Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apa, Sih, Makna Hari Perempuan Internasional?

9 Maret 2021   05:13 Diperbarui: 9 Maret 2021   05:16 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Perempuan tidak perlu garang untuk menunjukkan ia hebat, justru dengan kelembutannya, dengan kecantikannya, lewat kebaikannya bisa menaklukkan dunia. Lihat saja Bunda Theresa, Lady Diana atau RA. Kartini.  

Dilahirkan dengan 5 saudara laki-laki dan dengan keluarga patrilinial, di mana kebapakan sangat kental, rupanya orang tua saya tetap memberikan kesempatan yang sama untuk meraih pendidikan tinggi pada saya, anak perempuannya. Jadi, tidak ada halangan seperti zaman Belanda.

Hanya saja tetap saja sama, rambut  saya harus panjang, pulang ke rumah tidak boleh larut dan harus berpakaian yang tidak mengundang syahwat adalah beberapa aturan dari orang tua yang harus saya patuhi, zaman masih belum menikah. Sedangkan saudara-saudara laki-laki saya dibebaskan.

Saya amati, ada perasaan takut dari orang tua bahwa suatu hari akan kehilangan anak-anak perempuannya. 

Kami, perempuan, jadi istimewa, meski pengakuannya tidak kentara. Mungkin karena kuota laki-laki di rumah kami sudah "over load", jadinya menjadi perempuan itu memang sebuah hal yang luar biasa.

Perempuan Jerman tidak mengenal asisten rumah tangga

Kompasianer, menjadi anak perempuan, niat meraih pendidikan tinggi muncul karena saya ingin mendapatkan kesempatan yang sama dengan saudara-saudara saya, para pria, yang tentu lebih dahulu menuntut ilmu tinggi-tinggi karena lebih tua.

Pikir saya, jika perempuan tidak memiliki pendidikan tinggi, harus masuk dapur. Saya lebih menyukai berkarya di luar rumah. Bagaimana jadinya kalau seumur hidup saya harus berada di dapur, kasur dan sumur? Mengapa perempuan tidak boleh keliling dunia? Boleh kan?

Dan ternyata pemikiran ini terbantahkan dengan kenyataan yang saya alami di Jerman yang ternyata juga punya tugas perempuan yang mirip; "Kinder" (anak-anak), "Kirche" (gereja), "Kueche" (dapur). 

Bahwa apapun pendidikannya, apapun pekerjaannya, apapun titelnya, perempuan tetap harus masuk dapur, harus tetap mengurusi anak-anaknya, harus mau mengosek WC, kudu bisa memasak, harus mau merawat kebun yang ada di lahan rumah dan entah pekerjaan rumah tangga apa lagi yang bisa dibayangkan. Segunung.

Mengapa? Karena Jerman sangat anti perbudakan dan terkenal sebagai bangsa yang mandiri. Iya, semua dikerjakan sendiri. Awalnya, saya geleng kepala.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun