Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Energi Baik Orang Indonesia yang Bikin Orang Jerman Iri

6 Agustus 2018   12:56 Diperbarui: 6 Agustus 2018   23:27 2667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: damn i love indonesia)

Pandai bersyukur, rajin tersenyum dan selalu bahagia! Itu energi positif orang Indonesia yang bikin orang Jerman iri. 

Setidaknya, itu yang  diungkapkan tetangga saya baru-baru ini.

Ehem. Ceritanya begini, ada cabang pabrik Jerman yang buka di Semarang. Teknisi bagian mesin yang kebetulan adalah tetangga saya itu terpilih perusahaan untuk memberikan training pada para pekerja baru di sana.

Sebelum berangkat, ia menghubungi kami. Ia pengen tahu apa yang harus ia persiapkan dan bagaimana hidup di Semarang. Tentu saja saya yang orang Semarang dengan senang hati berbagi. Promosi tentang Indonesia pasti nggak terlupa. Tak ketinggalan suami saya yang pernah bekerja bertahun-tahun di sana.

Karena kami rasa komunikasi lewat Gadget ngga cukup, saya usul mengunjungi rumahnya pada acara pamitan, semalam sebelum keberangkatan.

Pada kunjungan kami itu, kebetulan keluarga besarnya kumpul. Maklum, meski punya paspor Jerman ia itu asli keturunan orang Turki, kekeluargaannya masih kental dibanding orang Jerman.

Dalam percakapan kami di rumahnya itulah, saya hampir saja dibalang kebab, makanan ciptaan orang Turki untuk orang Jerman. Yakni roti dengan isi irisan daging dan sayur segar disiram saus. Itu bikin kenyang, rasanya pun nendang.

"Hati-hati ya, banyak perempuan cantik di Indonesia. Ada, lho perempuan yang udah tahu laki-laki pakai cincin kawin, udah punya istri masih saja flirting, menggodaaaa. Apalagi kamu orang asing. Kulitnya putih, matanya Ijo, hidung mancung, tinggi dan besar. Spesies unik, orang pikir duitnya banyak kalau dikurs rupiah. Sasaran empuk untuk digoda." Ujar saya polos. 

Pernah suatu hari geram di jalan tol, waktu suami bayar tol, di belakang tiket ada No HP dari si gadis Sonsi. Padahal jelas-jelas saya ada di sebelah suami. OMG. Mungkin saya dikira pembantu atau baby sitter? Astagagagana. Please, dehhh.

"Lahhhh kalo gitu, kamu nggak usah berangkat besok ke Semarang, deh. Tinggal di rumah saja. Takut nanti pulang-pulang dari Indonesia kamu punya pacar baru. Ihhh, Gana kamu ceritanya seremmmmm. Jahatttttt." Tangan istri si  pria mengacungkan roti kebab dari dapur. Semua tamu tertawa. Entah mentertawakan cerita saya, senang saya mau dibalang atau mengira saya dakocan.

"Wah kamu kurang piknik, di Semarang itu mungkin saja terjadi. Aku sudah pernah tinggal lama di sana. Aku sering digoda wanita." Suami saya nambah-nambahin gemes. Huuuhh.

"Memang ada wanita lain lagi yang suka godain kamu dulu? Kok, aku tahunya cuma satu?" Mata saya terbelalak, sambil nyubit tangannya yang kekar. Begini kalo nikah sama orang ganteng dan terlalu ramahhhh. Jiwitttttt!!!

Singkat cerita, si tetangga itu tetap optimis berangkat bersama satu staf ke Semarang. Mereka akan terbang dari Zurich yang hanya 1 jam dari area kami tinggal. Tentu saja, dengan doa restu istri sebagai tiang rumah. Tanpa itu pasti seorang suami mau pergi keluar rumah rasanya seperti ke mall nggak pakai celana. Silirrr dan seakan ada yang tertinggal.

Sebentar, ada yang lebih serem dari rasa cemas si istri. Ternyata kunci mobil si tetangga kebawa saya. Mungkin tangan saya ngga sengaja mengambil kunci di sebelah jaket saya waktu pamit pulang malam itu lantaran mirip dengan kunci mobil saya yang sudah nyungsep di saku jaket dari tadi. 

Baru sadar keesokan harinya. Degggg!!! Lahhhh, subuh dia ke bandara naik becak??? Oh tidak, untung rekannya juga bawa mobil, bisa numpang sekalian. Bayangin nggak sih, semua tamu yang hadir saat acara pamitan ditanyai satu-persatu oleh si keluarga tetangga. Kecuali kami yang nggak disangka. Haaa ... mungkin muka kami terlalu innocent, tanpa dosa. Nggak mungkin nyolong atau ngumpetin orang punya kunci kaliiii. Membayangkan pusingnya keluarga itu nyari konciiiii.

