Sejak bertemu dengan Hindun di warungnya Bu Joni.  Penampilan Bangor jadi berubah. Celana jeans belel yang sobek di bagian  lututnya sudah tidak pernah dipakai lagi. Sepatu butut yang biasa  menemaninya jalan kemana-mana mendadak pensiun dini dan langsung masuk  ke dalam kardus bekas mie instant.
Padahal siapa yang tidak kenal dengan pemuda ini. Saban  hari nongkrongnya di depan gang. Begadang main gitar, sambil mabok, sudah  jadi bagian kesehariannya. Bangor merupakan potret pemuda yang Madesu  alias Masa Depan Suram.
Tidak ada orang tua yang mau lihat anak-anaknya bergaul  dengan Bangor. Preman kampung pengangguran yang hidup dan makan dari  hasil jadi petugas jaga malam. Honornya tidak seberapa. Kalau pun  pendapatannya bertambah, itu juga dikarenakan mewakili warga yang tidak  bisa melaksanakan ronda. Warga pun menggantinya dengan uang rokok yang  seadanya.
Tapi sejak bertemu Hindun, gadis manis itu. Bangor mendadak  berubah 180 derajat. Padahal semua juga tahu, Hindun anak Pak Haji  Sadeli, seorang juragan sapi di kampungnya. Sosok gadis idaman yang  digandrungi oleh pemuda di kampungnya.
Anaknya cantik, tinggi, putih dan semakin anggun dengan jilbab yang dikenakannya. Ah, mungkin Bangor jatuh cinta pada pandangan  pertama dengan Hindun anak seorang juragan. Bukan karena kecantikannya  atau siapa orang tuanya. Melainkan karena, sikap Hindun yang sopan dan  perhatian terhadapnya.
"Bang Arya, kan?" Sapa gadis itu di suatu sore. Saat Bangor sedang asik bermain gitar di depan warungnya Bu Joni.
Bangor memperhatikan gadis manis yang berdiri di depannya.  Karena sudah sejak lama orang melupakan nama aslinya. Kalaupun ada yang  tahu, itu juga penduduk asli kampung ini, serta mengetahui sejarah  hidupnya yang sudah sedari kecil menjadi yatim piatu.
"Siapa, ya?" Tanya Bangor waktu itu.
"Saya Hindun. Masak abang lupa!" Jawab gadis itu dengan seulas senyumnya.
Sekali lagi Bangor mengernyitkan keningnya.
"Oh, Hindun anak Pak Haji, ya! Wah baru inget saya..." Bangor mulai mengingat sosok Hindun yang berdiri di  hadapannya. Teman mainnya waktu kecil dan sekarang sudah menjadi seorang  gadis cantik.
"Kok Hindun baru kelihatan?"
" Iya bang. Hindun baru aja lulus SMA di kota. Sekarang pulang dulu liburan sambil nengokin  Babeh. Abang enggak, kerja?"
Bangor menggaruk-garuk kepalanya yang nggak gatel...
"Abang kerjanya ngeronda di kampung" Jawabnya malu-malu.
Sekali lagi gadis itu tersenyum "Masak kerjanya cuma  ngeronda sih, bang! Harusnya abang cari kerjaan lain juga. Abang kan  nggak mungkin terus-terusan hidup sendiri. Suatu saat abang akan  menikah. Punya istri dan punya anak. Cukup ngasih makannya kalau cuma  kerja ngeronda?"
Bangor tersentak. Baru sekali ini ada orang yang memberikan  perhatian sedemikian rupa. Sedangkan Bangor masih saja menikmati  kesehariannya. Tanpa memikirkan hal lain dalam hidupnya.
Sejak saat itulah Bangor jadi dekat dengan Hindun. Pergi  kemana-mana Bangor yang memboncengnya naik motor. Pulang dari Sholat  maghrib, serta Isya' Bangor juga yang menemani Hindun pulang. Setiap  malam minggu, Bangor kerap bertandang ke rumahnya Hindun. Ngobrol, main  gitar, serta nyanyi bareng. Hindun sangat suka kalau dengar Bangor lagi  nyanyi.
