Mohon tunggu...
Budiman Gandewa
Budiman Gandewa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Silent Reader

Bermukim di Pulau Dewata dan jauh dari anak Mertua. Hiks.....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Sebelum Janur Kuning Melambai

14 Agustus 2016   17:55 Diperbarui: 15 Agustus 2016   16:31 548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perasaan mata ini belum lama meremnya, tahu-tahu sudah mesti melek lagi. Gara-garanya kupingku mendengar suara ribut-ribut dari ruang makan. Entah apa yang diomelin Babeh, langsung aja disahutin Enyak. Apa juga yang disahutin Enyak, buru-buru ditimpalin Babeh.

Rameee, banget! Persis kutilang yang ketemu pasangannya. Cicit-cuit, bunyi suaranya. Padahal hari masih pagi, embun belum lah lama pergi. Matahari pun belum beranjak tinggi. Meski bunga-bunga sudah mekar dan mewangi. Ceileee! Hehehe.....

Aku langsung bangun dan menghampiri keduanya,sambil menguap panjang karena memang belum kenyang tidurnya.

"Nih dia orangnya, omelin sono!" perintah Enyak pada Babeh, begitu melihat tampangku yang kusut.

Dengan sebelah kaki berpijak di bangku yang didudukinya, serta pangkal sikut bertumpu di atas lutut, Babeh mulai memasang tampang angkernya. "Elu aja dah yang ngomelin" kata Babeh sembari melihat Enyak dan menurunkan kembali kakinya ke lantai. 

"Lha, kok aye sih, beh?" Abang kan sesama lelaki, pan enak ngomonginnya," protes Enyak.

"Hihihi..." aku cuma ketawa dalam hati melihat kelakuan keduanya.

"Eh, Marlin Munruuu... Elu kan belon cerita apa-apa ke gue," Babeh memonyongkan mulutnya.

"Belon, ya?" Enyak nyengir kuda karena dipangil dengan nama bintang pilem, lalu bangkit dari duduknya. Merapikan lilitan sarung di pinggangnya, kemudian duduk lagi. "Begini..." Enyak memulai ceritanya, sambil melihat ke arahku.

"Barusan di warung aye ketemu ama Rohaye, istrinya si Jukih. Katanya semalem elu main ke rumahnya, ngobrol sama si Anu, siapa nama anaknya...?" Enyak emang kebiasaaan, setiap lupa nama orang yang disebutnya pasti 'si Anu'.

"Hamidah, nyaaak..." aku langsung menyebut nama yang dimaksud, biar Enyak nggak kelamaan mikirnya.

"...Iya si Mideh. Katanya lagi, pas elu balik dari rumahnya, anaknya langsung mewek masuk kamar dan nggak mau keluar sampe pagi. Emang lu apain sih, anak orang, sampe segitunya?"

"Lha, kok aku yang disalahin sih, nyak?" jawabku, sambil duduk di sebelah Babeh.

"Eh, codot. Berdasarkan yang gue denger barusan dari Enyak lu. Setan budek juga tahu kalau anaknya si Jukih yang demplon itu, nangisnya gegara elu!" Babeh nimpalin lagi, sambil melirik Enyak.

"Sudah-sudah, nggak usah diterusin lagi. Empeeet...!" Enyak yang mengerti arti lirikan Babeh, langsung hengkang ke dapur. Emang beliau rada sensi kalau mendengar kata 'demplon' yang barusan disebut Babeh. Soalnya dari perawan sampe sekarang, bodi Enyak lebih mirip gentong. Hihihi...

"Mau bikinin kopi, yak," Canda Babeh sambil mencolek pinggang Enyak, yang melewatinya.

"Mau ambil ulekan," jawab Enyak, keki.

"Ulekan? Waduuh, bilangin ama Enyak, lu. Babeh mau ke rumahnya Pak Erwe, ngurusin tanah. Daripada benjol.

"Enyaaak, Babeh kabuuur...!" teriakku sambil tertawa terpingkal-pingkal. Hahaha....

*****

Lepas Isya' aku sengaja menunggu Hamidah di jalan yang menuju ke arah musholla. Soalnya takut kejadian semalam terulang lagi, kalau aku nyamperin ke rumahnya. Tidak lama kemudian aku melihat sosok gadis itu keluar dari musholla, dan langsung ku ajak pergi ke Pos Hansip yang ada di ujung jalan.

