"Memang ada wanita lain lagi yang suka godain kamu dulu? Kok, aku tahunya cuma satu?" Mata saya terbelalak, sambil nyubit tangannya yang kekar. Begini kalo nikah sama orang ganteng dan terlalu ramahhhh. Jiwitttttt!!!
Singkat cerita, si tetangga itu tetap optimis berangkat bersama satu staf ke Semarang. Mereka akan terbang dari Zurich yang hanya 1 jam dari area kami tinggal. Tentu saja, dengan doa restu istri sebagai tiang rumah. Tanpa itu pasti seorang suami mau pergi keluar rumah rasanya seperti ke mall nggak pakai celana. Silirrr dan seakan ada yang tertinggal.
Sebentar, ada yang lebih serem dari rasa cemas si istri. Ternyata kunci mobil si tetangga kebawa saya. Mungkin tangan saya ngga sengaja mengambil kunci di sebelah jaket saya waktu pamit pulang malam itu lantaran mirip dengan kunci mobil saya yang sudah nyungsep di saku jaket dari tadi.
Baru sadar keesokan harinya. Degggg!!! Lahhhh, subuh dia ke bandara naik becak??? Oh tidak, untung rekannya juga bawa mobil, bisa numpang sekalian. Bayangin nggak sih, semua tamu yang hadir saat acara pamitan ditanyai satu-persatu oleh si keluarga tetangga. Kecuali kami yang nggak disangka. Haaa ... mungkin muka kami terlalu innocent, tanpa dosa. Nggak mungkin nyolong atau ngumpetin orang punya kunci kaliiii. Membayangkan pusingnya keluarga itu nyari konciiiii.
Bagaimana pun kunci tetap saya kembalikan sambil meminta maaf atas ketidaksengajaan yang telah terjadi. Saya khilaf. Istrinya ngakak.
"Semoga ini bukan pertanda buruk bagi suami saya, ngga ada wanita yang godain dan kembali ke pelukanku dua minggu lagi." Katanya hari itu. Ah, untung hari itu nggak ada kebab di rumahnya. Ia nggak bisa mbalang.
Hari begitu cepat berlalu. Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu telah berulang dua kali. Selama dua minggu, ia nggak kasih kabar tentang apa yang ia alami di Semarang. Apa ia sudah kecantol kawat? Apa ia betul-betul terpesona kecantikan wanita Indonesia yang imut (karena pendek-pendek ngemut kalender) dan ramah?
Entahlah, ia juga jarang posting di sosial medi seperti kita-kita ini. Kami pun sibuk dengan rutinitas.
Sebulan kemudian, kami bertemu di mini market kampung. Ia semangat cerita pengalamannya di Indonesia.
"Luar biasa, orang Indonesia dari Jakarta sampai Semarang banyak yang nggak punya tapi bahagia setiap hari. Ketemu wajah ramah dan senyuman tulus orang Indonesia di manapun aku berada, membuatku merasa bodoh bukan termasuk orang yang pandai bersyukur. Tinggal di Jerman kurang apa coba? Gaji cukup bahkan lebih tinggi dari standar di Indonesia, anak-anak disokong pemerintah, kesehatan terjamin, punya rumah dan mobil bagus, dapat liburan panjang dan sering travel luar negeri murah dan mudah, alamnya terjaga tetapi aku dan kebanyakan orang Jerman yang kukenal tak mampu mengekspresikannya.
Kami masih banyak mengeluh. Wajah kami belum bisa seceria orang-orang kalian, wajah yang selalu bersyukur itu. Raut muka kami terkesan dingin apalagi pada musim salju. Seolah-olah kami ngga bahagia meski kami sudah punya semuanya dalam hidup ini. Aku harus belajar dari orang Indonesia. Aku terinspirasi energi positif kalian."