"Lagi puasa ya?" Kata seorang anak muda. Mi-nya nggak ada kan lagi puasa. Gambaran alat penyaring bergagang Panjang di wajan yang berair. Ada piring hitam kosong juga tapi nggak ada isinya.
"Perut boleh kosong tapi tetap jalani niat baik, yuk." Dia meninggalkan dapur.
"Dari rumah, ya, jalaninnya? Selamat berpuasa." Katanya lagi. Gambaran kotak berisi mi edisi Ramadan ada di meja. Ingat, ya, gambar piringnya hitam dan kosong. Jangan gempar. Kan lagi bulan puasa. Di Jerman, orang lebih suka memilih piring berwarna merah untuk diet supaya makannya nggak banyak. "Das Auge isst mit" karena saat makan, mata pun ikut "makan" atau memiliki peran penting dalam meningkatkan hawa nafsu makan. Kalau lihat piring warnanya putih bisa lapar terus karena makanan jadi sangat menggoda di mata.
"Eh, udah buka nih" Tiba-tiba si model nongol di dapur dengan gembiranya.
"Gimana udah makin semangat, kan?" Disebutkan di layar bahwa mi-nya sudah ada karena sudah berbuka. Memasak mi instan memang bisa dikerjakan dalam sekejap. Ia pun memasak sendiri, nggak ada ibu, nggak ada pembantu. Ia tahu betul bahwa dengan dilengkapi pakai telor mata sapi, sajiannya makin menggoda. Ah, nikmatnya dunia.
"Yuk lanjutin jalani niat baik. Dari rumah ya jalaninnya, selamat berbuka." Si cowok lalu pergi dan piring isi mi dan telor masih ada di meja. Lupa makan barangkali. Tapi ia tidak lupa bahwa sekarang ini masa corona, semua dijalani dari rumah saja demi kenyamanan bersama. Harus patuh, jangan bandel, ya. We stay at home, we work from home.
Bagaimana Indomie Bisa mendunia?
Begitu kira-kira iklan mi di bulan ramadan yang menurut saya sangat berkesan karena sehati. Selain itu, dari menonton iklan ini ada cerita, sejarah, kreativitas dan inspirasi yang terangkat darinya. Iya, "Indomie, seleraku."
Tahukah Kompasianer bahwa teman-teman saya yang traveler dari Indonesia yang kalau keliling dunia, ke Eropa misalnya, biasa bawa rice cooker mini dan tentunya, mi instan! Mi goreng dari Indomie seperti yang dipromosikan dalam iklan ramadan di atas tadi adalah salah satunya, termasuk mi-mie lain produksi tanah air seperti sarimi, supermi, mi sedap, ABC, Nissin dan lainnya. Memang kalau nggak makan nasi, banyak masyarakat kita merasa belum makan. Apalagi kalau nggak bawa mi dari Indonesia waktu jauh dari tanah air, mati gaya.
Nah, jangan kaget juga ya kalau ketika bermukim di Jerman, Indomie bisa ditemukan di swalayan "Real", toko Asia, toko India, toko Suriah, Amazon dan online shops. Harganya rata-rata 0,45 euro atau kira-kira Rp 3000-4000 an. Untuk yang satu pak isi 5 kadang dibanting sampai 1,5 euro atau @0,30 euro. Beli satu box? Lebih murah lagi hanya 10-12 euro atau @0,25-0,30 euro. Bingung mendapatkannya di masa corona? Bisa beli on line tinggal nunggu paket datang dari pak/bu pos, habis perkara.
Tambah terperanjat saat Indomie bisa kami temukan ketika liburan di Qatar, Dubai, Pakistan, Thailand, Perancis, Belanda dan Swiss, terutama di toko-toko yang menyediakan bahan dari Asia atau swalayan umum yang besar. Wow, mendunia. Berada di luar negeri dan menemukan hasil karya anak negeri, rasanya membuncah. Kalian juga pernah menemukannya lalu jingkrak-jingkrak? Berteriaklah tapi jangan kenceng-kenceng; "Ini mi dari negara saya!"