Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apa, Sih, Makna Hari Perempuan Internasional?

9 Maret 2021   05:13 Diperbarui: 9 Maret 2021   05:16 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa hari yang lalu, saya dihubungi DW Nesia, itu adalah Deutsche Welle -- layanan situs berita dan informasi online, yang banyak mengupas segala sesuatu yang berbau Indonesia. 

Media yang punya TV, radio dan blog, dan berada di Bonn, Jerman itu menanyakan apakah saya punya waktu untuk diwawancara seputar hari perempuan internasional pada hari ini. Katanya, profil saya cocok. 

Sayang, saya seharian sekolah online. Mungkin belum jodoh, karena selama masa pendidikan banyak sekali aturan dan hal-hal yang harus diperhatikan. Saya tidak boleh sembarangan.

Thanks God, I am a woman

Teman-teman, menyambut hari perempuan internasional, saya kembali mengingat lagi, apa makna yang bisa saya ambil dari hari itu. Apakah makna hari itu benar-benar mendalam bagi diri saya? Apakah hari itu berarti bagi kehidupan saya? Apakah ini biasa-biasa saja?

Hanya satu yang saya tahu setiap tahunnya pada hari itu. Berkali-kali saya selalu bilang ke orang-orang, "Thanks God, I am a woman." Menjadi perempuan itu sebuah anugerah Tuhan, kok, sesuatu. 

Dan itu selalu saya syukuri. Saya dengar, menjadi perempuan itu memang dikatakan banyak orang sebagai makhluk yang lemah, makhluk yang banyak disaingi laki-laki sehingga tidak mendapatkan hak yang sama atau opini lain yang kadang bikin miris. Benarkah demikian?

Bisa saja iya, tapi ingat, perempuan itu sebenarnya punya kekuatan yang sangat luar biasa dibandingkan dengan laki-laki, lho. Contoh dalam kehidupan sehari-hari di Jerman yang sering saya lihat adalah, adanya penyakit "Man Flu", di mana para laki-laki kalau sakit sedikit saja, sudah seperti dunia mau runtuh. 

Sedangkan para perempuannya, sudah sakit masih dibela-belain semangat dalam menjalani kehidupan. Tidak pernah ada kata lelah atau mengeluh. Walaupun sakit, pekerjaan beres. Sakit, bukan menjadi alasan utama untuk tidak beraktivitas.

Entah kalau di tanah air, mungkin kalian bisa cerita banyak tentang ini.

Perempuan tidak perlu mengeluarkan otot untuk menunjukkan ia kuat. Perempuan hanya butuh memutar otak untuk mengatur segalanya, "rule the world." 

Perempuan tidak perlu garang untuk menunjukkan ia hebat, justru dengan kelembutannya, dengan kecantikannya, lewat kebaikannya bisa menaklukkan dunia. Lihat saja Bunda Theresa, Lady Diana atau RA. Kartini.  

Dilahirkan dengan 5 saudara laki-laki dan dengan keluarga patrilinial, di mana kebapakan sangat kental, rupanya orang tua saya tetap memberikan kesempatan yang sama untuk meraih pendidikan tinggi pada saya, anak perempuannya. Jadi, tidak ada halangan seperti zaman Belanda.

Hanya saja tetap saja sama, rambut  saya harus panjang, pulang ke rumah tidak boleh larut dan harus berpakaian yang tidak mengundang syahwat adalah beberapa aturan dari orang tua yang harus saya patuhi, zaman masih belum menikah. Sedangkan saudara-saudara laki-laki saya dibebaskan.

Saya amati, ada perasaan takut dari orang tua bahwa suatu hari akan kehilangan anak-anak perempuannya. 

Kami, perempuan, jadi istimewa, meski pengakuannya tidak kentara. Mungkin karena kuota laki-laki di rumah kami sudah "over load", jadinya menjadi perempuan itu memang sebuah hal yang luar biasa.

Perempuan Jerman tidak mengenal asisten rumah tangga

Kompasianer, menjadi anak perempuan, niat meraih pendidikan tinggi muncul karena saya ingin mendapatkan kesempatan yang sama dengan saudara-saudara saya, para pria, yang tentu lebih dahulu menuntut ilmu tinggi-tinggi karena lebih tua.

Pikir saya, jika perempuan tidak memiliki pendidikan tinggi, harus masuk dapur. Saya lebih menyukai berkarya di luar rumah. Bagaimana jadinya kalau seumur hidup saya harus berada di dapur, kasur dan sumur? Mengapa perempuan tidak boleh keliling dunia? Boleh kan?

Dan ternyata pemikiran ini terbantahkan dengan kenyataan yang saya alami di Jerman yang ternyata juga punya tugas perempuan yang mirip; "Kinder" (anak-anak), "Kirche" (gereja), "Kueche" (dapur). 

