Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Segar Pilihan

Mi Indonesia Ranking Satu di Dunia, Bangga atau Malu?

6 Mei 2020   21:09 Diperbarui: 6 Mei 2020   21:10 931
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indomie goreng barbecue no.1 sedunia (dok.Gaganawati)

"Lagi puasa ya?" Kata seorang anak muda. Mi-nya nggak ada kan lagi puasa. Gambaran alat penyaring bergagang Panjang di wajan yang berair. Ada piring hitam kosong juga tapi nggak ada isinya.

"Perut boleh kosong tapi tetap jalani niat baik, yuk." Dia meninggalkan dapur.

"Dari rumah, ya, jalaninnya? Selamat berpuasa." Katanya lagi. Gambaran kotak berisi mi edisi Ramadan ada di meja. Ingat, ya, gambar piringnya hitam dan kosong. Jangan gempar. Kan lagi bulan puasa. Di Jerman, orang lebih suka memilih piring berwarna merah untuk diet supaya makannya nggak banyak. "Das Auge isst mit" karena saat makan, mata pun ikut "makan" atau memiliki peran penting dalam meningkatkan hawa nafsu makan. Kalau lihat piring warnanya putih bisa lapar terus karena makanan jadi sangat menggoda di mata.

"Eh, udah buka nih" Tiba-tiba si model nongol di dapur dengan gembiranya.

"Gimana udah makin semangat, kan?" Disebutkan di layar bahwa mi-nya sudah ada karena sudah berbuka. Memasak mi instan memang bisa dikerjakan dalam sekejap. Ia pun memasak sendiri, nggak ada ibu, nggak ada pembantu. Ia tahu betul bahwa dengan dilengkapi pakai telor mata sapi, sajiannya makin menggoda. Ah, nikmatnya dunia.

"Yuk lanjutin jalani niat baik. Dari rumah ya jalaninnya, selamat berbuka." Si cowok lalu pergi dan piring isi mi dan telor masih  ada di meja. Lupa makan barangkali. Tapi ia tidak lupa bahwa sekarang ini masa corona, semua dijalani dari rumah saja demi kenyamanan bersama. Harus patuh, jangan bandel, ya. We stay at home, we work from home.

Bagaimana Indomie Bisa mendunia?

Begitu kira-kira iklan mi di bulan ramadan yang menurut saya sangat berkesan karena sehati. Selain itu, dari menonton iklan ini ada cerita, sejarah, kreativitas dan inspirasi yang terangkat darinya. Iya, "Indomie, seleraku."

Tahukah Kompasianer bahwa teman-teman saya yang traveler dari Indonesia yang kalau keliling dunia, ke Eropa misalnya, biasa bawa rice cooker mini dan tentunya, mi instan! Mi goreng dari Indomie seperti yang dipromosikan dalam iklan ramadan di atas tadi adalah salah satunya, termasuk mi-mie lain produksi tanah air seperti sarimi, supermi, mi sedap, ABC, Nissin dan lainnya. Memang kalau nggak makan nasi, banyak masyarakat kita merasa belum makan. Apalagi kalau nggak bawa mi dari Indonesia  waktu jauh dari tanah air, mati gaya.

Nah, jangan kaget juga ya kalau ketika bermukim di Jerman, Indomie bisa ditemukan di swalayan "Real", toko Asia, toko India, toko Suriah, Amazon dan online shops. Harganya rata-rata 0,45 euro atau kira-kira Rp 3000-4000 an. Untuk yang satu pak isi 5 kadang dibanting sampai 1,5 euro atau @0,30 euro. Beli satu box? Lebih murah lagi hanya 10-12 euro atau @0,25-0,30 euro. Bingung mendapatkannya di masa corona? Bisa beli on line tinggal nunggu paket datang dari pak/bu  pos, habis perkara.

Tambah terperanjat saat Indomie bisa kami temukan ketika liburan di Qatar, Dubai, Pakistan, Thailand, Perancis, Belanda dan Swiss, terutama di toko-toko yang menyediakan bahan dari Asia atau swalayan umum yang besar. Wow, mendunia. Berada di luar negeri dan menemukan hasil karya anak negeri, rasanya membuncah. Kalian juga pernah menemukannya lalu jingkrak-jingkrak? Berteriaklah tapi jangan kenceng-kenceng; "Ini mi dari negara saya!"

Mengapa bisa begitu mudah ditemukan? Bisa saja ada dugaan karena mi banyak dicari 8 juta diaspora yang tersebar di seluruh dunia sebagai tamba kangen atau ada orang lokal yang mencobanya dan langsung suka lalu addicted, ketagihan.

Mengingat-ingat lagi hukum ekonomi yang pernah saya pelajari waktu SMA kelas A3; jika ada demand, ada supply. Toko-toko lokal mulai menaruh dalam rak-rak jualannya karena tahu bahwa itu akan dicari pembeli alias laku. Paling enggak, kami sekeluarga yang nyari.

Yang paling bikin mata membesar adalah bahwa Afrika ternyata fans berat mi Indonesia yakni Indomie. Seperti yang ditulis oleh Tanni Deb dan Eleni Giokos dari CNN pada tanggal 25 Januari 2019, Indomie jadi leader produsen mi di Afrika. Padahal ada 16 produsen lain yang ikut kompetisi di negara yang punya konsumen 1, 76 billyard mi per tahunnya.

Ekspansi Indomie mantul! Pertama kali Indomie diekspor dari Indonesia tahun 1988 dan pabriknya baru dibuka tahun 1995 di sana. Memang tidak ada yang instan dalam berbisnis, sekalipun itu adalah berbisnis mi instan.

