"Bro, tulisan ente bagus lho! Nyok tayangin artikel lagi!"
Hiks...
(Pa dahal, suaminya bu dahal. Nak dahal, anaknya bu dahal dan Pa dahal. Memang mereka nggak punya nomer HP saya). #hadeeew
Akhirnya, dengan sangat berat hati, saya biarkan laptop mengunci diri di dalam laci. Alasannya tidak sederhana, karena ini bukan rumah makan padang. Selain saya hanya mengandalkan minat dan bukan bakat, saya tidak bisa setiap hari menayangkan artikel karena keterbatasan waktu luang dan kemampuan.
Jika pemain sepak bola menggantungkan sepatu, sebagai simbolik pensiun dari lapangan hijau. Pemain bulu tangkis menggantungkan raketnya. Maka saya pun mulai menggantungkan handuk di tali jemuran. Sebagai tanda saya mau berhenti menulis.
Toh, tak ada yang meminta saya datang untuk bergabung di Kompasiana. Tak akan ada pula yang nangis sambil guling-gulingan saat saya memutuskan berhenti nulis.
Karena Kompasiana menerima semua kalangan dan profesi untuk berkontribusi menayangkan artikel yang berupa laporan, opini dan karya fiksi.
Tak ada tuntutan dan paksaan, kapan mulai menulis dan kapan waktunya berhenti menulis. Meski tiap anggotanya wajib mematuhi aturan dan persyaratan saat akan memposting sebuah tulisan. Jadi tanpa saya pun, Kompasiana tak akan berubah suasini dan suasananya menjadi seperti di perkuburan. Sepi!
Tapi meskipun saya jarang menulis, saya diam-diam masih membaca semua artikel yang tayang di Kompasiana. Mulai dari artikel yang aktual, inspiratif, menarik dan bermanfaat. Sampai artikel yang mendatangkan mudharat.
(Untuk itu saya mengusulkan kepada Pak Ngadmin dan bu Mimin---sebutan saya untuk admin Kompasiana. Tolong tampilkan Vote: Mudharat, untuk artikel yang tidak bermanfaat) #catet.Â
Hihihi....