"Elu yakin mau nikah sama Bang Sanip?" aku langsung bertanya, saat kami sudah duduk di dalam Pos Hansip.

Gadis itu cuma menggeleng, dengan kepala yang tertunduk.

"Kenapa nggak ngomong aja, kalau emang nggak mau?"

"Midah takut durhaka, bang"

"Durhaka? Maksud kamu Si Malin Kundang?"

Untuk yang kedua kalinya, Hamidah menggelengkan kepalanya yang masih tertunduk.

"Sekali lagi kamu geleng-geleng, abang kasih hadiah payung!" candaku, bermaksud menghiburnya.

Gadis itu tertawa renyah, meskipun akau tahu hatinya gundah.

"Kalau Midah nggak nurutin perintah orang tua, entar Midah berdosa, Bang. Kata ustad, itu namanya durhaka." 

"Sayaang, itu namanya menyakiti perasaan kamu sendiri, kamu kan nggak cinta sama Bang Sanip."

"Lagian semua orang juga tahu, kalau Bang Sanip itu bandar narkoba."

"Iya bang, tapi Bang Sanip juga ngomong sama orang tua Midah. Sehabis nikah dia mau bertobat dan mengajak kami semua pergi haji ke Mekkah"

"Itu dosa juga namanya, masak pergi haji pakai duit hasil jual narkoba."

"Saya ngerti, Bang. Tapi Enyak sama Babeh tetap nyuruh Midah nikah sama Bang Sanip."

"Kamu nggak cinta, sama abang?" tanyaku tiba-tiba.

Gadis itu mengangkat kepalanya, lalu menatapku dengan sayu. Wajahnya yang cantik berubah menjadi sendu.

"Midah sayang sama abang. Kalau nggak takut durhaka sama orang tua, Midah pengennya nikah sama abang."

"Kamu serius...?" aku coba meyakinkan.

Gadis itu mengangguk. Lalu kembali menundukkan kepalanya, sembari menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah. Segera saja kugenggam jemari tangan gadis tersebut. lalu menatap bulan, yang melengkung sabit. Selarik cahaya berekor, melintas di langit malam, seiring do'a yang kupanjatkan di dalam hati.

*****

"Aapaaa?" Kaga salah denger kuping gue?" seru Babeh dengan mata melotot, saat aku memintanya untuk melamar Hamidah.

Sementara Enyak menghela nafas panjang. "Elu serius mau kawin sama si anu...?" tanyanya, seperti meragukan keinginanku. Aku menganggukkan kepala, sambil memandang keduanya bergantian.

"Tapi yang Enyak denger dari orang-orang. Si anu, aduuh..., siapa namanya? Udah dilamar ama Si Sanip?" Enyak melanjutkan perkataannya.

"Tapi dia nggak mau kawin sama Bang Sanip, Nyak. Itulah kenapa waktu aku ke rumahnya. Midah nangis-nangis, karena meminta aku segera melamarnya," aku berusaha meyakinkan keduanya.

"Tapi demenan lu, udah dilamar orang, codot!" Babeh menimpali.

"Babeh lupa yah, sama semboyan Babeh saat mau merebut Enyak yang udah dijodohin sama orang lain. 'Selama janur kuning belum terpasang dan melambai ditiup angin. Kita masih punya harapan untuk memiliki orang yang kita cintai' begitu kan, Nyak..." Kataku, sambil melihat ke arah Enyak.

"Hihihi..." Enyak cekikikan.

"Gimana, Beh?" tanyaku kemudian.

"Yah, mau pegimane lagi. Perawan gentong aja kita perjuangin, apalagi perawan demplon," Babeh ketawa ngakak.

"Babeeeh...!"Enyak berteriak sewot.

*****

Akhirnya, hari yang menyakitkan itu datang juga. Babeh dan Enyak sudah sejak tadi menungguku berpakaian. Tapi aku sengaja berlama-lama, karena males diajak menghadiri acara ijab kabulnya, Hamidah dan Bang Sanip.

