Peningkatan sektor pariwisata yang didukung oleh angkutan udara yang handal dan berkualitas
Jatuhnya harga minyak pada tahun 1986 dari kisaran harga $ 30 per barel menjadi hanya sekitar $ 10 per barel merupakan sebuah pukulan telak bagi Indonesia yang selama berpuluh-puluh tahun, menggantungkan minyak sebagai sumber devisa utama.
Menurunnya penerimaan negara dari sektor minyak memicu pemerintah untuk secara intensif melakukan langkah-langkah antisipatif dengan mencari sumber-sumber lain keuangan Negara selain migas. Pemerintah melakukan perubahan di berbagai bidang melalui langkah deregulasi perekonomian antara lain deregulasi perpajakan, pelabuhan dan angkutan laut termasuk deregulasi di bidang angkutan udara dimana awalnya dinamakan "partial open sky" dengan membuka Bali, Denpasar sebagai pintu masuk wisatawan ke Indonesia disamping Jakarta sebagai ibukota negara.
Namun penerapan " limited open sky" tersebut berdampak pada maskapai penerbangan nasional yang notabene belum siap bersaing di pasar global, sehingga pelan tapi pasti, mulai mengalami sesak nafas. Bahkan Garuda Indonesia yang pada awalnya dianggap kuat dan mapan, tak urung akhirnya mengalami kerugian di tahun 1993. Namun segala sesuatu memang harus dilihat konteksnya secara luas. Apakah kebijakan untuk mendukung sektor pariwisata tersebut sebagai penyebab kerugian maskapai nasional? Kalau kita menyikapinya secara arif dan bijaksana, maka jawabannya "bisa ya, bisa tidak". Namun kalau melihat pada misi yang diemban oleh airline nasional, yaitu disamping menghubungkan keseluruh propinsi dari dan ke seluruh kota-kota di Indonesia, juga berkewajiban mendukung program pemerintah di bidang pariwisata dan ekspor non migas. Jadi jelas, bahwa industri penerbangan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari industri pariwisata. Hanya memang, idealnya suatu kebijakan hendaknya diterapkan secara bertahap, sehingga airline nasional lebih siap dalam menghadapi persaingan. Apakah sektor pariwisata bisa disalahkan? Jawabannya "tidak", karena keduanya sama-sama untuk kepentingan Nasional. Seperti hukum sebab akibat, sesuatu terjadi karena ada kejadian yang lainnya. Ada istilah "cross subsidi", dimana meskipun ada suatu sektor yang mengalami kerugian namun "end result" secara keseluruhan tetap tercapai. Terpenting adalah agar masing-masing sektor fokus pada tugasnya, dimana pelaku angkutan udara diharapkan terus membantu pasokan wisatawan sebanyak-banyaknya ke setiap DTW di seluruh Indonesia. Sedangkan sektor pariwisata berkewajiban untuk mempromosikan, menjual dan menjaga potensi wisata yang ada dalam rangka membantu penerimaan devisa negara.
Meskipun pemerintah terus giat menggali alternatif lain selain migas, posisi migas masih menjadi tulung punggung untuk menggerakkan roda perekonomian Negara. Kebetulan saat itu tingkat konsumsi minyak domestik masih belum tinggi sehingga ekspor surplus migas masih terus berjalan hingga beberapa puluh tahun kemudian.
Keberhasilan sektor pariwisata Indonesia seakan menjadi penyejuk ditengah menurunnya ekspor migas dan menjadikan sektor ini sebagai primadona baru setelahi migas. Untuk lebih mengembangkan sektor ini, maka beberapa bandar udara di tanah air semakin diperlebar, dibangun dan diubah menjadi bandara Internasional. Tentunya dengan satu tujuan, yaitu untuk memberikan peluang lebih banyaknya wisatawan manca negara masuk ke Indonesia, langsung ke daerah tujuan wisata yang ada di Indonesia. Kota-kota yang bandaranya dikembangkan selain Jakarta dan Denpasar antara lain, Medan, Pontianak, Pekanbaru, Manado, Ambon, Biak, Padang, Surabaya, Batam, Ujung Pandang, Banda Aceh, Bandung, Mataram dan lain-lain. Hingga saat ini total seluruh bandara yang ditetapkan sebagai Bandar udara Internasional berjumlah 27 bandara (SKep Menhub No : KM.44 Tahun 2002 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional) dengan tujuan agar perusahaan penerbangan baik domestik maupun asing memperoleh kemudahan akses penerbangan ke/dari luar negeri secara langsung. Terbukanya banyak bandara di Indonesia tersebut, menjadikan ruang udara Indonesia menjadi semakin terbuka dan bebas, sehingga kesiapan maskapai nasional untuk bersaing secara global sangat menentukan. Tanpa bermaksud mempersoalkan tentang kebijakan tersebut, namun jika kita bandingkan dengan kebijakan negara lain seperti Amerika Serikat dan Eropa, dimana sebagai perwujudan dari sebuah negara liberal, ternyata keduanya masih menganut sistem pre-kompetitif, dimana dalam perjanjian udaranya senantiasa menekankan adanya perundingan yang adil (win win solution), namun sepanjang tidak merugikan airline domestiknya. Hal tersebut dapat diartikan bahwa, proteksi di sebuah negara liberal masih tetap ada, dengan maksud untuk tetap menjaga kepentingan nasionalnya.
Pada bulan Maret 2004, masa masa ke-emasan minyak dan gas bumi sebagai penyumbang devisa negara pun akhirnya mengalami antiklimaks, dimana Indonesia yang semula merupakan importir minyak, telah berubah menjadi "a net crued oil importer" karena tingkat konsumsi berbanding lebih besar daripada tingkat produksinya. Pada bulan tersebut rata-rata volume impor per hari telah meningkat mencapai 484.000 barrel,sedangkan volume ekspor rata-rata hanya sebesar 448.000 barrel, jadi minus 36.000 barrel per hari. Kondisi defisit minyak ini masih berlangsung hingga saat ini sehingga pemerintah mau nggak mau harus terus menggenjot penerimaan devisa dari sektor non migas. Mungkin karena alasan inilah, per Januari 2009, Indonesia secara resmi keluar dari keanggotaan OPEC, setelah bergabung selama 47 tahun atau tepatnya sebagai anggota OPEC sejak tahun 1962.
Peningkatan penumpang dan perusahaan penerbangan; Era Low Cost Airlines
Meningkatnya populasi penduduk secara tidak langsung berdampak positif terhadap pertumbuhan penumpang angkutan udara. Namun instabilitas perekonomian dunia dan tingginya harga avtur yang sempat menyentuh level psikologis $ 100/bbl, secara signifikan sangat mempengaruhi industri penerbangan, sehingga lahirlah konsep "Low Cost Carriers (LCCs)" yang di negara maju dikenal dengan sebutan "Legacy Carriers" yaitu sebuah bentuk ideal yang mempertemukan pihak konsumen sebagai "buyer" dan operator sebagai "seller" pada tingkat harga yang sesuai dengan daya beli masyarakat.
Di Indonesia sendiri, awal tumbuhnya low cost carrier adalah bertujuan menciptakan pasar yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat dengan membagi rute-rute yang pasarnya belum potensial. Agar tidak mengalami kerugian, maka low cost carrier tersebut harus mere-enginering bisnisnya dengan menyesuaikan seluruh biaya operasionalnya menjadi berbiaya rendah, tentunya tanpa mengabaikan sisi keamanan, keselamatan dan pelayanan penerbangan. Beberapa biaya yang sulit untuk ditekan karena sifat pembebanannya sama kepada setiap operator adalah harga avtur, biaya bandara, beban pajak serta asuransi. Itulah PR yang harus diselesaikan oleh LCC Domestik agar eksistensinya tetap terjaga. Intinya adalah "Low Cost=Low Resources=Low Fares". Namun tampaknya, sekarang telah terjadi pergeseran, dimana LCC adalah penerbangan yang bertarif murah dan bebas menerbangi seluruh rute yang ada, baik potensial maupun tidak, baik kapasitasnya sudah maksimum atau tidak. Istilahnya, "disitu ada gula, disitu ada semut", sehingga hasilnya sangat mudah ditebak. Dan yang paling penting lagi, esensi pemerataan dalam pembangunan seakan jauh panggang dari api.
Maraknya low cost airline di Indonesia dimulai pada tahun 2001, dimana ditandai dengan mulai bermunculannya perusahaan perusahaan penerbangan baru seperti, Lion Airlines pada bulan Juni 2000, disusul Kartika bulan Mei 2001, Batavia bulan Januari 2002, Wings Air bulan Juni 2003, Adam Air bulan Desember 2003 (sudah tidak beroperasi), disusul Air Asia pada bulan Desember 2005. Munculnya airline-airline baru tersebut seakan mengubah wajah dunia angkutan udara domestik, yang semula hanya didominasi oleh beberapa airline, berubah menjadi persaingan yang ketat dan terbuka. Akibatnya adalah, terjadi perang tarif yang merugikan dan berlangsung hampir selama tiga tahun berturut-turut. Namun derasnya arus globalisasi di Indonesia saat itu, membuat kondisi tersebut seakan dianggap wajar dan syah-syah saja. Tak ayal, beberapa airline yang sudah mapan terkena dampaknya, salah satunya adalah perusahaan penerbangan plat merah Garuda Indonesia, dimana pada tahun 2003 porsi "high yield"nya langsung menurun drastis dan porsi "low yield"nya membesar, sebagai akibat kuatnya tekanan persaingan dengan Low Cost Carrier yang ada. Kemerosotan perolehan pendapatan ternyata tidak hanya dialami oleh Garuda saja, moda angkutan yang lain seperti, angkutan darat yaitu kereta api dan bus, serta angkutan laut antar pulau juga ikut merasakan akibatnya. Bahkan beberapa bus antar kota antar propinsi (AKAP) sebagian gulung tikar akibat sepinya penumpang.