Dimas bangun pagi. Matanya jelalatan kesana kemari, mulai dari laci, Di bawah meja, kursi sampai mengacak-acak isi lemari. Tapi apa yang dia cari, tak kunjung di temui.
"Ditaruh dimana, yah...?"Â Tanyanya dalam hati. "Ah, mungkin disini..."Â Pikirnya lagi. Dimas lalu mengeluarkan isi tas Dinda, kakaknya, sampai didapatkan apa yang dicarinya. Sebotol minyak wangi.
Prat, pret, prooot...
Dimas menyemprotkan minyak wangi seenak udelnya. Apalagi disemprotan terakhir, agak lama mencetnya, prooot....Kan  bau 'kabel', alias kaga beli. Lagian Dinda punya cowok anak orang kaya. Istilah kakaknya, 'tinggal disindir, langsung beli'. Hehehe.....
"Ngga percaya, lu...?" kata kakaknya suatu hari, saat melihat keraguan adiknya. Masak ada orang yang sampe segitunya. Tinggal 'disindir, langsung beli'. "N'tar malem kita buktiin..."Â Katanya lagi waktu itu.
Al hasil, jam tujuh malem, saat Mas Seto pacar kakaknya datang. Dimas molor mingsep, mirip ingus. Jijay, deh...
Dari dalam rumah ke pager depan, masuk lagi ke rumah, terus keluar lagi, sambil  celingukan sesekali,  di pager depan rumah. Padahal rumah mereka nyempil di ujung komplek, ngga bakal ada yg lewat. Satpam komplek aja, ogah.
"Sayang... nunggu apaan, sih?" Tanya Dinda, yang lagi beduaan ama Mas Seto di teras.
Dimas pengen cekikikan, karena dari sore dia, dan kakaknya sudah merencanakan 'aksi jahat' ini. Apalagi pake acara panggil-panggil 'sayang' segala, lebay ah, Pa dahal (suaminya) bu dahal, na dahal (anaknya) bu dahal dan Pa dahal, kalau ngga ada mas Seto, manggilnya kan Elu-gue aja. Hihihi....
Dimas menggaruk kepalanya, yang ngga gatel. "A..anu kak, tukang sate jam berapa biasa lewat, yah...?" Dimas pura-pura nanya, sambil melirik ke arah mas Seto.
Yang dilirik tanpa basa-basi langsung nyahut "Dimas, mau makan sate? Ya udah, gimana kalau kita pergi makan di luar?" Tanya mas seto, lalu melihat ke arah dinda, seperti minta persetujuan.