"Suara abang bagus deh!" Puji Hindun suatu kali, saat mereka sedang duduk di teras rumahnya.
"Iya. Lebih bagus lagi kalo suara elu di pake buat ngaji"  Tiba-tiba Pak Haji keluar dari dalam rumah sambil nyeletuk dan ikut  duduk di bangku teras.
Bangor buru-buru bangkit dari duduknya. Sebuah sikap  menghargai orang, yang diajarkan Hindun kepadanya. Kemudian duduk  kembali setelah Pak Haji duduk bersandar di bangkunya.
"Idih babeh, main nimbrung aja" Protes Hindun sambil mencubit pipi orang tua tersebut.
Bangor memperhatikan keakraban bapak dan anak tersebut. Ada  rasa iri yang tiba-tiba menyergap lubuk hatinya. Bangor sudah lupa,  kapan terakhir dirinya mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya.
" Lha.., babeh kan bener, ngomongnya. Eh Bangor... Elu kapan  terakhir ngaji dan adzan di masjid?" Tanya pak Haji kepada pemuda  tersebut.
"Arya, beh!" Hindun protes karena Babeh menyebut nama yang biasa dipanggil orang terhadap pemuda itu.
"Hahaha...!" Pak Haji tertawa saat melihat wajah putri kesayangannya yang cemberut.
Bangor. Eh, Arya tersenyum saat melirik raut muka Hindun yang masih terlihat cantik meski sedang cemberut.
"Sejak kapan elu nggak jadi bangor, lagi?" Tanya Pak Haji kemudian.
Pemuda itu cuma bisa menggaruk kepalanya. Pak Haji  satu-satunya orang yang mengenal dirinya dari kecil. Dari Pak Haji lah  pemuda itu mengetahui riwayat kedua orang tuanya. Pak Haji juga yang  dulu mengajarinya mengaji bareng Hindun, ketika masih bocah ingusan.
Setelah enyaknya Hindun meninggal. Pak Haji tidak lagi  mengajar ngaji kepada dirinya dan juga anak-anak lain di kampungnya.  Kalaupun ada pengajian, itu dilakukan setiap malam jum'at di Masjid.Â
"Tuh kan, puyeng jawabnya!" Celetuk Pak Haji karena sedari tadi cuma melihat pemuda itu garuk-garuk kepala.
"Babeh sih nanyain itu mulu. Bang Arya sekarang udah  berubah, Beh.... Sudah enggak Bangor lagi. Malah Hindun ama Bang Arya mau  bikin Ikatan Pemuda Masjid. Bentar lagi juga, Hindun akan buka TPA.  Taman Pengajian Alqur'an buat anak-anak. Bener kan, bang!" Hindun  memberikan penjelasan kepada Babehnya.
Karena alasan-alasan itulah Bangor makin tumbuh perasaaan  cintanya terhadap gadis itu. Kebersamaan mereka semakin hari semakin  dekat. Jika diibaratkan pepatah, bunyinya seperti ini kira-kira;
'Cinta Bangor Bukan Buatan. Bagaikan Paku nancep di papan'
Hihihi.....
Karena itu, setelah mengingat, menimbang, sampai akhirnya  memutuskan. Bangor pun memberanikan diri untuk menyatakan cintanya  kepada Hindun dan malam minggu ini adalah momen yang pas untuk itu.
Seperti biasa sepulang dari masjid, Bangor sudah terlihat  berdua di teras rumahnya Pak Haji. Bercanda dan bernyanyi seperti yang  sudah-sudah. Tembang-tembang cinta meluncur dari bibirnya Bangor. Pemuda  itu telah berubah sekarang. Hindun adalah Peri yang diutus untuk itu.
Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Di akhir November yang basah. Tampias hujan yang dihembus angin sampai juga di  teras rumah tersebut. Bangor buru-buru pindah dari tempatnya berada.  Persis di sebelah Hindun, pemuda itu mendaratkan duduknya.
Suara guntur yang menggelegar di sertai kilatan cahaya  mengejutkan kedua insan tersebut. Hindun berteriak kaget. Kedua tangan  gadis itu mencengkram bahu Bangor yang dibalut dengan jaket kulitnya.  Sambil menyembunyikan wajahnya di belakang punggung pemuda itu.
