Mohon tunggu...
Galih Rudyto
Galih Rudyto Mohon Tunggu... lainnya -

Hanyalah "Wong Cilik". Pernah bekerja di BUMN penerbangan tapi terpaksa mendarat darurat akibat "Bad Weather"

Selanjutnya

Tutup

Money

Fenomena Bisnis Angkutan Udara Nasional

14 Oktober 2009   22:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:36 4467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Demografi Indonesia

Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2009 ini tercatat telah mencapai sekitar 240 juta orang. Berdasarkan Data Biro Sensus AS, Indonesia menempati urutan ke 4 (empat) dunia dalam hal banyaknya jumlah penduduk, setelah China, India dan Amerika Serikat.
Luas wilayah Indonesia terbentang di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik dan terletak di posisi silang yang sangat strategis yaitu pada koordinat 6°LU - 11°08'LS dan dari 97°' - 141°45'BT.

Di mata dunia internasional, potensi dan nilai strategis Indonesia dianggap sangat penting tercermin dari isu-isu dan pernyataan dalam berbagai forum internasional yang menyebutkan "Geographically, Indonesia is located in a very strategic position which serves as an important international trade hub, connecting North to South (Japan and Australia) and West to East (Europe, Asia, Australia, and the Pacific Rims). With its 17.508 islands located along the equatorial line, Indonesia stretches over 5.120 km from East to West, and 1.760 km from North to South. Indonesia UIRs are considerably wide and It is indeed very potential and strategic in providing international air navigation or air traffic services and traditional marine traffics"

Namun untuk menjangkau seluruh wilayah Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau, menghubungkan dan membantu peningkatan pembangunan ekonomi di 33 (tiga puluh tiga) propinsi yang ada di Indonesia tersebut, diperlukan sarana angkutan yang memadai, baik moda darat, laut maupun udara.

Mana yang mau didahulukan, angkutan darat, angkutan laut atau angkutan udara? Jawabannya adalah, ketiga-tiganya harus dikembangkan untuk kepentingan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Tentunya dalam hal ini sangat dibutuhkan "political will" dari pemerintah untuk melakukan harmonisasi, membina dan mengawasi persaingan yang muncul diantara ketiga moda industri, maupun antar sesama pelaku industri, sehingga masing-masing tidak saling mematikan.

Kontribusi angkutan udara pada perekonomian Nasional

Peran angkutan udara secara umum adalah memperkokoh kehidupan politik, pengembangan ekonomi, sosial dan budaya serta keamanan dan pertahanan. Di bidang pengembangan ekonomi, sosial dan budaya, angkutan udara memberikan kontribusi yang cukup besar antara lain, di bidang transportasi, pengembangan ekonomi daerah, pertumbuhan pariwisata dan ketenagakerjaan.

Kontribusi angkutan udara di bidang transportasi adalah memberikan layanan pengangkutan baik orang maupun barang melalui jalur udara yang menawarkan nilai tambah berupa efisiensi waktu dan kecepatan yang lebih baik dibandingkan moda transportasi lainnya. Dengan adanya faktor kecepatan tersebut disamping mampu menekan biaya produksi, mobilitas orang dan penyampaian kebutuhan barang atau jasa pun menjadi lebih cepat dan lebih baik.

Kontribusi angkutan udara di bidang pengembangan ekonomi daerah adalah melakukan kegiatan lalu lintas orang maupun barang untuk membantu membuka akses, menghubungkan dan mengembangkan potensi ekonomi daerah yang pertumbuhan ekonominya masih rendah serta menghidupkan dan mendorong pembangunan wilayah khususnya daerah-daerah yang masih terpencil , sehingga penyebaran penduduk, pemerataan pembangunan dan distribusi ekonomi dapat terlaksana sesuai dengan yang diharapkan.

Kontribusi angkutan udara di bidang pariwisata adalah memberikan layanan angkutan udara dari/ke luar negeri dengan tujuan untuk memasukkan wisatawan sebanyak-banyaknya ke Indonesia dalam rangka meningkatkan pendapatan devisa Negara. Berkaitan dengan sektor pariwisata, kontribusi angkutan udara memang sangatlah besar karena angkutan udaralah yang memungkinkan wisatawan manca negara masuk ke Indonesia. Hampir kurang lebih 90% dari wisatawan yang masuk ke Indonesia menggunakan sarana angkutan udara. Sehingga dapat dikatakan, sektor pariwisata Indonesia akan semakin berkembang apabila didukung oleh pertumbuhan angkutan udaranya.

