Tidak lama kemudian Pak Erte kembali ke tempat semula, menemui orang-orang yang masih menunggu keputusannya.
Mpok Saidah memperhatikan penampilan suaminya dari ujung kaki ke ujung rambut. Pak Erte memakai peci hitam, dengan stelan celana hitam setengah tiang dan gesper besar melilit pinggangnya.
Pak Erte berdiri gagah di hadapan tamu-tamunya. Kakinya terpentang lebar, kedua tangannya memegang kedua ujung sarung yang menjuntai dari lehernya.
"Tanah ini kaga gue jual!"Â Pak Erte berkata tegas, dengan sorot mata tajam memandang ke arah orang-orang berbadan tegap, yang beringsut mendekatinya.
"Buluk...!" Suara Pak Erte terdengar keras menggelegar.
Beberapa penghuni kontrakkan yang sejak tadi kepoh dan menjadi tukang kipas api kompornya, Mpok Saidah. Satu persatu mulai menutup pintu kontrakkan. Gubrak! Gedubrak! Klontaaang...!
(bunyi yang terakhir adalah suara panci yang jatuh dari gantungan. Akibat dari kerasnya bantingan pintu kontrakkan) Hihihi...
"Siap Pak Erte!" Jawab buluk sambil berdiri. Agak sedikit doyong. Efek dari menghisap lem Aibon.
"Ambilkan Golok di dalem rumah!"Â Pak Erte melanjutkan perintahnya.
Orang-orang berbadan tegap yang tadi sempat bergerak maju. Mendadak ciut. Mereka saling pandang satu sama lain. Cerita Pak Erte sebagai Jawara Kampung Pinggir Kali, tampak nyata di depan mata dan bukan hisapan jempol belaka.
"Goloknya, Pak Erte!"Â Buluk nongol dengan golok di tangan.