Lain lagi cerita dari Niki. Salah satu perempuan yang menari bersama saya di sanggar itu, pernah jadi darmasiswa di ISI Solo. Mengapa Solo? Karena itu rekomendasi teman-temannya. Kedua, karena ia ingin bisa menari bedhaya. Execuse me, bedhaya? Itu kan susah dan luamaaaaa. Saya saja belum pernahhh. Dia beruntung bisa belajar di keraton Jogja dan Solo. Amazing! Ketiga, sebab itu satu-satunya pos yang lowong waktu ia lamar.
Dalam wall facebooknya, Niki pamer waktu ia menari gambyong di kota Pecs. Kegiatan KBRI Budapest itu ia ikuti dengan senang hati. Ya, ampuuuun. Ia sempat panik dengan sasak dan gelung rambut. Takut nggak rapi saja karena harus ngerjain sendiri. Untung saja, di Solo sudah ada orang yang ngajarin dia pakai dhodhot,kain dengan motif bintik-bintik demi menutupi dada dan khusus kain batik (jarikan) dia belajar sendiri. Ihhh ... jan ayu tenan kowe, ndhuk.
Nah, gara-gara lama di kos bule (karena hanya dihuni 8 bule cewek darmasiswa) Solo, cewek cantik itu jadi suka gudheg dan gado-gado. Eh, iya ... gorengan dia juga suka lho meskipun orang Eropa itu ya, paling nggak senang sama yang berminyak-minyak. Marahi watuk dan kolesterol. Uhukkk.
Dalam obrolan kami, Niki cerita ada teman eks darmasiswa juga yang menulis dongeng Indonesia dalam bahasa Hongaria. Waaah, seneng dong secara saya suka nulis buku juga. Kenaliiiinnn.
Adalah Kiss Martha dan Tari Eszter. Dua nama yang disebut Niki sebagai pecinta Indonesia.
Dongeng “A sziklavirag“ yang dalam bahasa kita artinya “monyet hitam.“ Kiss bercerita tentang 7 bidadari. Kalau saya kira-kira, lebih mirip kisah dewi Nawang Wulan yang selendangnya dicolong sama Joko Tarub terus diperistri itu.
Satu lagi, eks darmasiswa Universitas Sebelas Maret (1998-1999) dan STSI Solo bernama Tari Eszter. Nggak jelas buku mana yang Niki maksud sudah ditulis Tari tapi yang pokok, Tari sudah banyak mengadakan pameran yang memunculkan keindonesiaan! Huuuh, informasi tentangnya susah saya dapat karena semua pakai bahasa Hungaria yang susahnya melebihi susahnya bahasa Jerman. Mana banyak cecek-cerek nya kayak huruf hanacaraka. Tertulis di Wikipedia bahwa tahun 2007 ada event “Kekuatan Warna“ di Surakarta dan “Dimensi Warna“ tahun 2010 yang dilakukan Tari. Luar biasa.
Jadi dalang wayang kulit
Satu lagi yang ngingetin saya sama bapak yang pernah mayang waktu mudanya. Dus Pollet! Dia adalah creative producer dari DDK production. Mantan darmasiswa ISI Solo tahun 1998 itu mampu berbahasa Indonesia, Inggris dan Jerman, selain bahasa ibunya, Magyar. Penerima certificate of merit dari KBRI Budapest itu beberapa kali bergabung dalam tim kesenian KBRI untuk promosi budaya. Iya, dia jadi dalang wayang kulit. "Trotok-trotok, genjrenggg. Bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelip ... oooooo."