Di depan pintu, aku menghentikan langkah. Seketika orang-orang yang berada di dalam rumah, menghunjamkan pandangannya ke arahku. Aku membalas tatapan mereka, sambil tersenyum, pahit.
Sementara di tengah-tengah ruangan, Hamidah duduk bersimpuh di depan penghulu dan Babehnya. Kebaya yang dikenakannya begitu indah, serasi dengan kerudung yang menutupi sanggul di kepalanya. Seulas senyum tersungging di bibir Hamidah, ada kebahagiaan terpancar di wajahnya yang terlihat semakin cantik.
Senyum itulah yang 'menarikku' masuk ke dalam rumah. Tiba-tiba Enyak berdiri menyambutku, dibimbingnya langkahku, tepat di samping gadis itu. Enyak langsung menyuruhku duduk. Aku memandang bingung ke wajahnya, tapi Enyak terus memaksku duduk di samping Hamidah.
"Baiklah, berhubung mempelai prianya sudah hadir, kita langsung saja memulai acara akad nikahnya," terdengar suara penghulu dari pengeras suara memenuhi ruangan. Sementara aku masih dalam kebingungan dan mencari-cari sosok Bang Sanip.
Babeh Jakih langsung menyalami tanganku, dengan genggaman erat.
"Saya nikahkan engkau, Entong bin Sadelih, dengan ananda Hamidah binti Marzuki, dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar, tuu..nai!"Â Babeh Jukih, menggerakkan tangannya dan aku langsung menjawabnya...
"Saya terima nikahnya Hamidah binti Marzuki dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai!"Â jawabku mantap.
"Bagaimana saksi, sah...?" suara penghulu melalui pengeras suara terdengar lagi memenuhi ruangan, hingga sampai ke pekarangan.
"Saaah...!" jawab saksi dan undangan lainnya serempak.
Ah...
Aku tidak mengerti mengapa jalan cerita ini berubah pada akhirnya, dan kenapa juga aku yang menjadi pengantin prianya. Tapi seperti kata Hamidah, aku hanya menuruti perintah orang tua. Menikah itu ibadah dan aku tidak mau disebut anak durhaka.