Kontribusi angkutan udara di bidang ketenagakerjaan adalah menciptakan lapangan kerja baik langsung maupun tidak langsung dalam rangka membantu pemerintah dalam pemenuhan lapangan kerja khususnya di bidang industri angkutan udara. Menurut Air Transport Action Group (ATAG), yaitu sebuah organisasi independen internasional yang terdiri dari beberapa kelompok perusahaan khususnya yang berkiprah di bidang industri angkutan udara, kontribusi angkutan udara di bidang ketenagakerjaan secara langsung adalah penciptaan lapangan kerja industri dari angkutan udara itu sendiri dan secara tidak langsung adalah menciptakan lapangan kerja di bidang pengadaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan operasional / produksi angkutan udara. "Multiplier effect" lainnya adalah adanya angkatan kerja yang disebabkan oleh pengeluaran yang disebabkan oleh industri dan yang terbesar adalah angkatan kerja yang disebabkan meningkatnya kegiatan sektor pariwisata akibat masuknya wisatawan melalui jalur angkutan udara. ATAG mengindikasikan bahwa indeks prosentase dari pengaruh industri angkutan udara terhadap ketenagakerjaan adalah sebesar 580% dengan perincian sebagai berikut, pengaruh langsung (direct) sebesar 100% berupa penciptaan tenaga kerja angkutan udara itu sendiri, pengaruh tidak langsung (indirect) sebesar 116% berupa angkatan kerja pengadaan barang dan jasa, pengaruh lainnya (induced), yaitu angkatan kerja dari sektor pariwisata sebesar 310% dan angkatan kerja dari pengeluaran yang disebabkan oleh industri sebesar 54%. Sehingga jika kita mengacu pada rasio pesawat per pegawai sebesar 1 : 150 orang, maka jika muncul industri angkutan udara baru dengan jumlah armada sebanyak 5 pesawat akan menghasilkan angkatan kerja sebanyak, 5 x 150 orang x (100%+116%+310%+54%)=4.350 orang angkatan kerja. Apabila kita hitung dengan perumusan yang sama secara nasional, dari seluruh jumlah armada yang beroperasi di Indonesia yang berjumlah kurang lebih sekitar 270 pesawat, maka total penciptaan angkatan kerja dari sektor angkutan udara adalah sebesar 227.070 orang. Suatu jumlah angkatan kerja yang cukup lumayan, apalagi di era sekarang , hal tersebut sangat membantu pemerintah di bidang pemenuhan tenaga kerja nasional.

Peningkatan sektor pariwisata yang didukung oleh angkutan udara yang handal dan berkualitas

Jatuhnya harga minyak pada tahun 1986 dari kisaran harga $ 30 per barel menjadi hanya sekitar $ 10 per barel merupakan sebuah pukulan telak bagi Indonesia yang selama berpuluh-puluh tahun, menggantungkan minyak sebagai sumber devisa utama.

Menurunnya penerimaan negara dari sektor minyak memicu pemerintah untuk secara intensif melakukan langkah-langkah antisipatif dengan mencari sumber-sumber lain keuangan Negara selain migas. Pemerintah melakukan perubahan di berbagai bidang melalui langkah deregulasi perekonomian antara lain deregulasi perpajakan, pelabuhan dan angkutan laut termasuk deregulasi di bidang angkutan udara dimana awalnya dinamakan "partial open sky" dengan membuka Bali, Denpasar sebagai pintu masuk wisatawan ke Indonesia disamping Jakarta sebagai ibukota negara.

Namun penerapan " limited open sky" tersebut berdampak pada maskapai penerbangan nasional yang notabene belum siap bersaing di pasar global, sehingga pelan tapi pasti, mulai mengalami sesak nafas. Bahkan Garuda Indonesia yang pada awalnya dianggap kuat dan mapan, tak urung akhirnya mengalami kerugian di tahun 1993. Namun segala sesuatu memang harus dilihat konteksnya secara luas. Apakah kebijakan untuk mendukung sektor pariwisata tersebut sebagai penyebab kerugian maskapai nasional? Kalau kita menyikapinya secara arif dan bijaksana, maka jawabannya "bisa ya, bisa tidak". Namun kalau melihat pada misi yang diemban oleh airline nasional, yaitu disamping menghubungkan keseluruh propinsi dari dan ke seluruh kota-kota di Indonesia, juga berkewajiban mendukung program pemerintah di bidang pariwisata dan ekspor non migas. Jadi jelas, bahwa industri penerbangan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari industri pariwisata. Hanya memang, idealnya suatu kebijakan hendaknya diterapkan secara bertahap, sehingga airline nasional lebih siap dalam menghadapi persaingan. Apakah sektor pariwisata bisa disalahkan? Jawabannya "tidak", karena keduanya sama-sama untuk kepentingan Nasional. Seperti hukum sebab akibat, sesuatu terjadi karena ada kejadian yang lainnya. Ada istilah "cross subsidi", dimana meskipun ada suatu sektor yang mengalami kerugian namun "end result" secara keseluruhan tetap tercapai. Terpenting adalah agar masing-masing sektor fokus pada tugasnya, dimana pelaku angkutan udara diharapkan terus membantu pasokan wisatawan sebanyak-banyaknya ke setiap DTW di seluruh Indonesia. Sedangkan sektor pariwisata berkewajiban untuk mempromosikan, menjual dan menjaga potensi wisata yang ada dalam rangka membantu penerimaan devisa negara.

Meskipun pemerintah terus giat menggali alternatif lain selain migas, posisi migas masih menjadi tulung punggung untuk menggerakkan roda perekonomian Negara. Kebetulan saat itu tingkat konsumsi minyak domestik masih belum tinggi sehingga ekspor surplus migas masih terus berjalan hingga beberapa puluh tahun kemudian.

Keberhasilan sektor pariwisata Indonesia seakan menjadi penyejuk ditengah menurunnya ekspor migas dan menjadikan sektor ini sebagai primadona baru setelahi migas. Untuk lebih mengembangkan sektor ini, maka beberapa bandar udara di tanah air semakin diperlebar, dibangun dan diubah menjadi bandara Internasional. Tentunya dengan satu tujuan, yaitu untuk memberikan peluang lebih banyaknya wisatawan manca negara masuk ke Indonesia, langsung ke daerah tujuan wisata yang ada di Indonesia. Kota-kota yang bandaranya dikembangkan selain Jakarta dan Denpasar antara lain, Medan, Pontianak, Pekanbaru, Manado, Ambon, Biak, Padang, Surabaya, Batam, Ujung Pandang, Banda Aceh, Bandung, Mataram dan lain-lain. Hingga saat ini total seluruh bandara yang ditetapkan sebagai Bandar udara Internasional berjumlah 27 bandara (SKep Menhub No : KM.44 Tahun 2002 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional) dengan tujuan agar perusahaan penerbangan baik domestik maupun asing memperoleh kemudahan akses penerbangan ke/dari luar negeri secara langsung. Terbukanya banyak bandara di Indonesia tersebut, menjadikan ruang udara Indonesia menjadi semakin terbuka dan bebas, sehingga kesiapan maskapai nasional untuk bersaing secara global sangat menentukan. Tanpa bermaksud mempersoalkan tentang kebijakan tersebut, namun jika kita bandingkan dengan kebijakan negara lain seperti Amerika Serikat dan Eropa, dimana sebagai perwujudan dari sebuah negara liberal, ternyata keduanya masih menganut sistem pre-kompetitif, dimana dalam perjanjian udaranya senantiasa menekankan adanya perundingan yang adil (win win solution), namun sepanjang tidak merugikan airline domestiknya. Hal tersebut dapat diartikan bahwa, proteksi di sebuah negara liberal masih tetap ada, dengan maksud untuk tetap menjaga kepentingan nasionalnya.

Pada bulan Maret 2004, masa masa ke-emasan minyak dan gas bumi sebagai penyumbang devisa negara pun akhirnya mengalami antiklimaks, dimana Indonesia yang semula merupakan importir minyak, telah berubah menjadi "a net crued oil importer" karena tingkat konsumsi berbanding lebih besar daripada tingkat produksinya. Pada bulan tersebut rata-rata volume impor per hari telah meningkat mencapai 484.000 barrel,sedangkan volume ekspor rata-rata hanya sebesar 448.000 barrel, jadi minus 36.000 barrel per hari. Kondisi defisit minyak ini masih berlangsung hingga saat ini sehingga pemerintah mau nggak mau harus terus menggenjot penerimaan devisa dari sektor non migas. Mungkin karena alasan inilah, per Januari 2009, Indonesia secara resmi keluar dari keanggotaan OPEC, setelah bergabung selama 47 tahun atau tepatnya sebagai anggota OPEC sejak tahun 1962.