Bahwa apapun pendidikannya, apapun pekerjaannya, apapun titelnya, perempuan tetap harus masuk dapur, harus tetap mengurusi anak-anaknya, harus mau mengosek WC, kudu bisa memasak, harus mau merawat kebun yang ada di lahan rumah dan entah pekerjaan rumah tangga apa lagi yang bisa dibayangkan. Segunung.

Mengapa? Karena Jerman sangat anti perbudakan dan terkenal sebagai bangsa yang mandiri. Iya, semua dikerjakan sendiri. Awalnya, saya geleng kepala.

Tak heran jika para perempuannya saya kasih empat jempol. Dua jempol dari saya dan dua jempol dari suami saya. Sebabnya, perempuan Jerman tidak mengenal sistem pembantu atau asisten rumah tangga. 

Dimulai dari masyarakat ekonomi bawah sampai atas, segelintir yang memiliki "Au Pair" (para remaja yang diperbantukan untuk membantu mengurusi anak-anak di bawah umur dan sedikit pekerjaan rumah tangga). 

Seandainya ada "Putz Frau" (tukang bersih-bersih dengan bayaran per jam), biasanya dimiliki mereka para lansia atau segelintir ibu di Jerman yang sangat membutuhkannya.

Hal itu tidak seperti di tanah air yang hampir semua orang punya. Aneh tapi nyata. Bukankah pendapatan perkapita orang Jerman tinggi? Bukankah mereka sangat menyukai lingkungan yang bersih? Padahal membayangkan rumah orang Jerman itu tidak kecil. Belum lagi kebunnya. Bagaimana mereka melakukannya? Alah bisa karena biasa. 

Dari tradisi yang mandarah daging di sanubari para perempuannya, tradisi tidak memiliki pembantu ini sudah hal yang lumrah. Para perempuan Jerman melakukan semuanya sendiri. Kerja? Bukan alasan menghindar dari pekerjaan rumah tangga yang seabrek. 

Nein! Mereka rata-rata dilahirkan sebagai perempuan yang mandiri dan tidak manja. Selanjutnya, setiap perempuan boleh melakukan apa saja sesuai bakat dan minatnya. Tidak ada yang boleh melarangnya. Perempuan boleh pula berpendapat, bukan berarti melawan ketika berargumentasi. Hak perempuan  dilindungi negara.

Perempuan Jerman duduk sama rendah berdiri sama tinggi

Belajar dari perempuan Jerman yang juga ingin meraih pendidikan tinggi, ingin berkarya di bidang yang juga diterjuni para lelaki, tapi tetap melakukan pekerjaan rumah tangga sendiri, saya jadi malu.

Mereka ini tak hanya berhenti di bab pekerjaan RT, tapi juga bagaimana mereka menjamah pekerjaan yang sering kita sebut sebagai pekerjaan laki-laki. Nukang (menjadi tukang dadakan) misalnya. Jika ada rumah yang direnovasi, biasanya para suami menyukai untuk melakukannya sendiri. Mengapa?

Pertama karena harga tukang mahal. Kedua, cari tukang juga sulit, karena biasanya kalau pekerjaannya sedikit nggak cucok mereka tidak mau. Ketiga, mengerjakan sendiri lebih puas. 

Keempat, uang yang biasa diberikan kepada tukang, bisa dimasukkan dana jalan-jalan keliling dunia. Bayangkan saja kalau bea tukang sejamnya saja sudah Rp 750.000, tinggal mengalikan berapa yang harus dibayar kalau mereka sebulan harus membantu.

Itulah sebab, para istrinya bahu-membahu dalam "Baustelle" atau renovasi (pembangunan) rumah, membantu suami.

Makanya, jangan heran jika kita melihat ibu-ibu mengecat rumah ketika suami sedang menggergaji kayu di sebelahnya. Atau ketika suami mengaduk semen, istri sedang memegang batu demi membangun tembok di sampingnya. 

Bahkan ketika seorang perempuan memanggul kayu, disampingnya suami sedang sibuk menggergaji pohon sepanjang 20 meter. Itu pemandangan yang sangat biasa kita lihat, khususnya di daerah tempat tinggal saya di Blackforest.

Pekerjaan kasar, pekerjaan bau dan pekerjaan berat itu tetap dijalani di sela-sela tugasnya sebagai ibu, istri dan pembantu di rumah sendiri. Sungguh kemandirian 1001.

Intinya, kesetaraan gender di Jerman, tidak hanya soal "Perempuan harus punya kesempatan yang sama dengan para laki-laki" tapi juga "Perempuan juga harus bertanggung-jawab sama seperti laki-laki. 

Semua pekerjaan dikerjakan bersama-sama. Tidak ada pekerjaan laki-laki atau pekerjaan perempuan." Sama rendah dan sama tinggi lalu, masih sepiring berdua. Duh, romantisnya. (G76)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun