Mohon tunggu...
Budiman Gandewa
Budiman Gandewa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Silent Reader

Bermukim di Pulau Dewata dan jauh dari anak Mertua. Hiks.....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Pak Erte, Maju Tak Gentar

1 September 2016   13:52 Diperbarui: 1 September 2016   14:14 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Angin berhembus diantara dahan pohon jambu yang tumbuh lebat di pekarangan. Menjatuhkan sehelai daunnya yang kering kecoklatan. Melayang-layang sebentar. Lalu luruh ke tanah.

Sementara seekor ayam jago yang berada di bawah pohon jambu tersebut, tampak asik mematuk jambu air yang banyak berserakan. Beberapa kali ayam tersebut terlihat kebingungan, saat jambu yang dipatuknya nancep di paruhnya.

Pak Erte yang ngga jauh dari tempat itu terlihat gusar. Beberapa kali belio berjalan bolak-balik dari kandang ayam ke pohon jambu. Dari pohon jambu balik lagi ke kandang ayam. Persis kertas poto kopian. Bolak-balik!

Padahal kalau mau diukur-ukur, jarak dari kandang ayam ke pohon jambu cuma tiga langkah lebih dikit. Itu pun karena Pak Erte yang ngukur. Coba kalau Mpok Saidah, istrinya yang ngukur. Hmm...Kaga bakalan ada lebihnya, dah. Pas! Saking meditnya. Hihihi....

Entah apa gerangan yang bikin Pak Erte sangat gusar. Sampai-sampai nggak perduli sama ayam jagonya, yang jalannya sudah mulai doyong. Akibat jambu air yang masih nancep di paruhnya.

Pak Erte baru saja bolak di depan pohon jambu, dan nggak balik lagi ke kandang ayam. Ketika tiba-tiba istrinya nongol dari arah kontrakkan.

"Bang buruan!Orang-orang udah pada nungguin, noh!" Kata istrinya yang tampak antusias.

Melihat kemunculan istrinya yang tiba-tiba. Pak Erte langsung diam di tempat. Sehingga sebutannya nggak lagi bolak-balik. Tapi, bolak dan nggak balik-balik. Bingungkan? Sama! Hihihi...

"Waduuuh...! Pegimana urusannya ini?" Tanya pak Erte pada istrinya.

"Udah terima aje. Ayo...!" Jawab istrinya penuh semangat.

"Tapi..." Pak Erte tampak ragu.

"Udeeh...! Ayo buruan!" Potong Mpok Saideh sambil menarik tangan suaminya dan berjalan bareng ke komplek kontrakkan, yang letaknya ada di belakang rumah.

Sementara ayam jago Pak Erte, dengan jambu air yang masih nancep di paruhnya mulai belingsatan. Bolak-balik dari kandangnya ke pohon jambu. Dari pohon jambu balik lagi ke kandangnya. Akhirnya bolak dan nggak balik lagi ke kandangnya. Saat ayam tersebut larinya kebablasan dan menabrak pohon jambu. Brak!

Ayam jago itu pun terlihat sempoyongan, lalu jatuh ke tanah sambil kelojotan. Berbarengan dengan jambu air yang tanpa sengaja terlepas dari paruhnya. Pluk!

*****

"Bagaimana Pak Erte? Uang dua miliar itu tidak sedikit, lho!" Kata seorang pria dengan pakaian kantorannya, sambil mengeluarkan selembar cek.

"Iya bang banyak! Pegimana ngitungnya, ya pak?" Mpok Saidah langsung nyahut.

Sementara Pak Erte masih dengan diamnya. Matanya yang terlihat berbicara. Memperhatikan muka beberapa pria yang duduk di depannya, juga sebagian orang berbadan tegap mirip body guard. Berdiri mengelilingi mereka.

Diawasinya cek yang ada di tangan orang yang bicara barusan. Lalu memperhatikan wajah istrinya yang udah mulai kelihatan mirip, Hulk. Ijo!