Peningkatan penumpang dan perusahaan penerbangan; Era Low Cost Airlines

Meningkatnya populasi penduduk secara tidak langsung berdampak positif terhadap pertumbuhan penumpang angkutan udara. Namun instabilitas perekonomian dunia dan tingginya harga avtur yang sempat menyentuh level psikologis $ 100/bbl, secara signifikan sangat mempengaruhi industri penerbangan, sehingga lahirlah konsep "Low Cost Carriers (LCCs)" yang di negara maju dikenal dengan sebutan "Legacy Carriers" yaitu sebuah bentuk ideal yang mempertemukan pihak konsumen sebagai "buyer" dan operator sebagai "seller" pada tingkat harga yang sesuai dengan daya beli masyarakat.

Di Indonesia sendiri, awal tumbuhnya low cost carrier adalah bertujuan menciptakan pasar yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat dengan membagi rute-rute yang pasarnya belum potensial. Agar tidak mengalami kerugian, maka low cost carrier tersebut harus mere-enginering bisnisnya dengan menyesuaikan seluruh biaya operasionalnya menjadi berbiaya rendah, tentunya tanpa mengabaikan sisi keamanan, keselamatan dan pelayanan penerbangan. Beberapa biaya yang sulit untuk ditekan karena sifat pembebanannya sama kepada setiap operator adalah harga avtur, biaya bandara, beban pajak serta asuransi. Itulah PR yang harus diselesaikan oleh LCC Domestik agar eksistensinya tetap terjaga. Intinya adalah "Low Cost=Low Resources=Low Fares". Namun tampaknya, sekarang telah terjadi pergeseran, dimana LCC adalah penerbangan yang bertarif murah dan bebas menerbangi seluruh rute yang ada, baik potensial maupun tidak, baik kapasitasnya sudah maksimum atau tidak. Istilahnya, "disitu ada gula, disitu ada semut", sehingga hasilnya sangat mudah ditebak. Dan yang paling penting lagi, esensi pemerataan dalam pembangunan seakan jauh panggang dari api.

Maraknya low cost airline di Indonesia dimulai pada tahun 2001, dimana ditandai dengan mulai bermunculannya perusahaan perusahaan penerbangan baru seperti, Lion Airlines pada bulan Juni 2000, disusul Kartika bulan Mei 2001, Batavia bulan Januari 2002, Wings Air bulan Juni 2003, Adam Air bulan Desember 2003 (sudah tidak beroperasi), disusul Air Asia pada bulan Desember 2005. Munculnya airline-airline baru tersebut seakan mengubah wajah dunia angkutan udara domestik, yang semula hanya didominasi oleh beberapa airline, berubah menjadi persaingan yang ketat dan terbuka. Akibatnya adalah, terjadi perang tarif yang merugikan dan berlangsung hampir selama tiga tahun berturut-turut. Namun derasnya arus globalisasi di Indonesia saat itu, membuat kondisi tersebut seakan dianggap wajar dan syah-syah saja. Tak ayal, beberapa airline yang sudah mapan terkena dampaknya, salah satunya adalah perusahaan penerbangan plat merah Garuda Indonesia, dimana pada tahun 2003 porsi "high yield"nya langsung menurun drastis dan porsi "low yield"nya membesar, sebagai akibat kuatnya tekanan persaingan dengan Low Cost Carrier yang ada. Kemerosotan perolehan pendapatan ternyata tidak hanya dialami oleh Garuda saja, moda angkutan yang lain seperti, angkutan darat yaitu kereta api dan bus, serta angkutan laut antar pulau juga ikut merasakan akibatnya. Bahkan beberapa bus antar kota antar propinsi (AKAP) sebagian gulung tikar akibat sepinya penumpang.

Apakah telah terjadi "shifting market" dari angkutan darat dan laut ke angkutan udara, jawabannya adalah kemungkinan besar "ya".