Apalagi sejak lamaranku ditolak oleh orang tuanya Hamidah, aku lebih banyak mengurung diri di kamar. Dan memilih tenggelam, dalam kesedihan yang mendalam (katanya, Naff). Hiks...!

"Eh codot, buruan. Babeh ini jadi saksinya, pan kaga enak kalau datengnya telat!" seru Babeh dari luar kamar.

"Iya Beh, bentar!" sahutku ogah-ogahan.

"Pada ngapain sih, lama beneer...!" teriak Enyak dari pekarangan.

"Tauk nih, anak lu. Mau gantung diri kali...!" Babeh mulai ngaco.

Sambil bersungut-sungut, aku keluar dari kamar dan bergegas mengikuti keduanya menuju ke rumahnya Hamidah.

Sesampainya di sana, aku langsung menjadi pusat perhatian. Semua undangan yang hadir, menatap ke arahku sambil kasak-kusuk satu sama lain. Aku jadi malu sendiri, jangan-jangan kisah percintaan antara aku dan Hamidah ini, nangkring di Rubrik Pilihan atau malah distempel Headline. hihihi....

Tapi apa boleh buat, aku sudah terlanjur duduk di bawah tenda dan bersikap pasrah, meski dijadikan bahan pembicaraan oleh tamu undangan, yang tidak kebagian tempat di dalam.

"Nasi sudah menjadi, rengginang..." batinku, sambil berusaha menguatkan perasaan.

"Eh codot, sini lu!" tiba-tiba Babeh memanggilku dari pintu.

Aku tidak menggubris Babeh, yang menyuruhku masuk ke dalam rumah. Sementara tamu undangan yang berada di bawah tenda dan tersebar di pekarangan, kembali melihat ke arahku.

"Mau kemari ga, lu!" sekali lagi Babeh memanggilku, sambil mengacungkan tinjunya ke arahku.

Babeh emang kelewatan, tega-teganya mau bikin malu anaknya sendiri. Di tengah hajatan Hamidah lagi. Daripada Babeh tambah ngaco, akhirnya aku melangkahkan kaki juga mendekatinya.

Di depan pintu, aku menghentikan langkah. Seketika orang-orang yang berada di dalam rumah, menghunjamkan pandangannya ke arahku. Aku membalas tatapan mereka, sambil tersenyum, pahit.

Sementara di tengah-tengah ruangan, Hamidah duduk bersimpuh di depan penghulu dan Babehnya. Kebaya yang dikenakannya begitu indah, serasi dengan kerudung yang menutupi sanggul di kepalanya. Seulas senyum tersungging di bibir Hamidah, ada kebahagiaan terpancar di wajahnya yang terlihat semakin cantik.

Senyum itulah yang 'menarikku' masuk ke dalam rumah. Tiba-tiba Enyak berdiri menyambutku, dibimbingnya langkahku, tepat di samping gadis itu. Enyak langsung menyuruhku duduk. Aku memandang bingung ke wajahnya, tapi Enyak terus memaksku duduk di samping Hamidah.

"Baiklah, berhubung mempelai prianya sudah hadir, kita langsung saja memulai acara akad nikahnya," terdengar suara penghulu dari pengeras suara memenuhi ruangan. Sementara aku masih dalam kebingungan dan mencari-cari sosok Bang Sanip.

Babeh Jakih langsung menyalami tanganku, dengan genggaman erat.

"Saya nikahkan engkau, Entong bin Sadelih, dengan ananda Hamidah binti Marzuki, dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar, tuu..nai!" Babeh Jukih, menggerakkan tangannya dan aku langsung menjawabnya...

"Saya terima nikahnya Hamidah binti Marzuki dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai!" jawabku mantap.

"Bagaimana saksi, sah...?" suara penghulu melalui pengeras suara terdengar lagi memenuhi ruangan, hingga sampai ke pekarangan.

"Saaah...!" jawab saksi dan undangan lainnya serempak.

Ah...

Aku tidak mengerti mengapa jalan cerita ini berubah pada akhirnya, dan kenapa juga aku yang menjadi pengantin prianya. Tapi seperti kata Hamidah, aku hanya menuruti perintah orang tua. Menikah itu ibadah dan aku tidak mau disebut anak durhaka.

(Selesai)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun