"Iya Beh, bentar!" sahutku ogah-ogahan.
"Pada ngapain sih, lama beneer...!" teriak Enyak dari pekarangan.
"Tauk nih, anak lu. Mau gantung diri kali...!" Babeh mulai ngaco.
Sambil bersungut-sungut, aku keluar dari kamar dan bergegas mengikuti keduanya menuju ke rumahnya Hamidah.
Sesampainya di sana, aku langsung menjadi pusat perhatian. Semua undangan yang hadir, menatap ke arahku sambil kasak-kusuk satu sama lain. Aku jadi malu sendiri, jangan-jangan kisah percintaan antara aku dan Hamidah ini, nangkring di Rubrik Pilihan atau malah distempel Headline. hihihi....
Tapi apa boleh buat, aku sudah terlanjur duduk di bawah tenda dan bersikap pasrah, meski dijadikan bahan pembicaraan oleh tamu undangan, yang tidak kebagian tempat di dalam.
"Nasi sudah menjadi, rengginang..."Â batinku, sambil berusaha menguatkan perasaan.
"Eh codot, sini lu!" tiba-tiba Babeh memanggilku dari pintu.
Aku tidak menggubris Babeh, yang menyuruhku masuk ke dalam rumah. Sementara tamu undangan yang berada di bawah tenda dan tersebar di pekarangan, kembali melihat ke arahku.
"Mau kemari ga, lu!" sekali lagi Babeh memanggilku, sambil mengacungkan tinjunya ke arahku.
Babeh emang kelewatan, tega-teganya mau bikin malu anaknya sendiri. Di tengah hajatan Hamidah lagi. Daripada Babeh tambah ngaco, akhirnya aku melangkahkan kaki juga mendekatinya.