Bangor bisa mencium wangi tubuh Hindun yang berada sangat  dekat dengannya. Dadanya berdegup kencang seketika, disertai desiran  halus yang mengalir di pembuluh darahnya. Pemuda tersebut baru merasakan  sebuah kehangatan, setelah sekian lama dianggap sebagai preman kampung  yang nggak jelas juntrungannya.
Dengan sangat hati-hati pemuda tersebut meraih tangan  Hindun. Menggenggamnya, lalu mulai merangkai kata-kata yang akan  diucapkannya. Sebuah kalimat cinta yang akan diutarakannya. Malam ini,  disaat hujan turun dengan derasnya. Tepat di akhir bulan November.
Hindun buru-buru menjauhkan tubuhnya. Tangannya masih  berada di dalam genggaman tangan Bangor. Pandangan mereka beradu, cukup  lama mereka saling memandang. Hanya hati mereka yang berbicara, tanpa  bibir yang mengucap kata. Pemuda itu betah berlama-lama bernaung di  dalam mata Hindun yang menatap teduh.
Tapi belum sempat Bangor mengutarakan perasaannya, Pak Haji keburu nimbrung.
"Uhuk, uhuk...!" Babehnya Hindun memberikan isyarat dengan batuknya.
Bangor buru-buru bangkit dari duduknya dan berpindah  tempat. Sekali lagi guntur menggelegar, disertai cahaya kilat yang  menyambar. Gadis itu pun kembali berteriak kaget.
Tiba-tiba seorang pemuda keluar dari dalam rumah dan  langsung menghambur ke arah Hindun. Gadis itu langsung berlindung ke  belakang tubuh pemuda yang barusan keluar tadi.
Bangor memperhatikan pemuda tersebut yang kelihatan sudah  sangat dikenal oleh gadis itu. Menyadari keberadaan Bangor di tempat  itu, Hindun melepaskan pegangannya dari tangan pemuda yang sekarang  berdiri di sebelahnya.
"Bayu kenalkan. Ini bang Arya, yang akan membantu kita  mengajar di TPA. Bang Arya ini kenalkan, Bayu teman Hindun dari kota  yang akan membiayai semua kegiatan di kampung kita" Kata gadis itu  sambil tersenyum.
Bangor menyambut uluran tangan Bayu, yang dijulurkannya dengan sikap yang sopan.
"Nah, mumpung elu ada disini. Biar sekalian gue kasih tahu.  Bayu ini tunangannya Hindun, calon dokter gigi. Entar kalau elu sakit  gigi. Kemari aja gratis. Enggak usah pake bayar" Pak Haji ikut  memperjelas siapa pemuda itu sebenarnya.
"Iya Bang Arya. Hindun juga banyak cerita soal abang yang sudah dianggap kakaknya sendiri oleh Hindun.
Bangor seperti mendengar suara petir yang menggelegar.  Padahal hujan sudah berangsur reda dan hanya menyisakan gerimis.  Perasaannya menjadi tidak menentu. Perhatian gadis itu selama ini hanya  sebatas perhatian seorang adik terhadap abangnya. Tanpa sedikit pun rasa  cinta.
Bangor meremas selembar kertas yang ada di dalam jaketnya.  Sebuah tiket yang didapat setelah mengikuti seleksi pencarian bakat,  yang diadakan oleh sebuah stasiun televisi swasta. Bangor berhasil lolos  Audisi dan berhak lolos ke Jakarta untuk seleksi tahap berikutnya. Tapi  Bangor tak sempat mengabarkannya kepada Hindun.
Tiba-tiba hujan kembali turun dengan derasnya, disertai  kilatan petir dan guntur  yang menggelegar. Pak Haji, Hindun dan pemuda  itu bergegas masuk ke dalam rumah. Sementara Bangor masih berdiri di  tempatnya, membiarkan hujan di bulan November membasahi tubuh,  hati dan air mata yang jatuh menetes ke pipinya.
Hiks....
Sekian.
Salam Sendu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H