Tentu saja melihat betapa perkembangan bisnis jualan mi Indonesia ini meningkat pesat, produsen dari Indonesia berhasil membidik  peluang ini. Sampai-sampai  Indomie menguasai 74% pasar Nigeria. Ya, ya,ya. Orang Afrika jadi tergila-gila dengan cita rasa mi buatan Indonesia itu. Jangan kalah sama orang Afrika, dong.

"Saya cinta, Anda cinta, kita cinta buatan Indonesia....ohhhh. Pilihanku hanya satu, buatan Indonesia." Masih ingat lagu itu?

Indomie jadi nomor satu di dunia versi Los Angeles Times

Adalah Los Angeles Times, yang menjadi pusat informasi seputar breaking news, entertainment, olah raga, politik, travel, ilmu pengetahuan, properti dan lainnya khususnya bagi wilayah Kalifornia Selatan dan dunia pada umumnya.

Lewat tulisan Lucas Kwan Peterson, seorang kolumnis yang banyak menulis soal makanan, kita jadi tahu bahwa Indomie rasa barbecue ayam ada di posisi pertama sebagai mi terbaik di dunia. Itu mengalahkan mi produksi dari negara jiran Malaysia, Thailand, Korea, Taiwan dan Jepang.  Bukankah asal muasal mi di dunia ini dari China?

Sedangkan Indomie goreng klasik ada di posisi 10 dari 31 mi sedunia yang direview. Not too bad, lah. Ingin tahu lebih banyak silakan googling. Artikelnya berjudul "The official instan ramen power rankings" ditulis pada tanggal 5 November 2019 yang lalu.

Walaupun mi dari Indomie beda dengan ramen, rupanya mi dari Indomie rasa barbecue dikatakan sebagai mie surga dikarenakan paduan mi dengan bumbunya nendang abis. Disebutkan Peterson bahwa ada tiga cairan yang ada di dalam bungkus plastiknya yang luar biasa yakni minyak bawang merah, saos kecap manis (yang ini dibilang terlalu manis), saus sambal pedas dan dua sachet kering (bubuk MSG rasa ayam dan bawang goreng kering).

Peterson juga paham jika ada orang yang akan mengkritik tulisannya karena bisa saja ia dianggap curang memilih Indomie sebagai jawara. Apakah ada korupsi atau sponsor utama di belakang tulisannya? Ini tulisannya, mana tulisanmu. Begitu barangkali belanya. Think positive, guys and positive things will happen.  Ingat, ini bulan puasa.

Bangga atau Malu?

Ramadan gini, saya suka teringat kenangan masa kecil ketika masih serumah dengan orang tua dan saudara sekandung. Mi instan, khususnya Indomie goreng barbecue jadi menu utama untuk makan sahur. Selain cepat saji, rasanya mak nyosss. Nggak melulu diberi topping telor mata sapi seperti dalam iklan ramadan yang saya fokus tadi. Senang bahwa ibu saya suka mencampurinya dengan  tomat, kol putih atau sawi. Jadi ada seger-segernya dikit untuk perut.

Ketika sudah berumah tangga, Indomie rasa barbecue ayam, mie goreng klasik dan soto masih jadi favorit meski sudah pernah mencoba mi dari Indomie rasa apa saja atau mie dari merk apa saja dari beragam dunia.

Makanya suatu hari, saya masih termasuk orang yang EGP, nggak peduli kalau adik saya bilang:

"Aku kira kamu sudah nggak doyan Indomie karena orang Jerman suka makan spaghetti dan makanan bergizi lainnya...."

Nggak ada rasa malu bahwa kami sekeluarga sangat menyukai Indomie khususnya mie goreng barbecue. Buat apa malu, kan makan mienya pakai baju?

Ada selentingan di dalam masyarakat bahwa jika mengkonsumsi makanan instan dalam intensitas tinggi akan mengganggu kesehatan. Mi instan juga dituding sebagai makanan kurang bergizi oleh beberapa orang. Apakah dengan adanya rangking dari LA News, artinya orang Indonesia makanannya nggak bergizi? Jelas salah karena Indonesia itu kaya akan bumbu masakan dan menu khas tradisional di tiap daerah dari Sabang dan Merauke. Nggak percaya? Pergilah ke pelosok pulau terpencil dan makan di sana. 

So, makan mi instan bukan otomatis jadi orang yang kurang gizi, kan.

Tenang, tenangggg ... Indonesia sangat jauh. Kami nggak memakannya setiap hari, kok. Ini hanya disantap di saat-saat istimewa ketika kami kangen Indonesia saja. Mengunyahnya, seperti melayang terbang ke Indonesia dalam sekejap, tanpa raga harus berada di sana. Asyik, bukan? Langkah cerdik di tengah corona dan di antara jarak jauh yang memisahkan Eropa dari Asia.

Intinya, tulisan ini nggak ada sponshorship tapi terlahir dari lubuk hati yang paling dalam membahas tentang satu iklan ramadan menarik dan inspiratif, Indomie goreng buat nyamber THR ramadan tahun ini.

Kami bangga bahwa mi Indonesia jadi juara pertama dari 31 mi sedunia versi Los Angeles Times.  Bagaimana dengan opini Kompasianer?

Terima kasih, Indonesia. Terima kasih, Indomie. Terima kasih, Peterson. We love Indonesia, and you? (G76)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Segar Selengkapnya
Lihat Segar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun