putih menguban, dengan gigi ompong dan berjalan agak membungkuk. Kegemarannya merokok dengan cangklong pipa yang ukurannya besar, dan membawa tas atau kantong selempang yang terbuat dari pintalan daun pandan. Sosok ini biasa disebut sebagai Ki Lengser atau Uwa Lengser. Dalam tradisi Sunda, ia menjadi utusan atau perwakilan raja yang memang tugasnya turun memberi panduan dan panutan ke tengah masyarakat. Nah, disini, Ki Lengser menjadi pengendali acara mapag panganten Sunda, dengan cara yang khas, unik, polos, kocak, bijaksana dan bersahaja. Sesekali ia bercanda dengan pengunjung, bahkan membuat kaget sejumlah pengunjung lainnya dengan tingkah lakunya yang jenaka.
Ki Lengser selalu tampil khas. Ia mengenakan ikat kepala Sunda, motifnya batik Sunda, memakai busana Sunda alias Pangsi berwarna hitam, berjanggut putih, lengkap dengan asesori kalung juga gelang kayu.
Apa yang akan dilakukan?
Sebelum sampai kepada prosesi berikutnya, bolehlah disampaikan di sini bahwa payung bundar berwarna keemasan yang dikembangkan dan melindungi kedua mempelai ternyata memiliki simbol tersendiri. Payung disini bermakna sebagai tempat berteduh. Artinya, besar harapan kedua pengantin akan terus berbahagia dimana saja berada dan selalu memperoleh keteduhan.
Berteduh di bawah payung warna keemasan ini menjadi awal dari sawer panganten. Inilah prosesi dimana kedua orangtua pasangan mempelai melemparkan saweran kepada para pengunjung yang ada di sekeliling kedua pengantin. Saya menyaksikan sendiri, betapa Ki Lengser meminta kepada kedua orangtua pengantin untuk mengambil beras kuning, uang logam dan kupon doorprize untuk dilemparkan kepada pengunjung. Sudah pasti, pengunjung --- utamanya anak-anak --- berebutan mengambil kupon doorprize yang disawerkan dan dilemparkan tersebut.
Umumnya, ketika sawer panganten, ada juga yang menyertakan kunyit untuk dilemparkan sebagai perlambang kejayaan, dan kembang gula yang mengandung pesan agar kedua mempelai menikmati manisnya hidup berumah-tangga.
Sebelum sawer panganten --- yang cukup menghebohkan pengunjung ini---, biasanya dibuka dengan penyampaikan petuah-petuah, dari pembawa acara kepada pasangan pengantin.
Tetap dalam posisi duduk di kursi, kedua mempelai kemudian menyimak penuturan petuah-petuah yang disampaikan secara nembang bertutur atau didendangkan dalam Bahasa Sunda. Aaaiiiihhh … sayang sekali, saya kurang memahami makna kalimat yang diluncurkan pembawa acara, sekalipun saya yakin pasti petuahnya akan sangat kaya manfaat bagi semua hadirin, khususnya kedua mempelai. Tetapi, diantara sekian banyak petuah, tetap ada yang bisa saya maknai sendiri. Yakni, petuah yang ditujukan kepada pengantin wanita agar selalu menjunjung tinggi musyawarah bersama sang suami tercinta, apabila terdapat masalah rumah tangga atau hal-hal yang perlu dicarikan bersama solusinya. “Harus mengandalkan cara musyawarah,” begitu pesan pembawa acara kepada pasangan pengantin.
Arti dari meuleum harupat tidak lain adalah apabila ada salah satu pihak, baik pengantin pria maupun wanita, yang tersulut emosinya selama berumah-tangga, hendaklah kedua pihak juga senantiasa cepat untuk memadamkan amarah atau emosi tersebut. Jangan dibiarkan terlalu lama membara emosinya.
Lidi yang sempat terbakar dan membara ini kemudian oleh kedua pengantin dicelupkan ke kendi kecil berisi air. Sebagai perlambang bahwa keduanya akan senantiasa mengedepankan kepala dan hati yang dingin dalam menjalani masa berumah-tangga, entah itu dalam setiap menghadapi kebahagiaan maupun kesulitan.
Nah, lidi yang sudah tidak membara lagi kemudian secara bersamaam dipatahkan. Pengantin pria dan wanita saling mematahkan, untuk kemudian dibuang ke arah belakang. Menurut pembawa acara, lidi yang dipatahkan bersama dan kemudian dibuang ini, menyimbolkan bahwa kedua mempelai harus senantiasa mengutamakan jalan musyawarah demi mencari solusi atas segala persoalan rumah tangga, mematahkan setiap kendala secara bersama, dan membuang problema bersama-sama juga.
Pengunjung sempat tertawa, manakala mempelai wanita “digoda” oleh pembawa acara. “Neng, Neng … coba itu dilihat, diraba dan dirasakan, apakah jempol si Akang besar atau kecil? Kalau besar, waduh … itu baru jempolnya loch Neng, belum yang lainnya,” tutur pembawa acara. Kontan, pengantin wanita tersipu malu, begitu pun pengantin pria. Pengunjung pun tertawan menyimak guyonan ini.
Eh iya, menginjak dan memecahkan telur ini simbolnya begitu dalam. Betapa tidak? Ini mengartikan bahwa pengantin wanita berharap dapat memberikan benih yang baik, sehingga kedua mempelai yang sudah menjadi suami istri ini akan memperoleh keturunan yang baik, soleh dan solehah. Wheeewwwww … dalemmm bener kaannn maknanya.
Telur juga melambangkan kesucian sang pengantin pria, juga wanita. Mengapa harus kaki sebelah kanan? Ya, karena semua sepakat bahwa sisi kanan hendaknya dapat mengarahkan kedua pengantin pada kebaikan.
Setelah itu, keduanya meupeuskeun kendi atau menghempaskan atau menghancurkan kendi kecil dari tanah liat tadi, sebagai pertanda bahwa kedua mempelai akan senantiasa menghancurkan segala kerikil dan penghalang laju biduk mahligai rumah tangga bersama-sama. Meskipun, siapapun juga pasti akan merasakan bahwa perjalanan hidup berumah-tangga tidak akan selalu sepi dari cobaan dan ujian. Insya Allah, pasangan pengantin ini akan mampu menghancurkan segala halang rintang hidup bersama tersebut.
Selesai prosesi ini, maka pasangan pengantin kemudian melakukan rehat. Sambil berganti busana, yang semula dominan berwarna putih, kini bersalin menjadi merah hati. Tetap dengan motif kebaya Sunda yang elegan dan anggun.
Kesembilan, mulailah kemudian Tari Merak dipertunjukkan. Empat gadis penari lemah gemulai menarikannya. Literatur menyebutkan Tari Merak memang berasal dari Pasundan, Jawa Barat, dan menggambarkan ekspresi kehidupan Burung Merak. Utamanya, gerakan Burung Merak jantan yang mengibas-ngibaskan bulu indahnya untuk menarik hasrat bercinta Burung Merak betina. Koreografer Tari Merak adalah seniman Sunda, Raden Tjejep Somantri, yang menciptakan tarian ini pada sekitar 1950-an.
Kesepuluh, setelah kedua pengantin berada di kursi pelaminan dan menerima ucapan selamat serta doa restu dari tamu undangan, lengkap dengan berfoto-foto ria, di sisi panggung dekat pintu masuk dan keluar gedung, mulailah kelompok musik marawis mempelihatkan kebolehannya. Kelompok marawis ini begitu solid memainkan alat musik tetabuhannya, sambil mendendangkan lagu pujian shalawat dan salam bagi bagi baginda Rasulullah saw. Sudah pasti terselip juga doa kebaikan bagi sesama dan khususnya kepada kedua mempelai pengantin yang kini semakin berbahagia.
Lagi-lagi, akulturasi etnis dan budaya berlangsung. Nilai islami kembali menguat lewat penampilan kelompok marawis ini. Aaaahhhh… prosesi pernikahan adat Sunda ini melelahkan juga --- meski sebenarnya masih ada beberapa lagi prosesi yang umumnya masih dapat dilaksanakan.
Selamat berbahagia, Andy & Lala. Semoga menjadi keluarga sakinah mawaddah wa rahmah. Jangan lupakan juga, simbol dan makna dari semua proses pernikahan yang sudah dilaksanakan. Aamiin …
o o o O o o o
Tonton, video pernikahan adat Sunda, Andy dan Lala:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H