Berdasarkan grafik, jumlah pengguna angkutan darat dan laut turun drastis, sedangkan di sisi lain moda angkutan udara justru meningkat pesat. Justifikasinya adalah berpindahnya pengguna moda angkutan darat dan laut, disebabkan karena harganya yang murah, atau selisih harga yang terlalu dekat sehingga alasan waktu menjadi alternatif pilihan

Kedepan, gambaran kondisi penerbangan nasional diperkirakan tidak akan berubah dan akan terus mengarah pada dominasi dan semakin berkembangnya Low fare operator sebagai tulang punggung bisnis angkutan udara Nasional. Hal tersebut didukung dengan masih stagnannya pertumbuhan ekonomi Indonesia akibat dampak krisis ekonomi global baru-baru ini, yang cukup mempengaruhi sisi permintaan karena melemahnya tingkat daya beli masyarakat, sehingga aspek penghematan menjadi faktor yang sangat penting bagi konsumen.

Sebagai upaya untuk mengantisipasi pelayanan jasa penerbangan pada segmen pasar "middle down" yang "price sensitive" serta langkah "pre-emptive" dalam menghadapi persaingan dengan semakin maraknya penerbangan asing berbiaya murah masuk ke Indonesia, maka beberapa airline domestik pun telah menciptakan LCC tersendiri. Airline tersebut antara lain, Garuda Indonesia melalui Citilink-nya, disusul Lion yang telah mengubah diri menjadi "premium service" dan menyerahkan porsi low costnya kepada Wings Air. Beberapa airline asing juga telah melakukan hal sama seperti, Qantas dengan Jetstar dan SIA dengan Tiger Airwaysnya, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Genderang globalisasi telah di tabuh, liberalisasi penerbangan telah bergulir. Tinggal bagaimana kita menyikapinya. Apakah akan dijadikan sebagai sebuah tantangan dan segera berbenah diri untuk menghadapi persaingan, atau dianggap sebagai sebuah ancaman.

Rata rata umur pesawat yang beroperasi di Indonesia dan insiden kecelakaan pesawat

Pemberlakuan larangan terbang yang pernah dikeluarkan oleh Uni Erope per Juli 2007, yang menganggap bahwa semua maskapai nasional memiliki kualitas keamanan dan keselamatan penerbangan yang sangat rendah, hendaknya dianggap sebagai sebuah kritik yang membangun, bahan intropeksi diri serta dijadikan sebagai bahan pelajaran berharga bagi seluruh komponen pelaku industri angkutan udara nasional. Kita harus maklum bahwa, Uni Eropa berkewajiban untuk melindungi warga negaranya agar tidak menjadi korban pada penerbangan di suatu negara yang dianggap standar tingkat keamanan dan keselamatan penerbangannya rendah. Pada dasarnya, kepatuhan dan keseriusan operator akan keamanan dan keselamatan penerbangan, menunjukkan seberapa besar tingkat kepedulian, tanggung jawab dan perlindungan yang diberikan operator penerbangan pada setiap pengguna jasa angkutan udara. Banyaknya insiden atau kecelakaan pesawat menunjukkan bahwa komitmen terhadap tingkat keamanan dan keselamatan penerbangan di Indonesia masih lemah. Namun itu bukan hanya tanggung jawab operator saja, tapi pemerintah sebagai regulator juga harus mawas diri. Mudahnya mendirikan perusahaan penerbangan baru dan lemahnya pengawasan, bisa jadi memberikan andil terhadap buruknya kondisi penerbangan Nasional.

Derasnya arus globalisasi di awal tahun 2000-an dan dimulainya era low cost airline di Indonesia setahun kemudian, dan kurang ketatnya aturan dan mudahnya persyaratan untuk mendirikan airline baru telah membawa perubahan yang sangat drastis pada dunia penerbangan nasional. Banyaknya pelaku industri penerbangan, mengakibatkan tingkat persaingan menjadi sangat tinggi dan cenderung tak terkendali. Buntutnya adalah perang tarif dan masing masing berusaha untuk memenangkan pertempuran, Masing-masing berusaha memangkas biaya dan menekan harga serendah-rendahnya. Pesawat-pesawat yang sudah uzur pun didatangkan demi mendapatkan harga sewa yang murah. Pada akhirmya konsumenlah yang dirugikan karena menurunnya kualitas pelayanan dan rendahnya jaminan keamanan dan keselamatan penerbangan. Di era 2001/2002, rata-rata umur armada bahkan sempat mencapai pada kisaran 20 tahun, namun secara bertahap, meskipun belakangan, masing-masing operator mulai meremajakan armadanya. Rata-rata umur armada dunia umumnya berkisar pada umur 10-12 tahun. Sehingga kalau kita sedikit moderat, maka batas usia armada yang dapat dioperasikan di Indonesia idealnya adalah maksimum 15 tahun.