Bagaimana pun kunci tetap saya kembalikan sambil meminta maaf atas ketidaksengajaan yang telah terjadi. Saya khilaf. Istrinya ngakak.

"Semoga ini bukan pertanda buruk bagi suami saya, ngga ada wanita yang godain dan kembali ke pelukanku dua minggu lagi." Katanya hari itu. Ah, untung hari itu nggak ada kebab di rumahnya. Ia nggak bisa mbalang.

Hari begitu cepat berlalu. Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu telah berulang dua kali. Selama dua minggu, ia nggak kasih kabar tentang apa yang ia alami di Semarang. Apa ia sudah kecantol kawat? Apa ia betul-betul terpesona kecantikan wanita Indonesia yang imut (karena pendek-pendek ngemut kalender) dan ramah?

Entahlah, ia juga jarang posting di sosial medi seperti kita-kita ini. Kami pun sibuk dengan rutinitas.

Sebulan kemudian, kami bertemu di mini market kampung. Ia semangat cerita pengalamannya di Indonesia.

"Luar biasa, orang Indonesia dari Jakarta sampai Semarang banyak yang nggak punya tapi bahagia setiap hari. Ketemu wajah ramah dan senyuman tulus orang Indonesia di manapun aku berada, membuatku merasa bodoh bukan termasuk orang yang pandai bersyukur. Tinggal di Jerman kurang apa coba? Gaji cukup bahkan lebih tinggi dari standar di Indonesia, anak-anak disokong pemerintah, kesehatan terjamin, punya rumah dan mobil bagus, dapat liburan panjang dan sering travel luar negeri murah dan mudah, alamnya terjaga tetapi aku dan kebanyakan orang Jerman yang kukenal tak mampu mengekspresikannya. 

Kami masih banyak mengeluh. Wajah kami belum bisa seceria orang-orang kalian, wajah yang selalu bersyukur itu. Raut muka kami terkesan dingin apalagi pada musim salju. Seolah-olah kami ngga bahagia meski kami sudah punya semuanya dalam hidup ini. Aku harus belajar dari orang Indonesia. Aku terinspirasi energi positif kalian."

Kepala tetangga saya itu menggeleng berulang kali. Kepalanya yang botak sedikit menunduk menghadap lantai yang dingin meski musim panas telah dimulai. Ia seperti ingin mengulang masa lalu dan menampakkan kebahagiaan seperti wajah anak-anak dan orang kampung yang dibagi coklat dari Jerman Tempo hari.

Saya kira ia betul. Perasaan yang sama ketika saya datang ke daerah pedesaan di tanah air. Makan nggak makan kumpul! Orang-orang yang rata-rata punya energi baik dalam kehidupan. Meski nggak punya tetap bahagia, meski punya sedikit dibagi-bagi, meski nggak tahu besok makan apa tetap bersyukur dan menikmati hidup bersama keluarga dan sanak saudara. Senyum ramah nan bahagia selalu menghias wajah-wajah orang Indonesia.

***

Baiklah, itu tadi sekelumit cerita orang Jerman yang merasakan energi positif orang Indonesia. Ia berjanji menjadikan energi baik kita sebagai "bahan bakar" tinggal di Jerman. Selama 30 tahun ini, ia lupa tentang hal sepele yang bisa jadi gawe kalau terlewatkan.  Hal itu diiyakan suami saya. Selalu ada hati yang diletakkan dalam hidup saat bersosialisasi dan berkarya.

Memang dalam kehidupan sehari-hari manusia di belahan dunia mana pun pasti membutuhkan energi baik untuk selalu punya semangat hidup, kreatif, inovatif dan berkarya di bidangnya masing-masing. Supaya ke depan siapapun yang mendapat inspirasi dari energi baik orang Indonesia pada umumnya itu akan menjadi pribadi yang berkualitas, begitu seterusnya, ia akan meneruskan dampak positif  tersebut kepada orang lain. Jangan hanya lanjut energi negatif atau kumpul sama orang berpikiran negatif.

Sekarang, bagaimana dengan Kompasianer? Kita sudah dicap orang Jerman berenergi baik. Bukankah itu jadi "gas negara" kita? Karakteristik orang dari negara kesatuan Republik Indonesia. Tinggal bagaimana kita mengaktualisasikannya saja. Sekaranglah saatnya, jika kemaren sempat lupa. 

"Energi baik, ada di dalam diri saya dan saya menularkannya." Ya, mari tetap pandai bersyukur, wajah tersenyum dan merasa bahagia karena kita bukan orang biasa. Kita ini orang Indonesia.(G76).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun