Karena bobot empok Saidah yang nggak kepalang tanggung. Suara jatuhnya bikin kuping pengeng dan menimbulkan getaran 3,5 skala richter. Pak Erte yang duduk di dekat situ, sontak menjadi kaget dan berlari menghambur keluar rumah.
Pikirannya cuma satu, saat itu telah terjadi gempa bumi di wilayah teritorialnya. Sehingga sebagai pejabat tertinggi di lingkungan pemerintahan terendah. Pak Erte kudu sigap dan wajib memberikan peringatan dini kepada warganya agar tanggap terhadap bencana.
Tapi setibanya di pekarangan depan, pak Erte tidak menjumpai sesuatu yang aneh. Kandang ayam masih utuh di tempatnya, tanpa mengalami kerusakan. Karyawan yang menuju ke pabrik jalan berseliweran seperti biasa, tanpa ada sedikit pun tanda-tanda kepanikan.
Kalau pun ada yang aneh, mungkin itu terlihat dari jalannya si Buluk yang agak sedikit sempoyongan. Melihat pemuda itu Pak Erte langsung memanggilnya untuk mencari tempe. Eh, tahu. Kali-kali aja si Buluk yang baru pulang jaga malem merasakan getaran yang sama. Cinta! Hihihi...
"Eh Buluk, sini lu!"Â Panggil Pak Erte, sambil celingukan dan terus memantau keadaan.
Karena yang memanggil adalah Komandan. Buluk dengan sigap, datang menghadap.
"Siap, te! Ada apaan, yak?"Â Tanya Buluk dengan posisi istirahat di tempat. Tapi meskipun sudah bersikap gagah. Tetap saja pijakan kakinya terlihat doyong.
"Barusan, elu ngerasain gempa, kagak?"Â Tanya pak Erte pelan.
"Gempaaa...?" Si Buluk tampak kebingungan.
"Iya. Bumi goyang-goyang gitu!" Pak Erte memberikan penjelasan.
"Waduuh! Kayaknya, iya te. Perasaan setiap ngelangkah, tanah yang gue injek kaga ada yang rata. Makanya jalan gue, jadi sempoyongan. Sekarang aja gue ngeliat muka Pak Erte rada berbayang dan sedikit bergoyang" Jawab Buluk penuh keyakinan.