"Udah Bang, terima aje! Mikirin apalagi sih? Lagian rejeki nggak bakalan datang dua kali" Mpok Saidah menyalakan api kompornya.

"Iya Pak Erte, terima!" Penghuni petak nomer 17, ngipasin dari depan pintu kontrakkannya.

"Iya Pak Erte, terima!" Copas penghuni kontrakkan sebelahnya, juga dari depan pintunya.

Orang yang memegang cek tersebut makin bersemangat. Karena banyaknya suara yang mendukung keputusan Pak Erte untuk menerima uang yang ditawarkannya.

"Maaf...! Ngomong-ngomong, kontrakkan Pak Erte ada berapa, ya?" Tanya pria itu penasaran, saat melihat angka-angka yang ada di pintu.

Karena nomor yang dilihatnya acak dan tidak berurutan. Ada yang ditulis 17, ada yang bertuliskan angka 25, 30 dan di pintu kontrakkan paling ujung, malah terlihat nomer 50.

"Sepuluh...!" Jawab Pak Erte singkat.

"Tapi kenapa nomornya sampai 50 Pak Erte?" Tanya orang itu masih penasaran.

"Biar kelihatannya banyak" Jawab Pak Erte sedikit ketus.

Orang tersebut sontak diam dan nggak berani lagi mengeluarkan suaranya. Buluk yang lagi mabuk lem, langsung tertawa mendengar jawaban Pak Erte.

Mpok Saidah bangkit dari duduknya, lalu melepaskan sendal jepit dari kakinya. Dihampirinya buluk yang masih ketawa cekikikan. Lalu mendaratkan Sendal jepit tersebut persis di mukanya si buluk. Ketepluk! Hihihi....

"Bagaimana  Pak Erte? Ini tawaran yang terakhir. Rumah sekaligus tanah dan semua kontrakkan Pak Erte, saya beli seharga dua EM" Pria itu kembali mengajukan tawarannya.

Pak Erte diam sebentar, "Lha, kan tanah yang jadi pabrik sepatu sekarang, udah gue jual. Masak masih kurang juga,sih?" Tanya Pak Erte pada tamunya.

"Justru itu kita mau beli tanahnya Pak Erte lagi, yang kebetulan berbatasan langsung dengan tembok pabrik. Karena produksi meningkat, kita bermaksud memperluas pabrik, Pak Erte. Bagaimana?"

"Udah Bang, terima aje! Mikirin apa lagi sih!" Api biru kompornya Mpok Saidah, mulai menyala lagi.

Pak Erte memikirkan uang dua miliar yang bakalan di terimanya. Lalu membayangkan tanah, yang sudah lama dijualnya. Sebelum berdiri pabrik sepatu, tanah tersebut adalah lapangan bola.

Ingatannya jauh melayang. Kembali ke masa kecilnya. Di tanah lapang itu Pak Erte dan teman-teman kampungnya, menghabiskan hari bermain bola. Mengejar layangan dan segala macam permainan anak lainnya. Di tanah lapang itu, sebelum dijual dan didirikan pabrik sepatu. Almarhum Babeh dan Engkongnya memelihara kambing dan kebo.

Pak Erte ingat betul saat mandi di kali, yang ada di depan rumahnya sehabis bermain bola. Dulu kali tersebut airnya masih jernih. Belum sedangkal sekarang, yang lebih mirip got yang lebar.

Belum lagi saat musim penghujan. Kali tersebut sekarang tidak sanggup menampung curahan hujan yang banyak. Sehingga airnya ngelayap kemana-mana dan menyebabkan perkampungan jadi banjir.

Pak Erte menghela nafas sebentar. Jika rumah dan tanahnya dijual, kemana mereka akan pindah? Lalu siapa yang akan mengkoordinir penduduk kampung, jika ada borongan pekerjaan di Pabrik sepatu dan beberapa pabrik lainnya, yang banyak berdiri di lingkungan RT dia menjabat.

Mbak Jum, janda beranak tiga yang menghuni kontrakkannya. Bisa bekerja di pabrik teh gelas, karena bantuannya. Bang Toyib bisa berjualan bakso di depan pabrik, juga atas persetujuannya sebagai RT.

Belum lagi para pendatang yang sengaja datang dari kampung mengajak saudara-saudara mereka, agar bisa bekerja di pabrik-pabrik yang ada banyak disekitar situ. Atas jaminan dan persetujuan Pak Erte.

sebagai bentuk kompensasi jika Engkongnya mau menjual tanahnya untuk dibangun pabrik. Penduduk di lingkungan sekitar pabrik diberi kemudahan untuk bisa bekerja di pabrik. Perjanjian tersebut berlaku turun temurun. Dari engkongnya, turun ke Babehnya. Dari Babehnya, turun ke Pak Erte.

Lalu, kalau sekarang Rumah dan tanahnya dijual dan dirinya sampai pindah. Perjanjian itu tentu tidak berlaku lagi. Terus, Siapa yang akan membantu penduduk di lingkungan RT-nya bekerja di pabrik? Bagaimana nasib sebagian orang yang semuanya menggantungkan hidupnya di pabrik? Kenangan-kenangan indah di waktu kecil pak Erte, nggak bisa di ukur dengan duit Dua Milyar.

Pak Erte berdiri dari duduknya, tanpa mengucapkan sepatah kata. Langsung masuk ke dalam rumah dari pintu belakang. Meninggalkan orang-orang yang tampak kebingungan.

Tidak lama kemudian Pak Erte kembali ke tempat semula, menemui orang-orang yang masih menunggu keputusannya.

Mpok Saidah memperhatikan penampilan suaminya dari ujung kaki ke ujung rambut. Pak Erte memakai peci hitam, dengan stelan celana hitam setengah tiang dan gesper besar melilit pinggangnya.

Pak Erte berdiri gagah di hadapan tamu-tamunya. Kakinya terpentang lebar, kedua tangannya memegang kedua ujung sarung yang menjuntai dari lehernya.

"Tanah ini kaga gue jual!" Pak Erte berkata tegas, dengan sorot mata tajam memandang ke arah orang-orang berbadan tegap, yang beringsut mendekatinya.

"Buluk...!" Suara Pak Erte terdengar keras menggelegar.

Beberapa penghuni kontrakkan yang sejak tadi kepoh dan menjadi tukang kipas api kompornya, Mpok Saidah. Satu persatu mulai menutup pintu kontrakkan. Gubrak! Gedubrak! Klontaaang...!

(bunyi yang terakhir adalah suara panci yang jatuh dari gantungan. Akibat dari kerasnya bantingan pintu kontrakkan) Hihihi...

"Siap Pak Erte!" Jawab buluk sambil berdiri. Agak sedikit doyong. Efek dari menghisap lem Aibon.

"Ambilkan Golok di dalem rumah!" Pak Erte melanjutkan perintahnya.

Orang-orang berbadan tegap yang tadi sempat bergerak maju. Mendadak ciut. Mereka saling pandang satu sama lain. Cerita Pak Erte sebagai Jawara Kampung Pinggir Kali, tampak nyata di depan mata dan bukan hisapan jempol belaka.

"Goloknya, Pak Erte!" Buluk nongol dengan golok di tangan.

Pak Erte segera menyambutnya, sambil melangkah maju tak gentar. Tanpa di komando para body guard berbadan tegap, langsung lenyap bagai disulap. Ngacir meninggalkan bossnya, yang terduduk lemas.

Pak Erte mengeluarkan golok dari sarungnya. Melihat hal tersebut. Tamunya langsung lari terbirit-birit, pontang-panting, gradak-gruduk. Nyungsep!

"Baaang...! Mau ngapain?" Teriak istrinya histeris, saat melihat Pak Erte mencabut goloknya.

"Mau nyembelih si Jago, mumpung belum koit" Jawab Pak Erte. Lalu berjalan ke tempat ayam jagonya yang masih kelojotan.

Meningggalkan Mpok Saidah, yang meratapi selembar cek yang masih kosong melompong. Hadeeew...!

(Selesai)

Salam Sendu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun