Fee for service (Biaya untuk Layanan)
Model fee for service dari wirausaha sosial mengomersialkan layanan sosialnya, dan kemudian menjualnya langsung ke kelompok masyarakat sasaran atau kepada pihak ketiga pembayar. Model fee for service biasanya menggunakan prinsip program sosial adalah bisnis, misi utamanya untuk memberikan layanan sosial di sektor kerjanya, seperti kesehatan atau pendidikan. Wirausaha sosial mencapai swasembada keuangan melalui biaya yang dibebankan untuk layanan.Â
Penghasilan ini digunakan sebagai mekanisme pemenuhan kebutuhan biaya bagi organisasi untuk memberikan layanan, pemenuhan kebutuhan operasional bisnis, dan pemasaran terkait dengan komersialisasi layanan sosial. Keuntungan bersih dapat digunakan untuk mensubsidi program-program sosial yang tidak memiliki komponen pemulihan biaya built-in.
Fee for service adalah salah satu model wirausaha sosial yang paling umum digunakan di lembaga nonprofit. Layanan rumah sakit, klinik, sekolah, keanggotaan organisasi, dan asosiasi perdagangan adalah contoh khas wirausaha sosial dengan konsep fee for service.Â
Sebagai contohnya, Universitas membebankan biaya kuliah untuk digunakan penyediaan layanan pendidikannya, gaji dosen dan profesor, dan pemeliharaan bangunan. Namun, biaya dari siswa tidak mencukupi untuk mendanai pembangunan fasilitas baru atau penelitian akademis universitas. Oleh karena itu, Universitas menambah penghasilan kuliah melalui kerjasama dengan perusahaan untuk memberikan layanan lain, seperti penelitian ilmiah, konsultan, pengembangan farmasi dan teknologi.
Low Income Client (Klien Berpenghasilan Rendah)
Low Income Client sebagai model pasar dari wirausaha sosial adalah variasi pada model fee for service, yang melayani kelompok masyarakat sasaran dengan menjual barang atau jasa. Penekanan model ini adalah menyediakan akses masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah ke produk dan layanan di mana harga tidak terjangkau oleh kelompok masyarakat tersebut. Contoh produk dan layanan yang termasuk pada layanan ini, antara lain layanan kesehatan (vaksinasi, obat, operasi), produk kesehatan dan kebersihan (garam beriodium, sabun, kacamata, alat bantu dengar), layanan kebutuhan sehari-hari seeprti (listrik dan air), dan lain sebagainya.
Masyarakat berpenghasilan rendah ini dilihat sebagai target dalam pasar digambarkan sebagai mereka yang tinggal di "pangkalan piramida." Segmen ini mewakili kondisi sosial-ekonomi dari 4 miliar orang yang hidup terutama di negara-negara berkembang dan yang pendapatan per kapita setiap tahun di bawah $1500Â Purchasing Power Parity (PPP) dan pendapatan per hari kurang dari $5. Orang-orang dalam kelompok pendapatan ini ironisnya dapat membayar hingga 30% lebih besar untuk produk dan layanan yang sama jika dibandingkan dengan konsumen berpenghasilan menengah.
Model wirausaha sosial ini diterapkan dalam kegiatan yang menyediakan akses terhadap produk dan layanan yang meningkatkan kesehatan, pendidikan, dan kualitas hidup.Â
Penghasilan diperoleh dari penjualan produk dan layanan, kemudian digunakan untuk menutupi biaya operasional, biaya pemasaran dan distribusi. Namun, karena rendahnya pendapatan kelompok masyarakat sasaran dalam "Low Income Client sebagai model bsinis", pencapaian aspek keuangan dapat menjadi tantangan tersendiri. Wirausaha sosial ini harus mampu melakukan pengembangan sistem distribusi kreatif, menurunkan biaya produksi dan pemasaran, mencapai efisiensi operasional yang tinggi, mensubsidi silang pasar berpendapatan tinggi ke pasar yang memerlukan subsidi. Layanan kesehatan, pendidikan, dan penyedia teknologi sering menggunakan konsep ini.
Contohnya adalah Klinik Asuransi Sampah kami yang menyediakan layanan kesehatan untuk masyarakat dengan pendapatan rendah. Masyarakat yang tidak mampu cukup membayar premi asuransi sampah senilai 10.000 rupiah.