Berdasarkan data, rata-rata umur armada maskapai Nasional adalah 15,9 tahun. Dari 270 armada yang beroperasi, hampir sebagian besar menggunakan armada yang sudah tua yaitu sebesar 47% (128 pesawat) berumur diatas 15 tahun, 32% (86 pesawat) berumur antara 10 - 15 tahun dan hanya 21% (56 pesawat) yang berumur 10 tahun kebawah. Melihat kondisi ini, seluruh maskapai terkait diharapkan untuk segera melakukan program peremajaan armadanya. 5 (lima) urutan teratas berdasarkan umur armada, dari 26 maskapai yang beroperasi di Indonesia adalah sebagai berikut :


  • Express Transport (0,2 tahun) > AOC 135
  • Mandala (6,8 tahun) > AOC 121
  • Lion (10 tahun)> AOC 121
  • Travira Air (10,2 tahun)AOC 135
  • Garuda (11,3 tahun) AOC 121


Apakah usia armada yang lebih muda menjamin suatu penerbangan terbebas dari kecelakaan? Jika kita mengacu pada kasus kecelakaan pesawat Silk Air, jawabannya "belum tentu". Seperti diketahui, penerbangan Silk Air MI 185 yang menggunakan tipe pesawat B733 buatan tahun 1997 dan terbilang masih baru pada saat itu, jatuh di sungai Musi Palembang pada bulan Desember 1997 dan menewaskan 104 orang penumpang dan awaknya.

Dalam kecelakaan pesawat terbang, biasanya sangat sulit untuk mencari apa penyebabnya dan siapa yang bersalah, mengingat faktor penyebabnya sangat banyak. Namun secara umum, faktor penyebab terjadinya musibah penerbangan adalah sebagai berikut :


  • Humman error adalah penyebab kecelakaan pesawat terbang yang disebabkan oleh kesalahan manusia.
  • Technical error adalah penyebab kecelakaan pesawat terbang karena faktor teknis / mesin.
  • External factor / Medias meliputi ganguan yang disebabkan oleh alam misalnya awan/kabut tebal, cuaca buruk, hujan deras, angin kencang, debu, burung, kemudian organization error misalnya kurang disiplin/kebiasaan buruk, pola pikir dan pola kerja yang salah, instruksi pengendali yang keliru, kebijakan pemimpin yang kurang pas, pemeliharaan pesawat yang tidak sesuai aturan, kelebihan muatan, tingkat kelaikannya yang rendah, dan lain sebagainya.


Sebelum kita bahas lebih lanjut, perlu kiranya kita melihat, sebenarnya negara-negara mana saja yang tingkat kecelakaannnya paling banyak dan bagaimana dengan posisi Indonesia sendiri.

Berdasarkan data Airfleets, Indonesia berada pada posisi ke 7 (Tujuh), negara yang terbanyak mengalami kecelakaan dengan total terjadinya kecelakaan sebanyak 10 kali. Diatas Indonesia ada Taiwan, Cina, Perancis, Brasil, India dan yang tertinggi Amerika Serikat. Kalau kualitas SDM yang dipersalahkan, rasanya kurang tepat, mengingat SDM asing disamping bergaji lebih tinggi, secara kualitas umumnya lebih baik dibanding SDM Indonesia. Tapi justru kenapa kecelakaan banyak terjadi di negara yang lebih maju dan sangat ketat serta disiplin dalam hal standar keamanan dan keselamatan penerbangannya.

Terlepas dari itu semua, terpenting seluruh insan pelaku bisnis angkutan udara nasional hendaknya terus mawas diri dan senantiasa melakukan perbaikan. Koordinasi diantara pelaku utama yang berperan sangat besar dalam bisnis angkutan udara yaitu pengelola bandara (PT. Angkasa Pura), penyedia data cuaca (Badan Meteorologi dan Geofisika) dan operator penerbangan (Airlines) agar lebih ditingkatkan, sehingga dunia penerbangan Indonesia menjadi lebih aman, tertib dan lancar.

Dicabutnya larangan terbang oleh Air Safety Committee, Uni Eropa per Juli 2009 lalu, menunjukkan bahwa upaya perbaikan yang telah dilakukan operator bersama dengan pemerintah telah membuahkan hasil dan diharapkan hal tersebut terus dilakukan, sebagai upaya pembenahan yang berkelanjutan.

Pemeringkatan kategori FAA dan kategori perusahaan penerbangan periode X (Juni 2009) Departemen Perhubungan

Federal Aviation Administration (FAA) adalah badan otoritas penerbangan Amerika Serikat, yang secara berkala mengeluarkan publikasi hasil pengawasan dan penilaian yang dikenal sebagai International Aviation Safety Assesment Program (IASA) terhadap seluruh anggota ICAO, yang membagi penilaiannya menjadi 2 kategori yaitu,


  • Kategori-I, yaitu "Meets ICAO safety standards" yang berarti aman atau "safe"
  • Kategori-II, yaitu "Does not meet ICAO safety standards" yang berarti tidak aman atau "unsafe".


Berdasarkan publikasi terakhir yang dikeluarkan FAA pada tanggal 08 Juni 2009, Indonesia berada pada "Kategori 2 alias tidak aman". Disamping Indonesia, di kawasan Asia termasuk Bangladesh, Philippines dan negara-negara yang memiliki potensi konflik seperti Israel, Serbia, Kroasia, Ukraina, Uruguay, Paraguay, Nicaragua, Honduras, Haiti, Congo, Zimbabwe, Ghana dan beberapa negara lainnya.

Di sisi lain pemerintah melalui Dephub, meskipun larangan terbang telah dicabut, terus melanjutkan pembinaan dan pengawasan, sehingga Dirjen Perhubungan Udara Departemen Perhubungan, kembali mengeluarkan daftar pemeringkatan kategori perusahaan penerbangan periode X bulan Juni 2009. Pemberian kategori ini dalam rangka penilaian kinerja operator penerbangan terhadap kepatuhan dan pemenuhan peraturan keselamatan penerbangan sipil.

Pemeringkatan terhadap maskapai penerbangan yang dilakukan oleh Dephub, mendasarkan pada Civil Aviation Safety Regulation (CASR) 4121, yang terbagi dalam tiga kategori :


  • Kategori-I, mengindikasikan bahwa maskapai penerbangan yang masuk kategori ini benar-benar telah memenuhi tingkat keselamatan penumpang.
  • Kategori-II, mengindikasikan bahwa maskapai telah memenuhi persyaratan minimal keselamatan penerbangan, tetapi masih terdapat beberapa persyaratan yang belum dilaksanakan.
  • Kategori-III, mengindikasikan bahwa maskapai penerbangan telah memenuhi persyaratan minimal keselamatan penerbangan dan masih terdapat beberapa persyaratan yang belum dilaksanakan sehingga mengurangi tingkat keselamatan penerbangan.


Penilaian terakhir yang dilakukan oleh Dephub dilakukan pada 46 operator penerbangan, yakni :


  • 21 operator pemegang Air Operator Certificate (AOC) 121, sedangkan 1 operator tidak dilakukan penilaian karena tidak beroperasi.
  • 25 operator pemegang AOC 135, sedangkan 7 operator tidak dilakukan penilaian karena tidak beroperasi.


Hasil pemeringkatan kategori perusahaan penerbangan, periode X, bulan Juni 2009, adalah sebagai berikut :

Kategori I : Untuk AOC 121 : Garuda, Merpati, Lion, Mandala, Air Asia, Trigana, Batavia, Pelita, Wings, Sriwijaya, Riau, Indonesia Air Transport, Tri MG (Cgo) dan AOC 135 : Travira Utama, Airfast, National Helicopter, Express Transport.

Kategori II : Untuk AOC 121 : Travel Express, Kalstar, Kartika, Megantara, Cardig (Cgo), Repex (Cgo), Manunggal (Cgo), Nusantara (Cgo) dan AOC 135 : Aviastar, Nyaman Air, Air Pacific, Gatari, Pura Wisata, Kura-kura, Asi Air, Trans Wisata, Deraya, Sampoerna, Eastindo, Derazona, Angkasa Semesta, Nusantara Buana, SMAC, Intan Angkasa, Alfa Trans, Dabi Air, Unindo, Jhonlin Air, Sky Aviation.

Perlunya re-konsolidasi angkutan udara Nasional

Dalam rangka membangun angkutan udara yang tangguh dan memiliki daya saing dalam percaturan bisnis angkutan penerbangan global dan ditengah banyaknya kekurangan dan persoalan yang menimpa dunia penerbangan kita, maka dirasakan sangat perlu untuk melakukan re-konsolidasi angkutan udara nasional. Re-konsolidasi ini sebagai upaya "flashback" terhadap apa yang telah, sedang dan akan dilakukan oleh seluruh pelaku industri penerbangan. Dalam forum tersebut tentunya akan dibahas beberapa hal dan pertanyaan yang cukup mendasar seperti :


  • Apa sebenarnya yang kita miliki sekarang dan seberapa besar manfaatnya terhadap kepentingan Nasional.
  • Langkah langkah apa yang diperlukan untuk memperbaiki dan memperkuat posisi "bargaining" kita dengan negara lain.
  • Tindakan-tindakan apa yang bisa memberikan manfaat dan nilai ekonomis yang lebih tinggi dibanding sekarang.


Keduanya, baik regulator maupun operator diharapkan saling memberikan nilai positif bagi perkembangan angkutan udara Nasional. Untuk membenahi kondisi penerbangan nasional memang tidaklah mudah, karena sifatnya yang sangat kompleks. Sangat diperlukan adanya partisipasi dari berbagai pihak terkait dan partisipasi masyarakat untuk duduk bersama dan memperbaikinya. Beberapa poin-poin yang perlu dilakukan dan dikembangkan yaitu :

1. Dari sisi Regulator / Pemerintah.


  • Terus melakukan pengaturan dan pengawasan pada setiap pelaku industri penerbangan agar seluruh aturan, ketentuan atau regulasi penerbangan sesuai dengan standar yang diharapkan.
  • Melaksanakan berbagai kebijakan yang kondusif dan memberikan manfaat yang berimbang termasuk memberikan kemudahan-kemudahan dan insentif yang diperlukan untuk mendukung kelancaran dunia usaha angkutan penerbangan.
  • Meminimalisir faktor-faktor yang menghambat perkembangan, menyederhanakan birokrasi yang ada, menciptakan efisiensi dan keteraturan penerbangan, serta hal-hal penting lainnya dalam rangka membantu perkembangan dunia usaha penerbangan.
  • Melakukan pembenahan infrastruktur angkutan udara yang memadai, membantu hal-hal yang berkaitan dengan pengembangan SDM di bidang penerbangan yang lebih profesional dan tercukupi dengan baik.
  • Merumuskan dan menetapkan langkah-langkah serta menciptakan kompetisi yang sehat antar moda angkutan atau sesama moda angkutan, sehingga tidak saling merugikan satu sama lain.


2. Dari sisi Operator / Perusahaan Penerbangan.


  • Segera melakukan langkah-langkah konkrit agar pelaksanaan penerbangan dapat berjalan sesuai dengan persyaratan standar keamanan dan keselamatan penerbangan.
  • Memberikan masukan-masukan kepada regulator agar jalannya penerbangan aman dan terjangkau namun eksistensi perusahaan juga tetap terjaga.
  • Melakukan perbaikan yang terus menerus dalam rangka memberikan layanan yang berkualitas dan komitmen perlindungan terhadap konsumen.


3. Partisipasi dan peran serta masyarakat / pengguna jasa angkutan udara.


  • Memberikan masukan-masukan baik kepada regulator maupun operator penerbangan dan menyampaikan kebutuhan/keinginan yang berhubungan dengan layanan angkutan udara.
  • Memberikan peran serta yang nyata untuk membantu kelangsungan hidup angkutan udara dan komitmen serta dukungannya untuk lebih menggunakan maskapai nasional ketimbang maskapai asing.


Upaya konsolidasi dan pembenahan angkutan udara nasional di berbagai aspek terkait, diharapkan akan menjadikan pelaku bisnis penerbangan nasional menjadi lebih solid, makin berkembang dan lebih profesional, sehingga siap menghadapi kompetisi global yang kian mendekat. Semoga.

Tulisan terkait lainnya :

ASEAN Open Sky 2013, memanfaatkan momentum penundaan

Artikel lain : Menyoal LPG Non Subsidi, Sekali Dayung Dua Tiga Pulau Terlampaui

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun