Mohon tunggu...
Budiman Gandewa
Budiman Gandewa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Silent Reader

Bermukim di Pulau Dewata dan jauh dari anak Mertua. Hiks.....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

[8 Tahun Kompasiana] Meninggalkan Mertua, Jauh dari Keluarga dan Menjadi Jomblo Sementara

25 Oktober 2016   18:05 Diperbarui: 25 Oktober 2016   19:19 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karena tuntutan pekerjaan saya terpaksa meninggalkan mertua dan jauh dari keluarga. Tapi saya bukan jombloh merana, karena status saya masih seorang kepala rumah, yang kebetulan memiliki tangga. Singkatnya kepala rumah tangga. Meski di tempat tinggal sekarang, saya resmi menyandang status jombloh sementara.

Saat saya merasa sendiri, serta rindu terhadap keluarga mulai beranak pinak di hati. Bergabunglah saya di Kompasiana pada tanggal 18 Mei 2016. Belum lama sih, tapi paling tidak beraktivitas di Kompasiana sudah cukup untuk menghalau sapi. Eh, sepi.

Banyak sekali hil-hil yang mustahal (RIP: pak Timbul), yang saya dapatkan saat membaca dan menulis di Kompasiana. Untuk itu izinkanlah saya bernyanyi barang sejenak.

...
Tempat bermain,
berteman banyak,
Itulah taman kami,
Taman kanak-kanak.

Lha?

Maksudnya, saya jadi punya teman (tapi tak banyak) di sebuah blog sosial atau media warga yang bernama Kompasiana. Meskipun saya tidak tahu apakah Kompasianer, sebutan akrab untuk anggota Kompasiana lainnya mau menganggap saya temennya.

Kenapa?

Karena teman-teman saya sesama Kompasianer hanya mau menyapa saat saya memposting sebuah artikel. Jika saya menjelma menjadi Knight Rider #preeet. Saya ulangi, jika saya menjelma jadi Silent Reader, mereka mulai melupakan saya.

Buktinya, tak ada satu pun dari mereka yang mau menelepon atau sekedar chat di WA dan menanyakan kabar saya. Contoh, misalnya, andaikata dan umpama...

"Hai, mas Gandewa! Apa kabar, nih? Kok nggak nulis?"

Atau,

"Bro, tulisan ente bagus lho! Nyok tayangin artikel lagi!"

Hiks...

(Pa dahal, suaminya bu dahal. Nak dahal, anaknya bu dahal dan Pa dahal. Memang mereka nggak punya nomer HP saya). #hadeeew

Akhirnya, dengan sangat berat hati, saya biarkan laptop mengunci diri di dalam laci. Alasannya tidak sederhana, karena ini bukan rumah makan padang. Selain saya hanya mengandalkan minat dan bukan bakat, saya tidak bisa setiap hari menayangkan artikel karena keterbatasan waktu luang dan kemampuan.

Jika pemain sepak bola menggantungkan sepatu, sebagai simbolik pensiun dari lapangan hijau. Pemain bulu tangkis menggantungkan raketnya. Maka saya pun mulai menggantungkan handuk di tali jemuran. Sebagai tanda saya mau berhenti menulis.

Toh, tak ada yang meminta saya datang untuk bergabung di Kompasiana. Tak akan ada pula yang nangis sambil guling-gulingan saat saya memutuskan berhenti nulis.

Karena Kompasiana menerima semua kalangan dan profesi untuk berkontribusi menayangkan artikel yang berupa laporan, opini dan karya fiksi.

Tak ada tuntutan dan paksaan, kapan mulai menulis dan kapan waktunya berhenti menulis. Meski tiap anggotanya wajib mematuhi aturan dan persyaratan saat akan memposting sebuah tulisan. Jadi tanpa saya pun, Kompasiana tak akan berubah suasini dan suasananya menjadi seperti di perkuburan. Sepi!

Tapi meskipun saya jarang menulis, saya diam-diam masih membaca semua artikel yang tayang di Kompasiana. Mulai dari artikel yang aktual, inspiratif, menarik dan bermanfaat. Sampai artikel yang mendatangkan mudharat.

(Untuk itu saya mengusulkan kepada Pak Ngadmin dan bu Mimin---sebutan saya untuk admin Kompasiana. Tolong tampilkan Vote: Mudharat, untuk artikel yang tidak bermanfaat) #catet. 

Hihihi....

Nah, ini adalah moment terbaiknya.

Di saat saya sedang membaca artikel di Kompasiana. Saya melihat angka 1 di bagian atas layar Tab saya, yang menandakan ada sebuah message yang masuk di fitur obrolan di jakun. Eh, akun saya.

Jreng...jreng...jreng...!

Sengaja saya selipkan ilustrasi musik pake mulut, untuk mendramatisasi tulisan ini.

Ternyata seorang Kompasianer yang lebih dulu lahirnya dibanding saya, mengirimkan sebuah pesan. Beliau mengapresiasi karya fiksi saya, memberikan sedikit saran, sampai secara tidak langsung memberikan saya arah dan tujuan:

Mengapa kita menulis?

Ya, menerbitkan karya-karya kita di Kompasiana menjadi sebuah buku. Hal yang tak terpikirkan oleh saya sebelumnya. Karena jujur kacang ijo, saya tidak memiliki bakat dalam dunia menulis. Menghasilkan karya fiksi sejak saya bergabung di Kompasiana 5 bulan, 7 hari yang lalu. Sebelumnya hanya suka menulis di kertas selembar. Diremat, lalu dibuang...

Intinya, saya menulis ya, menulis saja. Tanpa mengharapkan apa-apa. Jadi apa yang admin tuduhkan, sangat tidak mendasar. Karena saya tidak melonjak riang saat kali pertama artikel saya diganjar Headline. Saja juga tidak cengar-cengir saat beberapa karya fiksi saya diganjar admin menjadi artikel Pilihan.

Tapi admin benar, ketika menerima message dari Kompasianer lain, saya merasa terharu. Sungguh, terharu!#tissue_mana_tissue. Hiks...

Mengapa orang yang tidak saya kenal mau menghargai karya saya? Tapi kenapa saya sebagi penulis karya tersebut malah mau berhenti menulis? Kenapa..pa...pa...a...a...a. #echo.

Semua pesan yang disampaikan oleh seorang Kompasianer tersebut, secara tidak langsung membangkitkan gairah saya untuk kembali menulis dan menghasilkan sebuah karya. Ya, gairah! Tanpa sedikitpun mengkonsumsi Viagra.

Nah, ini moment yang tak terlupakan.

Dari satu message berlanjut ke message berikutnya. Dengan sabar Kompasianer tersebut membalas semua pesan saya. Sampai beliau mengajak saya bergabung ke dalam satu komunitas penulis di Facebook.

Beberapa penulis yang cukup di kenal di Kompasiana mengirimkan permintaan pertemanan di akun Fb saya. Dari sinilah saya baru menyadari, Kompasiana telah menjembatani orang-orang yang memiliki minat yang sama, untuk saling berhubungan dan berbagi, serta menjalin pertemanan baru sebagai sesama penulis.

Mereka adalah penulis-penulis yang telah menghasilkan banyak karya yang mungkin bermanfaat dan menginspirasi orang lain. Begitu rendah hati, mau menjalin pertemanan dengan saya, meski hanya di dunia Maya. Bukan di dunia Romlah, janda semok nan aduhai yang menjadi salah satu tokoh di Serial Pak Erte yang saya buat. Hihihi....

Saya lalu menggaris bawahi, menulis tanpa menjalin pertemanan. Ibarat sambel yang diulek tanpe terasi. Berteman tanpa berbagi, ibarat samudera luas yang tak bertepi. Karena sejauh apa pun kapal berlayar. Ke dermaga jua ia akan kembali. Kagak nyambung banget, yak!

Pada saat Kompasianival berlangsung dan beberapa Kompasianer membagikan moment tersebut menjadi sebuah artikel. Saya bisa melihat wajah orang-orang yang selama ini mungkin pernah membaca tulisan saya, dan saya pun pernah membaca tulisan mereka.

Keakraban yang terjalin dan mereka perlihatkan diajang kopi darat tersebut, menimbulkan rasa iri. Tapi bukan dengki, lho! Saya pun bertanya dalam hati,

"Kapan saya bisa ikut berpartisipasi?"

Ngopi bareng, ngobrol bareng, selfi, welfi dan ber-haha...hihi... serta bertanya langsung kepada penulis-penulis hebat tersebut (khususnya penulis fiksi), bagaimana cara membuat sambel terasi. #tepokjidat.

Bagaimana caranya bisa menghasilkan sebuah karya fiksi yang bagus. Sebagai bekal untuk saya, seorang penulis pemula yang hanya memiliki minat tanpa bakat dan ujung-ujungnya menulis hanya karena modal nekat.

Nah, ini moment terindahnya.

Message yang dikirimkan oleh rekan Kompasianer tersebut, sengaja saya screenshot lalu saya kirimkan kepada istri saya. Sehingga istri saya pun jadi ikut-ikutan membaca dan mengapresiasi karya fiksi yang saya buat. Mendaulatkan dirinya menjadi asisten pribadi yang akan menilai bagus atau tidaknya tulisan yang telah saya hasilkan.

Bayangkan energi positif yang ditimbulkan oleh sebuah pesan singkat di fitur obrolan, dari seorang Kompasianer senior, yang tidak hanya rendah hati. Tapi juga mau berbagi pengalamannya dan mau membantu saya menerbitkan buku. (Meskipun saya tak tahu pasti, kapan hal itu bisa diwujudkan)

Namun satu hal yang pasti. Dari pesan yang sengaja saya screenshoot tersebut, istri saya jadi tahu, saat saya merasa sendiri dan sepi karena terpisah jarak dan waktu dengan anak-anak  dan istri. Saya tidak hanya sibuk dengan pekerjaan. Tapi juga menyibukkan diri dengan membaca dan menulis di Kompasiana. Maka makin berbahagialah dirinya karena memiliki suami yang tidak hanya setia, pintar mengaji, tapi jago juga dalam menulis cerita fiksi. (Kata istri saya, lho!) hihihi....

Tidak hanya sampai disitu saja, istri saya pun menceritakan dan menunjukkan kepada anak-anak kami artikel-artikel yang saya posting di Kompasiana (Masih menurut istri saya) ada rasa bangga terpancar dari wajah anak-anak saya. Saat searching di google dan mengetik nama 'Budiman Gandewa", keluarlah profil saya lengkap dengan foto 'Babeh' dan 'emaknya'.

Putra tertua saya yang sebentar lagi tamat SMA nyeletuk:

"Wah... Babeh hebat, mak!" Ujarnya pada emaknya. Wkwkwk....

Terakhir, ini saya tambahkan sendiri.

Moment terbahagia selama beraktivitas di Kompasiana.

Saya bahagia karena tulisan saya yang tidak seberapa kualitas dan kuantitasnya, telah menginspirasi anak-anak saya untuk bisa menghasilkan sebuah karya dan mencatatkan namanya sebagai Kompasianer di Kompasiana. Pada suatu masa, di generasi berikutnya.

Sekian.

#terima kasih K-ners, Evi Cardalola yang telah membuatkan saya akun di Kompasiana.

#terima kasih Pak Ikhwanul Halim dan rekan-rekan di RTC.

#terima kasih untuk Kompasiana, admin dan rekan-rekan Kompasianer yang pernah membaca artikel saya.

"Maaf... boleh potong kue ultahnya sekarang?"

Salam Sendu.

(note: Pak dan Bu admin, saya nggak bisa masukin tautan/link, sedangkan tulisan ini saya ikutkan di event 8 tahun kompasiana.)#malu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun